PENEGAKAN
HUKUM YANG MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM DAN RASA KEADILAN MASYARAKAT
Pendahuluan
Masalah
penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya
masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam
kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang
sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan
hukum yang formil.
Kedamaian
tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi
yang bersifat ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern.
Demi tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi untuk
memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap
orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya,
serta setiap ada pelanggaran hukum. Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan
dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara
diskriminatif.
Karakteristik
hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di
mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada
pengecualian dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang
dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara
diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak hukum dalam
kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Akhirnya
penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat.
Penegakan
hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin
sekali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan
perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena
hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu
dalam berbagai unsur sistem hukum.
Hukum Sebagai Suatu Sistem
Sistem hukum
tidak hanya mengacu pada aturan (codes of
rules) dan peraturan (regulations),
namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal
structure).
Menurut
Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[1]
Struktur hukum
meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga
terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
Sedangkan
substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.
Budaya hukum
adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai
pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan
perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang
bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya
hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang
terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is
inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).[2] Setiap
masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan
pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu
komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Banyak sub
budaya dari suku-suku yang ada, agama, kaya, miskin, penjahat dan polisi
mempunyai budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang paling
menonjol adalah budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasehat hukum
yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri, karena sikap mereka membentuk
banyak keragaman dalam sistem hukum. Setidak-tidaknya kesan ini akan
mempengaruhi penegakan hukum dalam masyarakat.
Hukum adalah
kontrol sosial dari pemerintah (law is
governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba
mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.[3] Di sisi lain
kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang
membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan
melawan hukum.[4] Tidak ada
cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang
dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara
khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau
pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.
Tetapi kita
juga membutuhkan kontrol sosial terhadap pemerintah, karena tidak dapat kita
pungkiri, bahwa tiada kuda tanpa kekang. Begitu juga tiada penguasa dan
aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial. Semua tahu ada orang yang berwenang
menyalahgunakan jabatannya, praktek suap dan KKN sering terjadi dalam tirani
birokrat. Maka untuk memperbaiki harus ada kontrol yang dibangun dalam sistim.
Dengan kata lain, hukum mempunyai tugas jauh mengawasi penguasa itu sendiri,
kontrol yang dilakukan terhadap pengontrol. Pemikiran ini berada di balik
pengawasan dan keseimbangan (check and
balance) dan di balik Peradilan Tata Usaha Negara, Inspektur Jenderal,
Auditur dan lembaga-lembaga seperti, KPK, Komisi Judisial. Kesemuanya ini harus
mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberantas segala bentuk penyalahgunaan
wewenang dari pihak penguasa.
Hukum akan
menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila
masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak
efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma.
Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada
nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek
kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang
yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak
mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya.
Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas
ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk
perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang
menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian
hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri
dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap
norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak
mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh
atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma
hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga
timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum.
Sedangkan
“kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya
kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat
waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat
menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan
mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak
identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan
perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada
bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan
hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum
tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum
diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para
penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang
ada dalam undang-undang (law in book’s),
akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di
sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan
budaya hukum (legal culture), untuk
memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat
terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
Penegakan Hukum
Penegakan
hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di
samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai
suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang
dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya
apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi
masyarakat.
Dalam
kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian
hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa
menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini
memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis,
mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan
masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan
yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya
kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya
mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan
undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak
memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan
dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui
pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus
dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan
dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik,
demopolitik, sosiopolitik dan
kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas
dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan
sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum
sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya
dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa
cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan
perasaan keadilan hukum masyarakat.[5]
Substansi
undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk
itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan
sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua
peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh
departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan
ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan
undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat,
bahkan sering bertentangan.
Pada
taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja
tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum
yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional
pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya
dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini.
Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri
maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral
tradisional.[6]
Dalam
pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak
identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan.[7]
Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles
dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea”
dan “Rhetorica” mengatakan, hukum
mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak
ia terima. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas
hanya membuat adanya keadilan saja (Ethische
theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum
tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia,
sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula
hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk
menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama
seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat
suatu kualifikasi tertentu.[8] Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim
suatu kualifikasi tertentu.[8] Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim
Nilai-Nilai Dasar Hukum
Berdasarkan
anggapan tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai
tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat
menilai sahnya suatu hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya,
tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch
mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai
dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian
hukum..[9]
Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara
mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis
(ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut
masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga
ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya
kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan
kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu
sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna
bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga
jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai
nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena
yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut
bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya
berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai
kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada
kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang
dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[10]
Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai
itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara
ketiga nilai tersebut.
