BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, Oktober 12, 2012

putusnya perkawinan karena perceraian, baik menurut KUH Perdata dan U.U. No.1 Tahun 1974.


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Permasalahan
Sebelum penulis membahas materi permasalahan yang berjudul “Kajian Teoritis Perihal Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Karena Perceraian  (Kajian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan U.U. No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), pertama-tama memberikan gambaran secara umum.
Dalam kehidupan manusia ternyata perkawinan merupakan langkah permulaan bagi dua insan manusia antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam membentuk keluarga yang bahagia yang penuh dengan saling pengertian, saling rasa hormat-menghormati serta saling rasa sayang menyayangi dan lain sebagainya, sehingga nantinya tercipta suatu hubungan yang harmonis sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri.
Disamping itu menurut KUH Perdata, sejak dilangsungkan perkawinan, maka terjadilah persatuan bulat antara kekayaan suami dan kekayaan istri, dengan tidak memandang siapa asal yang memiliki harta itu (Pasal 119 KUH Perdata). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, baik yang diperoleh si suami maupun si istri, secara sendiri-sendiri atau oleh mereka bersama-sama menjadi persatuan yang bulat. Demikian pula harta yang diperoleh dari warisan masing-masing, maupun yang diperoleh dari hibah baik kepada suami termasuk dalam harta warisan. Bilamana terjadi perceraian atau salah satu meninggal dunia, maka harta perkawinan dibagi menjadi dua sama rata, sebagian menjadi milik istri dan sebagian lagi milik suami. Seandainya salah seorang diantaranya meninggal, maka yang menjadi harta warisan adalah bagian si meninggal dan harta warisan ini jatuh ke tangan ahli waris yang berhak.
Prinsip-prinsip yang dianut KUH Perdata tersebut masih dapat diadakan penyimpangan, sebagaimana kami utarakan diatas. Penyimpangan ini dapat dilakukan apabila suami atau istri tidak menghendaki adanya percampuran harta kekayaan setelah perkawinan berlangsung dengan cara membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin adalah persetujuan yang dibuat pada waku perkawinan dilangsungkan, yang isinya dimaksudkan untuk mengatur penyimpangan dari ketentuan undang-undang, khususnya mengenai persatuan harta kekayaan.
Berdasarkan prinsip yang dianut dalam KUH Perdata itu, maka barang atau harta warisan tidak hanya berupa harta benda saja, tetapi juga hak-hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Jadi tidak hanya barang-barang nyata saja, tapi juga barang-barang yang tidak nyata.
Dengan demikian dalam sistem KUH Perdata harta warisan merupakan kesatuan yang sebagai keseluruhan beralih dari si pewaris kepada ahli waris dan tidak ada perbedaan mengenai macam atau asal barang yang ditinggalkan (Pasal 849 KUH Perdata). Bahkan pada pasal 833 KUH Perdata yang menyatakan bahwa para ahli waris dengan sendirinya memiliki segala barang, hak dan piutang dari si pewaris. Jadi berbeda dari sistem hukum adat.[1]
Mewaris (dalam sistem KUH Perdata) adalah menggantikan kedudukan seseorang yang telah meninggal dunia dalam hal ini hubungan-hubungan hukum harta kekayaan dan karena itu dapat dikatakan bahwa hukum waris adalah bagian dari hukum harta kekayaan. Hubungan-hubungan hukum lain tidak diwariskan. Hukum waris tidak mencampuri hukum publik hal mana berarti bahwa hubungan-hubungan yang bersifat hukum kekeluargaan tidak diwariskan.
Hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum keluarga seperti kekuasaan orang tua, perwakilan, kuratela, hak orang tua menikmati hasil, hak dan kewajiban yang berhubungan dengan pemberian nafkah, semuanya itu memang tidak diwariskan. Akan tetapi terhadap peraturan, bahwa hak-hak yang bersifat hukum keluarga tidak diwariskan itu ada perkecualian-perkecualiannya seperti misalnya ahli waris dari pihak suami atau isteri belum memulai suatu tuntutan hukum (Pasal 257, 258 dan 270 KUH Perdata). Demikian itu karena hukum keluarga sedikit banyak mengandung pula unsur hukum perdata.
Oleh karena hukum waris bersifat harta kekayaan, maka hak dan kewajiban dari kesusilaan dan sopan santun tidak diwariskan. Hanya sepanjang hak dan kewajiban itu berada dalam bidang hukum perikatan, maka hak dan kewajiban tersebut masuk dalam warisan. Demikian itu karena hak dan kewajiban dalam hukum perikatan bernilai uang. Tentunya asal tidak berdasarkan hubungan pribadi antar debitur dan kreditur.
Adapun arti dan tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]

