BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR
BELAKANG
Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945, sebagaimana
diketahui, yaitu sebagai landasan filosofis dan landasan konstitusional dalam
terbentuknya suatu demokrasi ekonomi. Dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi ini,
pemerintah hanya bersifat pasif yaitu sekedar memfasilitasi segala kebutuhan
rakyat. Dalam hal memfasilitasi kebutuhan rakyat, pemerintah haruslah sejalan
dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan Pancasila yaitu sila ke-lima dengan
menganut asas kekeluargaan. Ketentuan lain dalam aturan peralihan UUD 1945
berlandaskan juga asas perorangan, dimana penerapan asas perorangan semakin
terlihat di era globalisasi sekarang ini. Hal ini menimbulkan polemik
dikalangan masyarakat oleh karena ada dualistik sistem ekonomi Indonesia dan
juga sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan yang notabene nya “untuk
kepentingan masyarakat umum”, namun nyatanya tidak untuk kesejahteraan rakyat,
mereka bergerak dengan berlandaskan asas perorangan yang pada akhirnya rakyat
yang dikorbankan dan dirugikan. Kemudian Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945
masihkah relevan dan diperlukan di era globalisasi sekarang ini.
I.2.
PERMASALAHAN
- Bagaimana sesungguhnya pengaturan jelas mengenai pasal 33 UUD 1945 dan apakah secara tegas menganut prinsip monopoli?
- Bagaimanakah penerapan Pasal 33 UUD 1945 saat ini dan apakah sistem ekonomi saat ini bersikap “mendua” ?
- Masih perlukah mempertahankan landasan hukum ekonomi (Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945) ditengah pengaruh globalisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
PENGATURAN JELAS MENURUT PASAL 33 UUD 1945 DAN
PENEGASAN PRINSIP DALAM PASAL INI
Penjelasan
pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi
ekonomi, dan kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang
perorangan". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu
harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat". Penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara"
dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya
dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan
pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada asas kepentingan mayoritas
masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya,
melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-perorangan. Dengan
kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan
sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33. Kemudian Hak
Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh -setidaknya-- dalam 11
undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas
bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan sumber daya alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini
tertuang dalam :
- UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960;
- UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967;
- UU Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967;
- UU Landasan kontinen No. 1 tahun 1973;
- UU No. 11 tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Pengairan;
- Uu 13 tahun 1980 tentang Jalan;
- UU No. 20 tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan;
- UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- UU No. 9 tahun 1985 tentang Ketentuan Pokok Perikanan;
- UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian; dan
- UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati.
Sebenarnya pasal 33 UUD 1945, dan selanjutnya semua
perundang-undangan yang didasarkan kepada pasal 33 UUD 1945 tersebut adalah
suatu amanat dari proklamasi dan UUD 1945 mengenai perekonomian nasional
Pancasila dengan berpusat pada kemakmuran rakyat. Yang dimaksud dengan ini
adalah mendahulukan tercapainya kemakmuran rakyat, dan diatas itu dibangun
secara berencana hal-hal dan bidang-bidang lain dari kehidupan rakyat[1]. Pasal 33
juga mengamanatkan bahwa perekonomian indonesia akan ditopang oleh 3 pemain
utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang
akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta
intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan
PENERAPAN PASAL 33 UUD 1945 SAAT INI DAN SISTEM
EKONOMI SEKARANG YANG BERSIKAP “MENDUA”
Sebagaimana telah disinggung pada bagian latar
belakang, bahwasanya pasal 33 UUD 1945, dalam penerapannya oleh perusahaan
dilapangan, menimbulkan polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat.
Apalagi jargon 'demi kepentingan umum' dan atau 'demi pembangunan' seolah-olah
menjadi cara sah untuk menggusur rakyat dari sumberdaya alamnya. Rakyatlah
yang menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam,
tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Saat ini Pasal 33 UUD 1945 (ide Bung
Hatta yang dibela oleh Bung Karno karena memangku ide “sosio-nasionalisme” dan
ide “sosio-demokrasi”) berada dalam bahaya. Pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan
diamandemen, tetapi substansi dan dasar kemuliaan ideologi kebangsaan dan
kerakyatan yang dikandungnya akan diubah, artinya akan digusur, oleh sekelompok
pemikir dan elit politik yang kemungkinan besar tidak mengenal platform
nasional Indonesia. Sebenarnya Pasal 33 UUD ini tidak salah apa-apa, yang telah
disebutkan dibeberapa ayatnya memang itu adanya, hanya saja ternyata pemerintah
Indonesia menerapkan Pasal 33 dengan "malu-malu kucing", Jiwa
sosialisme yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan melalui
pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan keterlibatan
rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Hal tersebut merupakan sistem ekonomi pasar
tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara kepada pihak swasta. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia saat ini
mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan
keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan apapun
kepada rakyat kecil.
