BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, Agustus 03, 2011

Hukum dan Moralitas

Persoalan hukum dan moralitas pernah diidentikkan ketika agama menguasai pemerintahan (baca: monarki) pada abad ke- 15 sampai abad ke-16.Perbuatan penodaan agama sama beratnya ancaman hukuman dengan menentang raja; pezina dihukum bakar hidup-hidup (menurut hukum gereja) atau dirajam (menurut hukum Islam).

Sistem hukum pidana Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari peradaban Barat yang telah sejak berabad lamanya menganut paham individualistik. Moralitas yang diunggulkan adalah moralitas individual,bukan moralitas masyarakat. KUHP yang digunakan sampai saat ini dilandaskan moralitas individual bukan moralitas sosial apalagi moralitas Pancasila.

Harapan masyarakat Indonesia– sekalipun penuh perdebatan sampai pengajuan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI–untuk mengkriminalisasi moralitas individual telah berhasil dengan ditetapkannya UU No 44/2008 tentang Pornografi. Meski demikian, Balkin, seorang sosiolog asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa:, semakin didekatkan moralitas ke dalam undang-undang, semakin tidak jelas lagi bentuknya.

Dengan kata lain,Balkin mengatakan bahwa sia-sia mengaitkan hukum dan moralitas di dalam mengatur kehidupan setiap anggota masyarakat. Begitupula para ahli filsafat seperti Hans Kelsen, Jeremy Bentham, dan John Austin, yang menolak unsur moralitas dari hukum, dan pandangan tersebut sampai kini masih dianut sebagian besar teoritisi hukum dan praktisi hukum di Indonesia.Paham tersebut telah memengaruhi cara pembentuk UU,bahkan pascareformasi.

***

Undang-Undang Pornografi merupakan undang-undang yang telah berhasil mengkriminalisasi moralitas dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.Di dalam UU Pornografi, kata kunci dalam definisi tentang pornografi adalah,“melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Dengan definisi tersebut, asumsi bahwa setiap perbuatan yang termasuk definisi tersebut telah dapat dipidana adalah keliru karena definisi tersebutmasih mengakomodasirumusan kalimatyangmemberikanisyarat bahwa yang dipersoalkan adalah harus ada media komunikasi dan atau di muka umum yang dianggap sebagai pelanggaran norma kesusilaan dalam masyarakat.

Kalimat terakhir akan menimbulkan masalah hukum serius karena akan menimbulkan pertanyaan sejauh mana pameran lukisan seorang gadis telanjang bulat atau yang sering ditemukan di daerah Ubud (Bali) atau tingkah laku penyanyi di atas panggung yang seronok termasuk dalam pengertian “kecabulan”? Keganjilan di dalam UU Pornografi terdapat pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 UU Pornografi yang masih mengakui dan mengunggulkan moralitas individual sebagaimana tercermin dari kalimat,”tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri”.

Konflik ini menghambat penerapan UU tersebut ke dalam kasus yang berkaitan dengan pornografi sekalipun bunyi Pasal 29 dan Pasal 32UUPornografitelahmemuatbaik tindak pidananya (straafbar) dan ancaman pidananya (straafmat). Ada pandangan praktisi hukum yang mengatakan bahwa bunyi penjelasan pasal tidak mengikat secara hukum karena yang penting adalah bunyi pasalnya.

Pendapat ini jelas sangat keliru karena terbukti telah ada preseden pengajuan hak uji materiil ke Mahkamah Konstitusi RI mengenai bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Terhadap uji materiil tersebut, Putusan MK RI Nomor:003/PUU/IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 telah menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang memperluas arti melawan hukum termasuk melawan hukum materiil,

bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MKRI tersebut membuktikan bahwa bunyi penjelasan pasal memiliki kekuatan mengikat sama seperti bunyi ketentuan pasalnya.Fungsi penjelasan pasal dalam setiap ketentuan UU adalah memberikan penafsiran hukum yang memenuhi asas lex scripta,lex stricta,dan lex certa(asas kepastian hukum) sehingga diharapkan tidak ada kepentingan yang dirugikan (negara dan perorangan) dari sisi keadilan.

***

Bunyi penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 semakin meyakinkan bahwa UU Pornografi masih membedakan antara moralitas individual dan moralitas masyarakat di depan hukum.Titik krusial UU Pornografi terletak pada masalah kebijakan legislasi pemerintah dan DPR RI yang belum jelas dan tegas saat ini di dalam menghadapi masalah dekadensi moral sebagai imbas pengaruh teknologi internet yang didominasi pihak asing saat ini.

Keseimbangan perlindungan atas moralitas individual dan moralitas masyarakat tidak berhasil dipertahankan di dalam UU Pornografi oleh karena itu judul yang tepat untuk UU ini seharusnya,“UU Pemberantasan Tindak Pidana Pornografi”, termasuk ke dalamnya perbuatan untuk diri sendiri dan kepentingan diri sendiri, akan tetapi kemudian masuk ke ranah publik atau dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial.

Titel “UU Pornografi” yang dilengkapi dengan ketentuan pidana di dalamnya,dari sudut teknik perundang- undangan pidana, terdengar ganjil karena UU tersebut melarang “tindak pidana di bidang pornografi“,bukan “tindak pidana pornografi”; sedangkan pornografi itu sendiri merupakan perbuatan yang sekaligus melanggar kesusilaan dan melanggar hukum.

Berbeda halnya dengan titel UU No 35/2009 tentang Narkotika karena narkotika itu sendiri adalah bahan pembuatan obat-obatan, ada manfaatnya; sehingga ketentuan pidana di dalam UU tersebut ditujukan untuk mengkriminalisasi perbuatan penyalahgunaannya, bukan penggunaannya yang sesuai ketentuan UU Farmasi.

Solusi hukum satu-satunya untuk mengatasi kelemahan mendasar dari UU Pornografi sebagaimana diuraikan di atas adalah pengajuan hak uji materiil bunyi penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan bunyi penjelasan Pasal 6 UU Pornografi dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.(*)

0 komentar: