Pembahasan hukum lingkungan internasional tidak dapat dipilah
secara tegas dengan pembahasan hukum lingkungan nasional. Hal ini karena
hal-hal yang diatur dalam hukum lingkungan internasional harus ditindaklanjuti
di tingkat nasional sehingga bukti implementasinya hanya bisa dilihat di
tataran nasional. Beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan telah
diratifikasi pemerintah Republik Indonesia. Di antaranya:
1. Protokol Montreal
Merupakan kelanjutan konvensi Wina tentang Perubahan Iklim.
Protokol Montreal ini mengatur kesepakatan antarnegara yang meratifikasi untuk
mengurangi ecara bertahap penggunaan CFC sampai menjelang tahun 2000. Tujuan
protokol ini adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari
dampak negatif kegiatan manusia yang merusak lapisan ozon
2. Protokol Kyoto
Protokol koto mengatur kerangka kerja tentang konvensi perubahan
iklim, protokol ini dilengkapi dengan dua Annex, yaitu Annex A dan Annex B.
Annex A mengenai gas-gas rumah kaca yang terdiri dari atas: CO2, CH4, N2O, PFC, dan FC6. Annex
B mengenai kategori energi, industri energii, industri manufaktur. Annex ini
merupakan perhitungan pembatasan atau reduksi gas-gas rumah kacayang menjadi
komitmen para pihak.
3. Konvensi Basel
Lengkapnya adalah: Convention on thr Control of Transboundary
Movements on Hazardous Waste and their Disposal. Konvensi ini mengatur tentang
pengawasan perpindahan lalu lintas batsa limbah B3 dan
pembuangannya/penyimpanannya. Konvensi ini melarang ekspor limbah beracun ke
negara yang tidak mampu mengelola secara berwawasanlingkungan. Indonesia telah
meratifikasi konvensi basel melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1993
4. Deklarasi Rio
Kesepakatan tidak mengikat (nonlegally binding) yang dihasilkan dalam
KTT Rio 1992 memuat Pinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam
Kerangka Pembangunan Berkelanjutan. Prinsip- prinsip Deklarasi Rio
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. untuk mencapai pembangunan berkelnjutan perlindungan
lingkungan harus menjadi bagian integral dari proses pembangunan dan tidak
terpisah dari proses tersebut.
b. isu-isu lingkungan harus ditangani dengan partisipasi dari
rakyat dalam tiap langkahnya.
c. negara harus memfasilitasi dan mendorong kesadaan masyarakat
dan partisipasi mereka dengan menyediakan informasi secara luas.
5. Konvensi Keragaman Hayati
Konvensi ini mengatur perlindungan keragaman hayati. Setiap
neagra mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya hayatinya
sesuai denagan kebijakan lingkungannya. Konvensi ini bertujan menagatur
pemnafaaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi
keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik secara adil dan
merata. Indoensia meratidikasi Undang-Undang nomor 5 tahtn 1992 tentang
Pengesahan Konvensi Keragaman Hayati tanggal 1 Agustus 1994.
6. Konvensi tentang Perubahan Iklim
Konvensi tentang perubahan Iklim dihailkan melalui KTT Rio 1992.
Konvensi ini bertujuan untuk mencapai kestabilan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer pada tingkat yang dapat mencegahkondisi yang membahayakan sistem iklim
dalam jangka waktu cukup agar ekosistem dapat menyesuaikan diri denagan
perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1994
tentang Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim tanggal 23 Agustus 1994.
7. Agenda 21
Agenda 21 merupakan dokumen yang dihalirkan pada saat KTT Rio,
bersifat sangat penting karena sifatnya yang komprehensif. Agenda ini memuat
program dan strategi rinci untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di seleruh
negara di dunia, agenda ini bersufat Non-legally
Binding. Untuk menajga penerapan Agenda-21 UNCED membentuk Commission
for Suistainable Development (CSD)
Pembangunan Berkelanjutan
Berwawasan Lingkungan
1. Pembangunan
Berkelanjutan
Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama
kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah
terbentuknya World Commission
on Environment and Development(WCED) pada 1987 atau
lebih dikenal dengan Brundtland
Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan[1]. Secara sekilas, definisi seperti ini terlihat begitu
sederhana, akan tetap issu yang berkembang cepat serta mendalam nyatanya
membuat ruang lingkupnya menjadi semakin kompleks.