Dalam kenyataannya sekarang ini sistem ekonomi yang
diterapkan bersikap “mendua” karena ternyata hak menguasai oleh negara itu
menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik
Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan
rakyat. "Mendua" karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi
demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada
perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.
Sedangkan pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi
sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah,
dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini akan digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan
mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak
pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sehingga akhirnya sumber daya alam
dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja.
PERLUNYA MEMPERTAHANKAN LANDASAN HUKUM EKONOMI
(PANCASILA DAN PASAL 33 UUD 1945) DITENGAH PENGARUH GLOBALISASI
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dua decade
terakhir ini adalah perubahan menuju terwujudnya masyarakat global. Semangat
tersebut mendorong Negara-negara di dunia ini untuk menjadi bagian yang lebih
baik bahkan terbaik didalamnya, demikian pula dengan Indonesia[2]. Di Negara
yang ekonominya telah maju, keadilan sosial hendak diciptakan dengan membatasi
kebebasan dan hak-hak asasi manusia[3],
dan kiranya menurut penulis, Indonesia sedikit mengarah ke hal itu.
Dilihat dari sejarahnya, dahulu masyarakat di
Indonesia lebih menjaga kepentingan komunitas dibandingkan kepentingan individu
dalam suatu masyarakat, hak individu tidak terlalu signifikan untuk
diperjuangkan, lebih cenderung kepada harmonisasi kepentingan atau yang kita
kenal dengan asas kekeluargaan. Masyarakat Indonesia dahulu terkenal dengan
masyarakat yang suka bergotong-royong, tolong-menolong dan lainnya. Namun saat
ini masyarakat Indonesia telah berubah total, karena sistem ekonomi industri
yang diadopsi menyebabkan tatanan sosial beradaptasi dengan asumsi-asumsi
ekonomi yang dibutuhkan, dimana masyarakat berubah menjadi lebih individual.
Akan tetapi perubahan itu tidak sepenuhnya telah menguasai tatanan sosial
masyarakat Indonesia. Hak individu ini mungkin belum mengakar sepenuhnya
kedalam sistem masyarakat Indonesia.
Meskipun dalam pengaruh globalisasi, landasan hukum
ekonomi Indonesia yaitu Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 tetap harus diperlukan
dan dipertahankan. Secara pemahaman sederhana bahwa tanpa landasan hukum
ekonomi, sistem ekonomi Indonesia tidak akan terlaksana dan berdiri hingga saat
ini, dan sebagai bangsa yang berjiwa nasionalis sebaiknya kita perlu
mempertahankan landasan hukum ekonomi dengan asas kekeluargaannya karena
landasan hukum tadi mengemban amanat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang
diantaranya untuk kesejahteraan masyarakat.
Pasal 33 UUD 1945 haruslah dipertahankan. Sesuai tata
letaknya dalam UUD 1945, Pasal 33 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada
pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Kesejahteraan
sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan
menempatkan Pasal 33 UUD 1945 di bawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” itu,
berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan
kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan test untuk
keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata per-tumbuhan ekonomi apalagi
kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal
yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan
individu orang-perorang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal restrukturisasi
ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi. Pancasila dan
Pasal 33 UUD 1945, bagaimanapun juga masih diperlukan sebagai landasan hukum
ekonomi meskipun ditengah pengaruh globalisasi karena melalui pasal 33 UUD 1945
dapat dilakukan yang namanya transformasi ekonomi dan transportasi sosial
Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan
tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Makin
berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens, Tony Blair, dll) makin
meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara Eropa
Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).