Keabsahan
berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan
merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi
ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah
atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja
dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam
menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang
berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid),
bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari
hukum itu. Oleh karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan
kesebandingan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan
memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum
dalam masyarakat. Misalnya; seorang pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke
pengadilan, karena waktu perjanjian sewa-menyewa telah lewat atau telah
berakhir sesuai dengan waktu yang diperjanjikan. Tetapi penyewa belum dapat
mengosongkan rumah tersebut karena alasan belum mendapatkan rumah sewa yang
lain sebagai tempat penampungannya. Ditinjau dari sudut kepastian hukum,
penyewa harus mengosongkan rumah tersebut karena waktu perjanjian sewa telah
lewat sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Apakah
hal ini, dirasakan adil kalau si penyewa pada saat itu belum ada rumah lain
untuk menampungnya? Dalam hal ini, hakim dapat memutuskan: memberi kelonggaran
misalnya selama waktu 6 (enam) bulan kepada penyewa untuk mengosongkan rumah
tersebut. Ini merupakan kompromi atau kesebandingan antara nilai kepastian
hukum dengan nilai keadilan, begitu juga nilai manfaat atau kegunaan terasa
juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan rumah tersebut.
Adalah
lazim bahwa kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan
hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum
antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan
hukumnya. Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum
itu terlalu dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau
kita bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya
adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan.
Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja
atau melihat dari sumber hukum yang formil.
Sebagaimana
diketahui undang-undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin
undang-undang itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara
tuntas. Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang
itu tidak ada ataupun tidak sempurna.
Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang
dihadapinya. Namun, dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka
hakim tentunya tidak dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak
diselesaikan sama sekali.
Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Berdasarkan
Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang menegaskan “pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
Di
samping itu pula dapat kita lihat Pasal 22 AB yang menegaskan “bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan
suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut
karena menolak mengadili”.
Berdasarkan
kedua ketentuan tersebut di atas, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta
menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana
undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas
inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak
tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living
law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Penemuan
hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan
hukum”, oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan
hukumnya sudah ada.[11]
Lembaga
penemuan hukum ini akan membawa kita kepada lembaga interpretasi hukum dan
konstruksi hukum. Karena dalam melakukan penyesuaian peraturan
perundang-undangan dengan peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat,
tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan menghadapkan fakta dengan
peraturannya saja melalui interpretasi, tetapi lebih jauh dari itu kadangkala
hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya sendirinya melalui konstruksi
dengan cara Analogi, Rechtsverfijning dan Argumentum a contrario.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan bahwa dalam hukum adat Indonesia menganut sistim partriar chaat, segala harta yang timbul
dalam perkawinan adalah milik suami, janda tidak berhak mewarisi harta
peninggalan suaminya. Kedudukan janda dalam hukum adat ini dianggap tidak
sesuai dengan rasa keadilan, karena itu janda harus diberikan kedudukan yang
pantas di samping kedudukan keturunan anak-anak keturunan sipeninggal warisan.[12]
Tugas hakim adalah menyelesaikan tiap perkara, meskipun bertentangan dengan
undang-undang atau undang-undang tinggal diam. Hakim wajib membuat penyelesaian
yang diinginkan oleh masyarakat pencari keadilan itu, berdasarkan hukum yang
ditemukan atau dibentuknya sendiri.
Konstruksi
hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan kepada hakim, tetapi
tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara tersebut,
meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Begitu juga setelah dicari dalam
hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada peraturan yang dapat membawa
penyelesaian terhadap kasus tersebut. Dalam hal demikian hakim harus memeriksa
lagi sistim hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Apabila
dalam beberapa ketentuan ada mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu
pengertian hukum (rechtsbegrip)
sesuai dengan pendapatnya.