Dan kalau kita perhatikan lagi arti dan tujuan perkawinan menurut K. Wancik Saleh, SH adalah sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan itu adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Sehubugan dengan tujuan perkawinan tersebut di atas tetapi adakalanya di dalam praktek pelaksanaan dari keluarga yang bahagia, hubungan yang abadi dari keturunan yang ideal yang dicita-citakan, dan dibina dengan pahit getir serta diukir dengan manis madu harus berantakan dengan sia-sia dan kemudian harus diakhiri dengan suatu perceraian.[4]
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Adapun bercerai adalah merupakan suatu ungkapan atau peristiwa yang mengandung kepiluan bahkan meneteskan air mata. Betapa tidak, karena peristiwa perceraian merupakan perlambang ketidak berhasilan manusia dalam mewujudkan cita-cita luhurnya dalam suatu ikatan mahligai perkawinan sebagai suatu hal yang kodrati bagi insan ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu peristiwa perceraian tidak saja hanya menimbulkan rasa pilu dan menetes air mata bahkan peristiwa perceraian itu dapat menimbulkan akibat-akibat yang positif maupun akibat-akibat yang negatif antara lain :
1.    Akibat-akibat yang positif yaitu :
Bilamana dalam suatu hubungan perkawinan sedemikian rupa buruknya sehingga dilihat dari segi apapun tidak tertinggal satu kebaikan maka perceraian adalah satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh, karena toh tidak ada manfaatnya apabila perkawinan itu dipertahankan secara terus menerus, tetapi pada kenyataanya perkawinan itu hanya menimbulkan perselisihan-perselisihan yang membahayakan bagi kepentingan kedua belah pihak yakni suami dan istri.
2.    Akibat-akibat yang negatif yaitu :
Apabila dalam perkawinan tersebut ternyata mendapatkan keturunan (anak-anak) maka dengan terjadinya peristiwa perceraian kepentingan anak-anak tersebut kurang begitu diperhatikan, sehingga kemungkinan besar anak-anak dari hasil perkawinan tersebut menjadi terlantar sebagai akibat kurangnya kasih sayang (perhatian) dari kedua orang tuanya.
Dari akibat-akibat yang negatif dan akibat-akibat yang positif itulah maka masalah pelaksanaan perceraian tersebut perlu diperhatikan, maksudnya dalam hal ini bukanlah perceraian yang dilarang, tetapi pelaksanaan dari perceraian itu jangan dilakukan sewenang-wenang tetapi harus melalui prosedur serta alasan-alasan yang sudah ditentukan dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Prof. R. Subekti, SH., akibat suatu perceraian perlu diatur secara yuridis rationya menurut beliau pengaturan ini bermaksud melindungi hasil suatu perkawinan agar dapat memberikan kepuasan terhadap pihak-pihak; terhadap pihak istri misalnya, sesuai dengan kewanitaannya harus diberi perlindungan dan jaminan ekonomi yang sesuai dengan kesejahteraan hidupnya, demikianpun terhadap anak-anak harus pula diperhatikan pendidikan serta kelangsungan hidupnya hingga ia dapat berdiri sendiri dan berkeluarga pula.
Memang tepat apa yang dikatakan Prof. R. Subekti, SH., bahwa akibat dari perceraian itu perlu diatur secara yuridis, oleh karena tidak saja menimbulkan akibat-akibat sebagai halnya perceraian itu dapat menjadi sumber ancaman langsung pada sendi-sendi kehidupan masyarakat dan dapat mengakibatkan kemerosotan sosial yang merusak suatu tata nilai sosial yang hidup dalam masyarakat dimana akibat dari perceraian pun dapat kita lihat dari keterangan-keterangan para ahli sosiologi yang antara lain menyebabkan.
-   Meningkatkan jumlah pelacuran;
-   Meningkatkan usaha kriminalitas;
-   Kenakalan remaja, dan lain sebagainya yang cenderung sebagai suatu perbuatan yang anti sosial.
Demikian pula dengan pandangan agama, misalnya agama Islam pada prinsipnya meskipun sampai tiga kali, namun demikian hal itu tidak dapat dipergunakan oleh suami begitu saja dengan sewenang-wenang. Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa : “Talaq adalah sebagai perbuatan yang dimurkai Allah SWT diantaranya perbuatan yang halal”.
Dengan demikian dari masalah-masalah yang telah penulis paparkan tersebut dimuka, maka penulis dapat menjelaskan alasan pemilihan, judul penulisan hukum ini adalah sebagai berikut “Kajian Teoritis Perihal Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Karena Perceraian  (Kajian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan U.U. No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)”.