Memang tidak akan mudah bagi mereka (para ekonom
junior) untuk memahami Pasal 33 UUD 1945 tanpa memiliki platform nasional,
tanpa memiliki ideologi kerakyatan, ataupun tanpa memahami cita-cita
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang saat ini tetap relevan. Mereka
(sebagian ekonom junior) kiranya tidak suka mencoba memahami makna
“perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”
(ayat 1 Pasal 33). Pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan”
terkesan untuk sekedar menunjukkan kepongahan akademis belaka. “Asas
kekeluargaan” adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan untuk memberi
arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia” adalah istilah Indonesia
untuk nasionalisme, dan “kerakyatan” adalah istilah Indonesia untuk demokrasi.
Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami
cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan
sesamanya sebagai saudara. Jadi asas kekeluargaan yang brotherhood ini
bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan yang nepotistik. Kebersamaan dan
kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia
Merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang menjadi dasar sistem
ekonomi kolonial yang dipelihara oleh Wetboek van Koophandel (KUHD). Itulah
sebabnya UUD 1945 memiliki Aturan Peralihan, yang Ayat II-nya menegaskan bahwa
sistem hukum kolonial berdasar KUH Perdata, KUH Pidana, KUHD, dll tetap berlaku
secara temporer, yang berkedudukan sebagai “sementara sebelum diadakan
yang baru menurut UUD 1945”.
Pasal 33 UUD 1945 tidak punya andil apapun terhadap
keterpurukan ekonomi saat ini dan bukan Pasal 33 UUD 1945 yang mengakibatkan
Negara kita terjerumus ke dalam jebakan utang (debt-trap) yang seganas ini.
Pasal 33 UUD 1945 tidak salah apa-apa, tidak ikut memperlemah posisi ekonomi
Indonesia sehingga kita terhempas oleh krisis moneter. Bukan Pasal 33 yang
menghadirkan kesenjangan ekonomi (yang kemudian membentuk kesenjangan sosial
yang tajam dan mendorong disintegrasi sosial ataupun nasional), meminggirkan
rakyat dan ekonominya. Bukan pula Pasal 33 yang membuat distribusi pendapatan
Indonesia timpang dan membiarkan terjadinya trickle-up mechanism yang
eksploitatif terhadap rakyat, yang menumbuhkan pelumpuhan (disempowerment) dan
pemiskinan rakyat (impoverishment).
Pasal 33 tidak menghambat, apalagi melarang Negara
Indonesia maju dan mengambil peran global dalam membentuk tata baru ekonomi
mondial. Tiga butir Ayat Pasal 33 UUD 1945 tidak harus digusur, tetapi ditambah
ayat-ayat baru, bukan saja karena tidak menjadi penghambat pembangunan ekonomi
nasional tetapi juga karena tepat dan benar. Penulis mengusulkan berikut ini
sebagai upaya amandemen UUD 1945, yang lebih merupakan suatu upaya memberi
“addendum”, menambah ayat-ayat, misalnya untuk mengakomodasi dimensi otonomi
daerah dan globalisasi ekonomi, dengan tetap mempertahankan tiga ayat aslinya.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasaan diatas dapat disimpulkan bahwa
landasan hukum ekonomi yaitu Pancasila sebagai landasan filosofis dan
Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan Konstitusional, masih perlu dipertahankan
ditengah pengaruh globalisasi sekarang ini karena melihat bahwa Pasal 33 UUD
1945 ini mengemban amanat proklamasi kemerdekaan yaitu untuk mensejahterakan
rakyat. Polemik yang timbul di kalangan masyarakat terjadi karena pada intinya
mereka tidak mendapatkan yang namanya kejehteraan dan kemakmuran, hal ini
dikarenakan pemerintah Indonesia kini ber asaskan perorangan bukan lagi asas
kekeluargaan. Pemerintah melakukan cara apapun untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat termasuk dalam hal mendegasikan pengelolaan SDA kepada
swasta, dengan asumsi, pemerintah mendapatkan pajak dan royalty dari perusahaan
swasta dan pajak serta royalty tersebut diperuntukkan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Jargon ‘demi kepentingan umum’ marak dipergunakan oleh
perusahaan swasta yang dalam lapangan mereka tidak menjamin kemakmuran rakyat,
bahkan rakyat Indonesia hanya dipakai tenaganya saja. Polemik ini dapat
dihentikan bilamana pemerintah jangan terpengaruh atau “ikut-ikutan” dari
jebakan pasar bebas sebagai akibat globalisasi.
0 komentar:
Posting Komentar