Membuat
pengertian hukum itu adalah suatu perbuatan yang bersifat mencari asas hukum
yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan. Misalnya, perbuatan menjual, perbuatan memberi, menghadiahkan,
perbuatan menukar dan perbuatan
mewariskan secara legat (legateren, membuat testament)
mengandung kesamaan-kesamaan. Kesamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud
mengasingkan (vervreemden) atau
mengalihkan. Berdasarkan kesamaan tersebut, maka hakim membuat pengertian hukum
yang disebutnya pengasingan. Pengasingan itu meliputi penjualan, pemberian,
penukaran dan pewarisan. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum oleh yang
melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) suatu benda. Elemen yang
terdapat dalam baik penjualan, pemberian, penukaran maupun pewarisan secara legat. Tindakan hakim yang demikian ini
adalah dikenal sebagai perbuatan melakukan konstruksi hukum.
Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan
jahat dari tertuduh.[13]
Semua
masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai
hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim
dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi
seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan
seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan
orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan
sebagainya.[14]
Paham
yang menyatakan bahwa hakim tidak lain dari pada sebagai pengucap undang-undang
atau corongnya undang-undang belaka (La
bouchequi prononce les paroles de loi) telah ditinggalkan, atau tidak
dianut lagi dan sudah lama ditinggalkan.
Menurut
van Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waarderen)
undang-undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim
dapat menambah (aanvullen)
undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal
yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul
dalam masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu
petunjuk hidup yang umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit,
yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konrit diserahkan kepada
hakim.[15]
Keputusan
hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana “werkelijkheid” yang menyimpang dari hukum dalam suasana “positiviteit”. Hakim menambah
undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal pada
kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat.
Undang-undang
itu merupakan suatu “momentopname”
saja, yaitu suatu “momentopname” dari
keadaan di waktu pembuatannya. Berdasarkan dua kenyataan tadi, maka dapat
dikatakan bahwa hakim pun turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan
mana yang tidak atau dengan kata lain hakim menjalankan rechtsvinding. Scholten menyatakan bahwa menjalankan undang-undang
itu selalu “rechtsvinding”.[16]
Kemandirian
hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum itu, serta dapat menentukan mana
yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong
dalam undang-undang, adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, karena
keputusan hakim yang demikian itu hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara
saja dan tidak berlaku sebagai peraturan
umum.
Namun keputusan hakim yang didasarkan oleh hukum yang ditemukannya
itu, dalam keadaan dan waktu tertentu,
dapat diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam hal perkara yang sama dan
akhirnya menjadi suatu yurisprudensi yang tetap dan sekaligus menjadi sumber
hukum yang formil.
Kedudukan yurisprudensi di Indonesia sangat berbeda dengan
keputusan hakim yang merupakan “Preseden”
sebagaimana yang terdapat di Inggris dan Amerika, seperti apa yang dikemukakan
oleh Gray. Teori Gray dikenal dengan nama teori mengenai All the law is judge made law. Suatu peraturan barulah menjadi
peraturan hukum apabila peraturan itu telah dimasukan dalam putusan hakim.
Anggapan Gray ini berdasarkan peradilan dilaksanakan di negeri Inggris, di
Amerika Serikat dan di Afrika Selatan dan disebut sebagai peradilan preseden (Presedenten rechts praak).
Hakim wajib mengikuti keputusan hakim yang kedudukannya menurut
hirarki pengadilan lebih tinggi, wajib mengikuti keputusan hakim yang lain yang
kedudukannya sederajat, tetapi telah lebih dahulu membuat penyelesaian suatu
perkara semacam, bahkan wajib mengikuti keputusan sendiri yang dibuatnya lebih
dahulu dalam perkara semacam (stare
desicis). Hukum yang berasal dari pengadilan preseden disebut “judge
made law” atau “judiciary law” .
Terutama di negeri Inggris sering “judge
made law” itu dianggap lebih penting dari pada “Statute law” (hukum yang ada di dalam peraturan
perundang-undangan). Pentingnya “judge
made law” itu diperbesar oleh Gray dalam rumusannya “All the law is judge made law”.[17]
Fungsi hakim yang bebas untuk mencari dan merumuskan nilai hukum
adat dalam masyarakat, diharapkan dapat memfungsikan hukum untuk merekayasa
masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan dengan memenuhi rasa keadilan,
kegunaan dan kepastian hukum secara serasi, seimbang dan selaras. Dewasa ini di
Indonesia telah berkembang faham untuk mengfungsikan hukum sebagai rekayasa
sosial (law as a tool of social
engineering) terutama dalam bidang hukum privat adat menjadi hukum privat
nasional.
