BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Perkawinan di Indonesia sekarang ini
telah diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU ini mulai berlaku
sejak tanggal 1 Oktober 1975 dan UU ini pun berlaku unifikasi, mengingat
sebelum adanya undang-undang ini banyak peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan seperti diantaranya GHR, HOCI, dsb. Dengan berlakunya UU Perkawinan
ini, berdasarkan pasal 66 UUP, ketentuan lain sebelum undang-undang ini, sejauh
telah diatur dalam UU Perkawinan, dinyatakan tidak berlaku. Namun dari
ketentuan ini pula, membuka kemungkinan untuk berlakunya GHR kembali dalam hal
mengatur permasalahan perkawinan beda agama karena dalam UUP sendiri tidak ada
ketentuan yang mengatur tentang perkawinan beda agama, mengingat permasalahan
ini (perkawinan beda agama) tidak mungkin dapat di unifikasi karena
termasuk dalam kategori hukum yang sensitif.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974,
Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara SEOrang pria
dan SEOrang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Disamping itu, dalam UU
Perkawinan pun diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun bagaimana halnya dalam
Perkawinan beda agama. Mengingat dinegara Indonesia ini berdasarkan UU
No.1/PNPS/1965 diakui ada 5 macam agama yaitu: Islam, Katholik, Protestan,
Hindu, dan Budha, bahkan ditambah lagi semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid,
diakui agama Konghuchu, maka tidak mengherankan apabila kita sering menjumpai
atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama atau
kepercayaan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat
mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan.
Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau
pusing karena bisa menikah di negara lain, namun berbeda bilamana kondisi
ekonominya serba pas-pasan, tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum. Masalah
lain pun timbul takhanya soal ekonomi, melainkan kepastian hukum bagi mereka
diantaranya: status keabsahan perkawinan mereka dilihat dari agama
masing-masing ataupun status legal secara administratif, dan hukum agama mana
yang akan mereka gunakan dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan beda agama
bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional Indonesia karena
perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang
terjadi antara WNI dengan WNA. Akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat
sering pula disebut sebagai perkawinan campuran. Untuk memudahkan, tulisan ini hanya
akan menggunakan istilah perkawinan beda agama.
I.2. IDENTIFIKASI
MASALAH
Berdasarkan
pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya,
penulis mengajukan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan
masing-masing agama mengenai perkawinan beda agama?
Apakah UU Perkawinan mengatur/menyebutkan mengenai perkawinan beda agama?
3. Lembaga
manakah yang berwenang untuk mencatat perkawinan beda agama?
4. Bagaimana
pada akhirnya para pihak dapat melaksanakan perkawinan beda agama tanpa faktor
penghalang, apakah salah satu pihak diharuskan beralih agama?
BAB II
KASUS POSISI
Sebelum masuk pada bab Pembahasan,
dalam bab ini penulis mencoba mengangkat kembali kasus perkawinan beda agama
antara pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou sebagai rujukan dalam makalah
ini. Dengan uraian kasus posisi sebagai berikut:
Perkawinan Beda Agama Antara Pasangan Jamal Mirdad dan
Lydia Kandou
Subjek Hukum
1. Jamal Mirdad
2. Lydia Kandou
Fakta Hukum
Lydia Kandou yang beragama Kristen
dan Jamal Mirdad yang beragama Islam, pada tahun 1986 melangsungkan
pernikahan mereka yang begitu kontroversial karena perbedaan agama. Perbedaan
agama di antara keduanya tidak menghentikan langkah keduanya menuju mahligai
pernikahan, walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1 menghalangi mereka untuk
bersatu secara sah. Undang-undang tersebut menyatakan : "Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”. Untuk itu, sebuah perkawinan harus disahkan lebih dulu oleh
agama yang bersangkutan sebelum didaftar ke Kantor Catatan Sipil. Pasangan
artis beda agama ini pada awalnya akan menikah di KUA (Kantor Urusan Agama)
namun KUA menolak dengan alasan mereka akan mencatat perkawinan/menikahkan
pasangan dengan keduanya beragama Islam, dan kemudian mereka menempuh
jalan akhir yaitu KCS (Kantor Catatan Sipil), namun dari pihak KCS pun
mensyaratkan terlebih dahulu untuk mendapatkan pengesahan pernikahan di
Pengadilan.
Akibat Hukum
Konsekuensinya, banyak pasangan
berbeda agama tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka baik di Kantor Urusan
Agama maupun di Kantor Catatan Sipil. Namun pasangan Jamal Mirdad dan Lydia
Kandou nekad menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka mati-matian
di Pengadilan Negeri. Peristiwa yang terjadi tahun 1986 tersebut begitu
menggemparkan. Tentangan dan kecaman dari para tokoh agama dan masyarakat
menghantam secara bertubi-tubi pasangan ini.
Analisa
Bahwa perbedaan agama dari calon mempelai sama sekali
tidak menjadi halangan untuk suatu perkawinan. Ini memang merupakan keluasan
yang pernah dibuka oleh peraturan tentang Perkawinan Campuran Stbl. 1898 Nomor
158 pasal 7 ayat (2). Dalam praktek penyelenggaraan Catatan Sipil dahulu (dan
ternyata sampai sekarang masih juga bisa berlangsung di sementara Kantor
Catatan Sipil) perkawinan campuran karena berbeda agama telah berlangsung
dengan lancar di Kantor Catatan Sipil. Sebab, pegawai atau pegawai luar biasa
Catatan Sipil memang berwenang melakukannya berdasarkan pasal 60 Stbl. 1849
Nomor 25 (untuk golongan Eropa dan Bumiputra serta mereka yang dipersamakan
dengan bangsa Eropa), pasal 48 Stbl. 1933 Nomor 75 (Untuk golongan Indonesia
Kristen di Jawa, Madura, dan Minahasa) atau pasal 68 Stbl. 1919 Nomor 81 (untuk
golongan Tionghoa). ketentuan-ketentuan lama tersebut masih berlaku berdasarkan
pada pasal 66 UUP.
Penyelesaian
Pada akhirnya pasangan beda agama Jamal Mirdad dan
Lydia Kandou mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan
permohonannya dikabulkan sehingga mereka berdua mendapat izin untuk menikah di
Kantor Catatan Sipil.
BAB III
PEMBAHASAN
III.
1. Pandangan Masing-Masing Agama Mengenai Perkawinan Beda Agama
Sebagaimana telah disinggung dalam
Latar Belakang, di Indonesia diakui 5 (lima) agama berdasarkan
UU.No.1/PNPS/1965 yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Kemudian
menyusul Konghuchu yang juga diakui semasa rezim Presiden Abdurrahman Wahid. Masing-masing
agama yang diakui ini mempunyai ketentuan hukum yang berbeda satu sama lainnya.
Pada prinsipnya setiap agama menghendaki penganutnya untuk kawin dengan orang
yang sama agamanya dan tidak menghendaki penganutnya untuk mengadakan
perkawinan dengan penganut agama lainnya, bahkan ada agama yang melarang keras
penganutnya untuk kawin dengan penganut agama lain. Namun taktertutup
kemungkinan dapat terjadi perkawinan beda agama melihat pluralistik masyarakat
Indonesia. Berikut adalah pandangan masing-masing agama mengenai perkawinan
beda agama yaitu menurut pandangan:
·
Agama Islam
Pada prinsipnya menurut pandangan
agama Islam, tidak diperkenankan adanya perkawinan antar(beda) agama, dan hal
ini secara tegas diatur dalam al-Quran yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 221.
Larangan perkawinan dalam surat ini berlaku bagi pria dan wanita yang beragama
Islam. Ditegaskan kembali bahwa dalam surat al-Baqarah ayat 221 bahwa wanita
Islam dilarang kawin dengan laki-laki musyrik atau kafir atau dengan
laki-laki ahli kitab. Namun untuk Laki-laki Islam diberikan suatu dispensasi/pengecualian
terhadap perkawinan beda agama ini, menurut ketentuan dalam surat Al-Maidah
ayat 5, diperbolehkan bagi laki-laki Islam untuk mengawini wanita
ahli kitab (Nasrani dan Yahudi). Selain berdasarkan pada ayat al-Qur’an
tersebut, juga berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw, dimana Nabi pernah menikah
dengan wanita ahli kitab, yakni Mariah Al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula SEOrang sahabat
Nabi yang senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah menikah dengan SEOrang wanita
Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. Dengan begitu
kesimpulannya bahwa hukum Islam membolehkan laki-laki yang beragama Islam untuk
mengawini wanita yang beragama Nasrani dan Yahudi (kalau di Indonesia Katholik
dan Protestan). Hal ini disebabkan karena antara agama Islam dengan Katholik
dan Protestan sama-sama mengajarkan iman kepada Allah, kepada kitab-kitabNya,
kepada Rasul Allah.
