JAMINAN HUKUM LEBIH PASTI BAGI PEMENUHAN HAK-HAK PD DI INDONESIA
Oleh:
Antoni Tsaputra, S.S, MA*
Setelah menunggu sekian tahun sejak RI menandatangani Convention on the Rights of Persons
with Disability (Konvensi PBB
mengenai hak-hak penyandang cacat/disabilitas) tahun 2007 silam di New York, tanggal 18 Oktober 2011 menjadi
momentum historis bagi perjuangan panjang kaum PD di Indonesia dalam menuntut
hak-hak dasar mereka karena akhirnya perjanjian internasional tersebut
diratifikasi oleh DPR RI.
Sesuai pasal 43 Konvensi hak-hak PD, Indonesia
sebagai penandatangan
Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri) dengan
konvensi. Ratifikasi menurut UU
No.24 tahun 2000 berarti menjadikan konvensi sebagai hukum nasional atau,
dengan kata lain, pengesahan perjanjian internasional ini menjadi undang-undang
oleh DPR RI.
Seluruh PD di Indonesia menaruh harapan besar terhadap
penegakan undang-undang perlindungan hak PD secara serius. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesamaan pandangan dan pemahaman
serta kesiapan dari seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan konvensi
tersebut guna memenuhi hak-hak PD Indonesia yang selama ini terabaikan.
Sebelumnya sudah ada beberapa peraturan
perundang-undangan atau instrumen hukum yang menjamin penyediaan hak-hak mendasar bagi PD. Sebagai contoh, Undang-Undang No.
4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menegaskan bahwa kesetaraan dan
non-diskriminasi merupakan salah satu syarat dari terbukanya berbagai akses
bagi orang dengan disabilitas. Tidak hanya itu, Indonesia juga mempunyai
Undang-undang RI No. 28 tahun 2002 mengenai Bangunan dan Gedung serta berbagai
peraturan menteri yang relevan dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan, diatur bahwa
setiap bangunan harus menyediakan fasilitas/infrastruktur untuk penyandang
disabilitas, kecuali perumahan pribadi.
Tapi sejauh ini yang kita lihat kenyataannya
masih jauh panggang dari api. Aksesibilitas untuk kesetaraan dalam penggunaan bangunan umum dan kantor
pemerintah masih jarang diimplementasikan. Sebagai contoh, saranatransportasi
umum yang tidak bersahabat dengan penyandang disabilitas, tidak adanya trotoar
yang mendukung bagi penyandang disabilitas, tempat parkir kendaraan yang tidak
cocok bagi penyandang disabilitas, elevator yang terlalu sempit dan bahkan sebagian besar fasilitas umum di beberapa
daerah sama sekali tidak memiliki elevator atau jalur melandai (ramp), sarana sanitasi yang
tidak mendukung seperti tidak ada
toilet khusus untuk penyandang disabilitas,
dan juga jalanan yang licin serta tidak rata yang tidak dapat dilewati oleh
penyandang disabilitas yang menggunakan kursi
roda.
Dengan telah diratifikasinya Konvensi hak PD
ini, seluruh elemen bangsa, masyarakat dan pemerintah harus memberikan komitmen
untuk memastikan terpenuhinya seluruh hak-hak PD yang diakui secara
internasional sebagaimana terkandung dalam konvensi PBB tersebut.
Antara lain hak-hak PD yang harus dijamin
pemerintah sesuai konvensi adalah hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
martabat, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena. Hak PD
lainnya yaitu mendapatkan
penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan kesamaan dengan orang
lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapat perlindungan dan pelayanan sosial
dalam rangka kemandirian, hak atas pendidikan dan pekerjaan yang layak, hak
aksesibilitas seperti akses terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi
serta terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka, termasuk di gedung-gedung pemerintah dan swasta, jalanan, sarana transportasi, sekolah, perumahan dan fasilitas medis,
serta sarana prasarana lain yang erat kaitannya dengan kebutuhan PD. Hak yang juga paling utama adalah para PD harus dilibatkan
dalam setiap pengambilan keputusan untuk pembangunan.
Beberapa hal yang
dapat segera dilakukan sebagai follow-up ratifikasi konvensi PBB tentang hak PD adalah peninjauan ulang
peraturan perundangan sebelumnya, sosialisasi ke masyarakat melalui berbagai
media tentang substansi konvensi yang sudah diratifikasi dan juga tentang
penggunaan terminologi ‘Penyandang Disabilitas’ sebagai pengganti ‘penyandang
cacat’ yang selama ini menstigmatisasi dan merendahkan. Klausul ‘sehat jasmani
dan rohani’ yang selama ini banyak ditemui dalam persyaratan pengadaan pegawai
juga harus dihapuskan karena mengandung unsur diskriminatif.
Substansi pengaturan konvensi yang sudah kita
ratifikasi ini meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat,
tidak hanya menyangkut aksesibilitas. Oleh sebab itu, penyuluhan ke masyarakat
agar tidak lagi memandang PD sebelah mata sebagai warga
kelas dua yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan serta perubahan sikap
masyarakat dan kebijakan pemerintahuntuk mengakomodir prinsip
HAM non-diskriminatif, kesetaraan dan kesempatan yang sama akan menentukan cepat
atau lambatnya hasil ratifikasi terealisasi. Faktor yang juga tidak kalah
pentingnya adalah mekanisme law
enforcementyang betul-betul menjamin kepastian hukum untuk pemenuhan
hak-hak PD di Indonesia seperti yang sudah dinikmati PD di negara-negara
maju..**
0 komentar:
Posting Komentar