Berbekalkan konsep dan rancangan
kebijakan seperti itu, tak pelak para pendukung hukum adat tak dapat bertindak
lain selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan pendayagunaan
hukum dalam masyarakat, atas dasar prinsip-prinsip kontigensi yang harus
benar-benar kreatif. Sekalipun dalam era orde baru badan-badan kehakiman
diidealkan akan menjadi hakim yang bebas dan pembagian kekuasaan dalam pemerintah
akan dihormati dengan penuh komitmen, akan tetapi harapan-harapan kepada
badan-badan ini sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk merintis
pembaharuan hukum-lewat pengartikulasian hukum dan moral rakyat agaknya
terlampau berkelebihan.[18]
Salah
satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak
untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah
satu yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah
dari mana hukum itu berasal. Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi
penting sejak hukum menjadi lembaga semakin formal. Dalam konteks perkembangan
yang demikian itu, pertanyaan mengenai “sumber
yang manakah yang dianggap sah?” menjadi penting.[19]
Tentang
masalah dari mana hukum itu berasal atau bersumber yang dapat kita anggap sah,
dalam ilmu hukum hal ini dapat ditinjau dari dalam arti kata formil dan dalam
arti kata material.
Sumber
hukum dalam arti kata formil adalah dapat dilihat dari cara dan bentuk
terjadinya hukum positif (ius constitutum)
yang mempunyai daya laku yang mengikat para hakim dan penduduk warga
masyarakat, dengan tidak mempersoalkan asal-usul isi dari peraturan hukum
tersebut.
Sumber
hukum dalam arti kata material, dapat dilihat dari pandangan hidup dan
nilai-nilai (values waarden) yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat dan keyakinan serta kesadaran hukum
bangsa Indonesia (ius contituendum).
Kemampuan
para hakim kita agaknya dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan
kenyataan, terlebih lagi dalam era globalisasi ini. Kebutuhan hukum dalam
masyarakat dengan cepat berkembang, sehingga para hakim “diharapkan” dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa yang konkrit
dan mengambil keputusan berdasarkan hukum yang ditemukannya sendiri dan
akhirnya dapat menjadi yurisrpudensi yang tetap dan berwibawa.
Ketidakmampuan
para hakim Indonesia untuk bertindak mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi
pembaharuan hukum nasional itu sesungguhnya tidak hanya bersebab pada status
para hakim (sebagai Pegawai Negeri) yang sebenarnya kurang menjamin
kemandiriannya, akan tetapi juga oleh sebab lain yang terikat pada doktrin dan
tradisi, yang menentukan bahwa hakim tidak boleh menyimpang dari undang-undang,
tetapi sepenuhnya harus tunduk pada undang-undang atau sebagai corong
undang-undang (La bouche qui pronounce
les paroles de loi).
Doktrin
dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia, telah
mengkonsepkan hakim sebatas sebagai corong undang-undang yang mereka temukan
dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara
doktrinal. Pendidikan hukum dan kehakiman di Indonesia telah terlanjur sangat
menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah
mencoba mendedah mahasiswa juga ke cara berfikir induktif yang diperlukan untuk
menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws.[20]
Secara
formil yang menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah:
segala peristiwa-peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan
kata lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan
penduduk warga masyarakat yaitu terdiri dari: undang-undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrina.
Namun
demikian hakim dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus
melihat sumber-sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber
hukum dalam arti formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu
perkara yang sedang diperiksanya. Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam
proses menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang konkrit,
mefungsikan hakim untuk turut serta
menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, atau bertindak
sebagai penemu hukum dalam upaya menegakkan keadilan dan kepastian hukum.
Menurut
von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar
dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam
menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup.[21]
Anggapan
bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan
yang tertutup (logische Geschlos senheit),
pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa,
hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu
terus-menerus dalam suatu proses perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi,
bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistim
hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim tersebut. Namun hakim
tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia
harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada.
Setiap
undang-undang pada dasarnya dibentuk secara in
abstracto atau dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk undang-undang hanya
merumuskan aturan-aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada di
bawah penguasaannya, sedangkan hakim menjalankan undang-undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit,
yaitu yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu.
Hakim
dalam menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan suasana konkrit untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum (rechts zekerheid), harus dapat memberi makna dari isi ketentuan
undang-undang serta mencari kejelasan dengan melakukan penafsiran yang
disesuaikan dengan kenyataan, sehingga undang-undang itu dapat berlaku konkrit
jika dihadapkan dengan peristiwanya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Aveldoorn,
van L. J, Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta: Pradnya Pramita,1986.
Black, Donald, Behavior of Law, New York, San
Fransisco, London: Academic Press, 1976.
Friedman, Lawrence, American Law, London: W.W. Norton & Company, 1984.
Hommes, Van Eikema, Logika en Rechtsvinding, Tanpa kota: Vrije Universiteit, tanpa
tahun.
Lubis, M. Solly, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989.
Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti,
1993.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986.
Utrecht, E., Pengantar
Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962.
Wignjosoebroto,
Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,
Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1994.
, Hukum, Paradigma, Metode
dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002.
Peraturan dan Undang-undang
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945.
Republik Indonesia, Republik
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Republik
Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun
1982 tentang Hukum Acara Pidana.
Republik Indonesia, Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
* Makalah disampaikan
pada “Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah Sumatera Utara”,
pada hari Jum’at, 27 April 2007, bertempat di Gayo Room Garuda Plaza Hotel, Jl.
Sisingamangaraja No. 18 Medan.
** Guru Besar Tetap Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
[1] Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton
& Company, 1984), hal. 6.
[2] Ibid, hal. 7.
[3] Donald Black, “Behavior of Law”, (New York, San
Fransisco, London: Academic Press, 1976), hal. 2.
[4] Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[5] Selanjutnya dijelaskan
bahwa faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah
geopolitik; (2) kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik;
(3) kesatuan cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah
ekopolitik; (4) kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik;
dan (5) kesatuan sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya
adalah kratopolitik. M. Solly Lubis, “Serba-serbi
Politik dan Hukum”, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 48 dan 94-96.
[6] Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya”, Cetakan Pertama, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 380.
[7] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”,
(Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
[8] Hakim diberi kesempatan
menggolongkan peristiwa-peristiwa hukum sebanyak-banyaknya di dalam suatu
golongan, yakni golongan peraturan hukum itu. Yakni, hukum yang berlaku pada
saat ini atau hukum yang berlaku pada saat yang tertentu. Misalnya,
peraturan-peraturan hukum dalam KUH Pidana, peraturan-peraturan pemerintah
daerah yang berlaku sekarang atau yang berlaku pada masa lalu sebagai hukum
positif dan hukum alam serta hukum tidak tertulis lainnya. Peraturan hukum
sebagai peraturan yang abstrak dan hypotetis,
dengan demikian hukum itu harus tetap berguna (doelmatig). Agar tetap berguna hukum itu harus sedikit mengorbankan
keadilan. E. Utrecht, “Pengantar Dalam
Hukum Indonesia”, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), hal. 24-28.
[9] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung : Alumni, 1986),
hal. 21.
[10] Ibid.
[11] Van Eikema Hommes, “Logika en Rechtsvinding”, (Tanpa kota:
Vrije Universiteit, tanpa tahun), hal. 32.
[12] Lihat, Mahkamah Agung dalam Putusan
tanggal 2 Nopember 1960, Reg. No.302 K/Sip/1960, berkesimpulan bahwa: “hukum
adat di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda perempuan
selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti, bahwa
sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di tangan
janda, sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau
kawin lagi, sedang di berapa daerah Indonesai di samping menentukan ini mungkin
dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan, sijanda
perempuan berhak atas bagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak
kandung dari sipeninggal warisan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, tidak
dapat berlaku sebagai peraturan hukum yang mengikat secara umum, tetapi
hanyalah mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti
oleh hakim lain dalam hal perkara yang sama. Namun sebagai penemuan hukum dari
hakim yurisprudensi ini cukup berharga sebagai faktor pembentukan hukum
nasional.
[13] Lihat, Pasal 28 Undang-undang
No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[14] Lihat, Penjelasan Pasal 28 Undang-undang No. 4
Tahun 2004.
[15] E. Utrecht, Op.cit, hal. 230.
[16] Ibid, hal. 230-231.
[17] Ibid, hal. 263.
[18] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, (Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 1994), hal. 244.
[19] Satjipto Rahardjo, Op.cit, hal. 111.
[20] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, Op.cit, hal. 244.