·
Agama
Katholik
Menurut pandangan agama Katolik mengenai
perkawinan beda agama yaitu secara tegas menyatakan dalam Kanon 1086,
bahwa “perkawinan antara
SEOrang
Katholik dengan penganut agama lain tidak sah”. Namun demikian, bagi mereka
yang sulit untuk dipisahkan karena cintanya yang kuat, maka pejabat gereja yang
berwenang yakni Uskup dapat memberi dispensasi dengan jalan mengawinkan
pemeluk agama katholik dengan penganut agama lain, asalkan keduanya memenuhi
syarat yang telah ditentukan hukum gereja dalam Kanon 1125, sebagai
berikut:
o Bagi yang beragama Katholik bersedia
untuk tetap setia pada iman agamanya yaitu Katholik, dan berusaha/ diwajibkan
membabtiskan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katholik
o Bagi yang tidak beragama
Katholik, berjanji sebagai berikut:
1. Menerima
perkawinan secara Katholik
2. Tidak akan
menceraikan pihak yang beragama Katholik
3. Tidak akan
menghalang-halangi pihak Katholik melaksanakan imannya
4. Bersedia
mendidik anak-anak mereka secara Katholik
Dengan adanya syarat-syarat dalam Kanon 1125, tampak
bahwa agama Katholik mencegah penganutnya untuk beralih agamanya atau minimal
mencegah menurunnya tingkat keimanan penganutnya setelah kawin dengan penganut
agama lain. Dalam Kanon 1056 pun menetapkan bahwa sifat-sifat perkawinan
menurut agama katholik adalah monogamy dan tidak terceraikan sebelum salah satu
diantara mereka (suami isteri) meninggal dunia.
·
Agama
Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan
menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama karena tujuan
utama perkawinan untuk mencari kebahagiaan yang dapat dicapai dengan iman yang
sama. Gereja Protestan menganjurkan mencari pasangan hidup yang seiman. Tetapi
dalam keadaan darurat Gereja Protestan mengijinkan perkawinan antara
orang-orang yang berbeda agama asal memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
gereja, seperti GKI (Gereja Kristen Indonesia) menetapkan antara lain:
o Bagi yang beragama Protestan
menandatangani perjanjian sebagai berikut:
1. Tetap
melaksanakan iman Kristennya
2. Akan
membabtis anak-anak mereka secara Kristen
3. Berjanji
akan mendidik anak-anak mereka secara Kristen
o Bagi yang bukan beragama
Protestan, harus menandatangani surat pernyataan bahwa ia:
1. Tidak
keberatan perkawinan dilaksanakan di gereja Protestan
2. Tidak
keberatan anak-anak mereka dididik secara Kristen Protestan
Bila dibandingkan perkawinan antara orang yang
beragama Kristen dengan orang yang bukan beragama Islam, Gereja Kristen
Protestan lebih menyukai perkawinan antara pemeluk agama Kristen dengan pemeluk
agama Katholik karena diantara kedua agama itu bukanlah perkawinan beda agama
melainkan beda Gereja saja, mereka dipersatukan dalam “Satu tubuh Yesus
Kristus” dan memunyai misi yang sama. Gereja Protestan juga memberi kebebasan
kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil
atau diberkati di gereja.
·
Agama Hindu
Dalam agama Hindu perkawinan hanya
sah apabila dilaksanakan oleh pedande/pendeta dan pedande hanya melaksanakan
perkawinan bila kedua-duanya beragama Hindu. Disamping itu tampak bahwa dalam
hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar pemeluk
agama Hindu dengan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande. Dalam agama Hindu tidak
dikenal adanya perkawinan beda agama. Dapat dilihat dalam kitab
Manudharmasastra III : 20 dan M.III: 21 yang menyebutkan delapan bentuk
perkawinan, dan tidak ada satupun mengenai perkawinan antar agama. Apabila
salah SEOrang calon
mempelai tidak beragama Hindu, maka dia wajib disucikan sebagai penganut agama
Hindu dan menandatangani “Hani” (surat pernyataan maasuk agama Hindu), kalau
tidak disucikan akan melanggar ketentuan dalam Seloka V-89 Kitab
Manawadharmasastra.