Dalam World Summit
Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga
pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk
saling menopang antara satu dengan lainnya. Dengan demikian dapatlah dirumuskan
bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek
pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada
perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan
juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk
memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik.[2]
Lebih lanjut, apabila ditarik melalui persepektif kerangka hukum
internasional, Dominic McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang
ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tesebut
dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan
internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia
internasional.[3] Dengan
demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat
dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak
asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD
1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan
berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab,
ketentuan dan norma hak asasi manusia di dalam UUD 1945 memiliki substansi dan
pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat
universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti
UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya.[4]
Terkait dengan issu perubahan iklim, maka perlu juga
diperhatikan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di
Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Asas-asas pembangunan
berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED tersebut, terdiri dari: (1) keadilan
antargenerasi (intergenerational equity); (2)
keadilan dalam satu generasi (intra-generational
equity); (3) prinsip pencegahan dini(precautionary
principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological diversity); dan
(5) internalisasi biaya lingkungan (internalisation
of environment cost and incentive mechanism). Kemudian, salah satu
hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu
dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya
(multihazard) dan inklusi untuk
menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk
pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur
penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21.[5]
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan
berkelanjutan dikemukakan secara rinci dalam deklarasi dan perjanjin
internasional yang dihasilkan melalui melalui konferebsi PBB tentang lingkungan
dn pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) di
Rio de Janeiro pada tahun 1992. Dari berbagai dokumen yang dihasilkan pada
konferensi itu, scara formal terdapat lima prinsip utama dari pembangunan
berkelanjutan, yaitu:
1.Prinsip Keadilan
Antargenerasi (Intergenerational Equity Principle),
prinsip ini mengndung makna bahwa setip generasi umat masnusia di dunia
memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk
akibat perbuatan generasi sebelumnya
2. Prinsip keadilan dalam satu generasi (Intergenerational
Equity Principle), prinsip keadilan dalam satu generasi merupakan prinsip yang
berbicara tentang keadilan di dalam sebuah generasi umat manusia, di mana beban
dari permasalahan lingkungan ahrus dipikul bersama oleh masyarakatdalam satu
generasi
3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle), prinsip
pencegahan dini mengandungsuatu pengertian bahwa apabila ada ancaman yang
berart atau adanya ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan
serta ketiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konsklusifdan pasti, tidak
dapat dijaidkan alasan untk menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan.
4. Prinsip Kerlindungan Keragaman Hayati, perlindungan keragaman
hayati merupakan prasyarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan
antargenerasi. Perlindungan keragaman hayati diperlukan demi pencegahan dini
5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan, kerusakan lingkungan
dapat dilihat sebagai external cost dari suatu kegiatan ekonomi yang diderita
oleh pihak yang tidak terlbat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Jadi, keruskaan
lingkungan merupakan external cost yang harus ditanggung oelh kegiatan pelaku
ekonomi. Oelh kaena itu, biaya kerusakan lingkungan harus di integrasikan ke
dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan
sumber-sumber alam tersebut.
Kelima prinsip tersebut di atas dikenal sebagai prinsip pokok
dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kemudian, kelima
prinsip tersebut oleh sebagaian besar peserta KTT bumi 1992 dijadikan landasan
hukum lingkungan, baik tingkat global (sebagaimna tertuang dalam deklarasi dan
dokumen-dokumen Internasional yang dihasilkan melalui KTT Bumi 1992) maupun
tingkat nasional sebagiman tertuang dalam Undang-Undang nomor23 tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup.
2. Pembangunan Berwawasan
Lingkungan
Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan
berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya
alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian,
pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut
memperhatikan aspek-aspek yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, pembangunan haruslah mampu untuk menjaga
keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada
dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa
sekarang maupun masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (CBESD), maka diperlukanlah
pokok-pokok kebijaksanaan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai
berikut:[6]
a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai
dengan daya dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap
lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan
tanah;
d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi
stabilitas tatanan lingkungan.
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan
daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan
lingkungan;
g.Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan
ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan
peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan;
i. Pengembangan kerja sama luar negeri.
Dari uraian di atas, maka sudah tampak jelas bahwa terdapat
kesesuaian antara norma “berwawasan lingkungan” dengan perubahan iklim. Segala
strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan secara khusus ketika
aktor-aktor negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian. Secara teoritis
dan praktis, penilaian sumber daya alam dengan berdasarkan biaya moneter dari
kegaiatan ekstraksi dan distribusi sumber daya semata sering telah
mengakibatkan kurangnya insentif bagi penggunaan sumber daya yang sustainable
(berkelanjutan). Ada dua kepentingan yang saling dibutuhkan suatu bangsa saat
ini yakni kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Kuatnya saling
interaksi dan ketergantungan dua faktor itu maka diperlukan pendekatan yang
cocok bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan
lingkungan (sustainable development).
Selanjutnya dengan kegiatan konsumsi yang berlebihan terhadap
sumber daya untuk kegiatan produksi mengakibatkan terjadinya degradasi
lingkungan yang menjadi beban dan biaya lingkungan masyarakat. Untuk mendukung
penggunaan sumber daya yang sustainable maka biaya lingkungan akibat degradasi
itu harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi yang tidak hanya
pada pola konsumsi dan perdagangan tetapi juga sumber daya seperti laut, air
segar, dan hutan-hutan, dan sumber daya alam lainnya.
Integrasi ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan yang
berkelanjutan tergantung banyak factor. Menurut Lonergan (1993) untuk menjamin
terlaksananya pembangunan yang berwawasan lingkungan, ada tiga dimensi penting
yang harus dipertimbangkan. Pertama adalah
dimensi ekonomi yang menghubungkan pengaruh-pengaruh unsur makroekonomi dan
mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber daya alam diperlakukan dalam
analisa ekonomi. Kedua, adalah
dimensi politik yang mencangkup proses politik yang menentukan penampilan dan
sosok pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan pada suatu
negara. Diamensi ini juga termasuk peranan agen masyarakat, struktur sosial dan
pengaruhnya terhadap lingkungan. Ketiga, adalah dimensi sosial dan budaya yang
mengaitkan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu pengetahuan barat, serta
pola pemikiran dan tradisi agama. Ketiga dimensi ini berinteraksi satu sama
lain untuk mendorong terciptanya pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, keterkaitan antara aktivitas
ekonomi dan lingkungan dikaji dalam bidang ilmu yang dikenal sebagai ilmu
ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan ini
mengkhususkan kajian tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan yang meliputi:
(1) analisa dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi ummat manusia seperti
kegiatan produksi dan konsumsi barang dan jasa; (2) analisa dampak ekonomi
terhadap kerusakan alam seperti kesehatan manusia dan hewan; kerusakan terhadap
lingkungan fisik (buatan manusia) seperti bangunan, intalasi dan lain
sebagainya; serta (3) mempelajari pilihan dan tingkah laku manusia dalam
memecahkan konflik yang berkaitan dengan perubahan lingkungan, bagaimana
manusia sebagai individu maupun kelompok dalam melakukan kompromi (tradeoff)
antara nilai ekonomi dan lingkungan atau memasukan unsur lingkungan dalam
analisa ekonominya.
Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dan kualitas lingkungan
inilah yang melatarbelakangi berkembangnya konsep pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan tidak lepas dari bagaimana
keterkaitan antara lingkungan sebagai asset dan aktivitas ekonomi sebagai basis
bagi kajian ekonomi yang berdimensi lingkungan.
[1] Pan Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian
Berperspektif Hukum Konstitusi.”
Dalam World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, 1987, hlm. 43.
[2] Pan
Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan
Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi.” dalam
Thomas A. Easton, ed., Taking Sides:
Clashing Views on Controversial Environmental Issues, McGraw
Hill, 2008, hlm. 28-33.
[3] Pan
Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan
Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi.” Dalam
Dominic McGoldrick, “Sustainable Development and Human Rights: An Integrated
Conception”,
[4] Pan
Mohamad Faiz, Human Rights
Protection and Constitutional Review: A Basic Foundation of Sustainable
Development in Indonesia, makalah dipresentasikan pada ISSM 2008 di
Delft, Belanda pada tanggal 13 Mei 2007.
[5] Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 104-107
[6] Surna
T. Djajadiningrat, Jurnal Hukum
Lingkungan, Tahun I No. 1/1994, ICEL, Jakarta, hlm. 6-9.
0 komentar:
Posting Komentar