·
Agama Budha
Sesungguhnya dalam agama Budha,
perkawinan itu sebagai salah satu bentuk kehidupan yang selalu dicengkram oleh
duka (penderitaan) dan dalam suatu perkawinan kebahagiaan yang diperoleh itu
hanya bersifat kebahagiaan duniawi sedangkan kebahagiaan tertinggi ialah
Nirwana, dimana untuk mencapainya diperlukan pemadam semua kotoran bathin
termasuk nafsu seks. Jadi dalam ajaran Budha tidak ada hukum yang mengatur
masalah perkawinan. Pandangan Agama Budha terhadap perkawinan antar agama,
ternyata dalam kitab suci Tripitaka tidak diatur tatacara perkawinan. Namun
dalam praktiknya salah satu syarat yang wajib dipenuhi untuk melakukan
perkawinan adalah se-Dharma (seagama). Ketentuan lain, penulis temukan dalam
buku “Perkawinan antar agama dalam teori dan praktek” karangan O.S, Eoh, S.H,
M.S, bahwa perkawinan antar agama menurut keputusan Sangha Agung
Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tata
cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak beragama Budha, tidak
diharuskan masuk agama budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual
perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha,
Dharma, dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Walaupun sebenarnya ia
hanya menundukan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu
dilangsungkan, mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan
merasa keberatan.
III. 2. Undang-Undang
Perkawinan Tidak Mengatur Mengenai Perkawinan Beda Agama
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam ketentuan pasalnya tidak
ada atau tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama, hanya dalam pasal 57
UUP yang menyebutkan pengertian dari perkawinan campuran yaitu “perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Dari
pengertian tersebut berbeda sekali dengan pengaturan perkawinan antar agama.
UUP menganggap perkawinan campuran yaitu perkawinan dengan beda kewarganegaraan
bukanlah beda agama. Jadi jelas dalam UU No 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang
perkawinan antar agama berikut pula dalam PP No.9 Tahun 1975 tidak mengatur
mengenai tata cara perkawinan beda agama. Dengan tidak diaturnya
perkawinan beda agama di dalam UU Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975, bukan
berarti adanya kekosongan hukum. Peraturan tentang perkawinan campuran (stbl.
1898 No. 158) dan Yurisprudensi dapat mengisi kekosongan hukum perkawinan beda
agama. Sebenarnya ketentuan pasal 66 UUP sendiri membuka kemungkinan
dipergunakan kembali GHR dalam memecahkan masalah perkawinan beda agama.
III. 3. Lembaga yang
berwenang mencatat perkawinan beda agama
Lembaga yang berwenang mencatat perkawinan sebagaimana diketahui ada dua
lembaga yaitu Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. KUA berwenang hanya
untuk pasangan yang menikah dengan kedua-duanya beragama Islam dan KCS bagi
pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan kedua-duanya beragama selain
Islam. Lalu pertanyaan besar timbul bagaimana nasib pasangan yang berbeda agama
satu dengan lainnya dan ke lembaga mana mereka akan melangsungkan perkawinan?
Kiranya untuk dapat menjawab pertanyaan besar ini penulis merujuk pada proses
perkawinan beda agama antara Jamal Mirdad dan lidya Kandou pada tahun 1986.
Pasangan artis beda agama ini pada awalnya akan menikah di KUA (Kantor Urusan
Agama) namun KUA menolak dengan alasan mereka akan mencatat
perkawinan/menikahkan pasangan dengan keduanya beragama Islam, dan
kemudian mereka menempuh jalan akhir yaitu KCS (Kantor Catatan Sipil),
namun dari pihak KCS pun mensyaratkan terlebih dahulu untuk mendapatkan
pengesahan pernikahan di Pengadilan. Pegawai atau pegawai luar biasa Catatan
Sipil memang berwenang melakukannya berdasarkan pasal 60 Stbl. 1849 Nomor 25
(untuk golongan Eropa dan Bumiputra serta mereka yang dipersamakan dengan
bangsa Eropa), pasal 48 Stbl. 1933 Nomor 75 (Untuk golongan Indonesia Kristen
di Jawa, Madura, dan Minahasa) atau pasal 68 Stbl. 1919 Nomor 81 (untuk
golongan Tionghoa) dengan tidak menjadikan Agama sebagai faktor penghalang
perkawinan berdasarkan Pasal 7 ayat (2) GHR. Ketentuan dalam stbl dan GHR masih
berlaku karena dalam UU Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan beda
agama (lihat pasal 66 UUP). Untuk kemudian permohonan Jamal Mirdad dan Lidya
Kandou dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan adanya izin
dari Pengadilan Negeri, mereka dapat menikah di Kantor Catatan Sipil. Jadi
dapat disimpulkan bahwa Lembaga yang berwenang mencatat perkawinan beda agama
yaitu Kantor Catatan Sipil (KCS).
III. 4. Pelaksanaan Perkawinan beda Agama
tidak mengharuskan beralih agama
Dalam praktiknya pasangan beda agama selalu merasa perbedaan agama mereka
menjadi faktor penghambat mereka untuk melakukan perkawinan. Sehingga terkadang
timbul pemikiran pendek dengan perbuatan nekad salah satu pihak bisa saja
mengambil jalan untuk beralih agama hanya untuk dapat menikah. Dalam pasal 7
ayat (2) GHR secara tegas ditetapkan bahwa perbedaan agama, keturunan, atau
suku bangsa tidak akan menjadi penghalang suatu perkawinan. Pelaksanaan
perkawinan meskipun itu beda agama akan tetap dilaksanakan karena agama
tidak akan menjadi penghalang perkawinan. Apabila perbedaan agama dijadikan
penghalang untuk terjadinya suatu perkawinan, maka bisa saja salah satu pihak
oleh karena kuatnya rasa cinta mereka dan tetap ingin melangsungkan perkawinan
akan menghalalkan cara sekalipun ia harus beralih agama secara pura-pura. Kalau
sampai terjadi hal demikian maka ini merupakan suatu penyelundupan hukum. Tanpa
beralih agama pun, mereka berdua kalau memang mau perkawinan dapat dilakukan
dengan cara salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama pihak lainnya
pada saat perkawinan dilaksanakan atau apabila dua orang yang berbeda agama itu
tetap mempertahankan agama yang dianutnya, bisa saja perkawinan dilakukan di
Kantor Catatan Sipil. Jadi tidak usah beralih agama apalagi kalau peralihan itu
dilakukan secara pura-pura hanya sekedar untuk mengadakan perkawinan. Disamping
itu mereka bisa bermusyawarah ntuk memilih hukum mana yang akan dipakai, kalau
tidak ada kesepakatan, maka hukum suami yang akan dipakai.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Berdasarkan
pandangan masing-masing agama mengenai perkawinan beda agama bahwa Agama Islam
(khususnya pria muslim yang menikahi ahli kitab), Agama Katholik, dan Protestan
memperbolehkan perkawinan antar/beda agama, sedangkan Agama Hindu, Budha, dan
agama Islam (khususnya wanita Islam yang menikah dengan laki-laki non muslim),
tidak membenarkan perkawinan beda agama.
2. UU No.1
Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama, namun dengan tidak
diaturnya dalam UU ini tidak berarti terdapat kekosongan hukum, hakim dapat
mempergunakan ketentuan dalam GHR untuk mengatasi masalah ini, terlebih lagi
ketentuan pasal 66 UUP, meskipun UUP berlaku unifikasi, dalam ketentuan pasal
itu bila ada yang tidak diatur dalam UUP maka ketentuan sebelum UUP dapat
dipergunakan kembali.
3. Lembaga
yang berwenang untuk mencatat perkawinan beda agama yaitu Kantor Catatan Sipil
dengan merujuk pada proses perkawinan Pasangan Jamal Mirdad dan Lidya Kandou
dengan mengajukan permohonan Pengadilan untuk dapat izin menikah di KCS.
4. Agama
bukanlah faktor penghalang untuk dilaksanakannya perkawinan sesuai ketentuan
pasal 7 ayat (2) GHR, dan tidak usah beralih agama apalagi kalau peralihan itu
dilakukan secara pura-pura karena dapat dilakukan penundukkan diri pada hukum
agama salah satu pihak atau jika keduanya tetap ingin mempertahankan agamanya,
dapat melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Daud Ali, Muhammad, Sikap Negara dalam Mewujudkan
Perlindungan Hukum bagi Warga Negara dan Perkawinan Antar Pemeluk Agama yang Berbeda,
Mimbar Hukum No.5 Th. III, Jakarta, 1992
O.S, EOH. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan
Praktek, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
·
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
0 komentar:
Posting Komentar