B.   Pokok Permasalahan
Dari akibat putusnya perkawinan karena perceraian dapat menimbulkan suatu akibat hukum baik yang positif ataupun yang negatif sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam bab pendahuluan. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah :
1.    Apa akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut KUH Perdata?
2.    Apa akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut U.U. No.1 Tahun 1974?

C.   Tujuan Dan Manfaat Penelitian
-       Tujuan Penelitian adalah :
1.   Untuk mengetahui perihal perkawinan berdasarkan KUH Perdata dan U.U. No.1 Tahun 1974.
2.   Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap putusnya perkawinan karena perceraian, baik menurut KUH Perdata dan U.U. No.1 Tahun 1974.
-       Manfaat Penelitian Adalah :
1.   Dapat mengetahui akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut KUH Perdata dan U.U. No.1 Tahun 1974.
2.   Sebagai sumbangan pemikiran kepada masyarakat untuk dapat mengetahui tentang hak-haknya jika terjadi perceraian.

D.   Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah seperti skripsi harus menggunakan suatu metode yaitu jalan kearah tujuan ilmu pengetahuan sebagai cara pendekatan dalam penyelesaian ilmu pengetahuan. Jadi penelitian itu adalah sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik dari segi tertulis maupun dari segi praktis, sehingga penelitian itu merupakan pekerjaan ilmiah untuk menemukan kebenaran.
Didalam penelitian dibidang ilmu hukum dikenal ada dua cara penelitian (metode) yaitu :
1.    Penelitian Kepustakaan (Library Research) yang bertujuan untuk mengumpulkan data primer.
2.    Penelitian lapangan (Field Research) yang bertujuan untuk mengumpulkan data sekunder.

          Dalam penelitian skripsi ini penulis memakai penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, kamus-kamus hukum, bahan-bahan kuliah, khususnya yang berhubungan dengan judul skripsi dan masalah pokok yang dibahas.

E.   Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memberikan suatu kesimpulan yang dituju, maka penulis menyusun skripsi ini ke dalam 5 (lima) bab. Adapun sistematikanya adalah :
BAB I        :  PENDAHULUAN
                     Pada bab ini, menjelaskan secara singkat mengenai garis-garis besar dari keseluruhan materi skripsi ini, tepatnya dalam bab ini memuat tentang latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II       :  GAMBARAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
                     Dalam Bab II ini akan diuraikan secara singkat mengenai gambaran umum dan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan perkawinan dan putusnya perkawinan yang terdiri dari beberapa sub bab diantaranya tujuan perkawinan, perkawinan menurut KUH Perdata, UU Nomor 1 Tahun 1974.
BAB III      :  PERIHAL PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN
                     Pada bab ini sesuai dengan judul skripsi, maka akan diuraikan mengenai segi-segi teoritis dan akibat-akibat putusnya perkawinan khususnya perceraian menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974 yang membahas tentang perkawinan putus karena kematian, perkawinan putus karena perceraian berdasarkan putusan hakim.
BAB IV     :  KAJIAN TEORITIS TENTANG AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN.
                     Pada bab ini diuraikan secara singkat tentang analisis dan akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian, yang nantinya akan membahas tentang status hukum terhadap suami istri, dan status hukum terhadap anak-anak.
BAB V      :  PENUTUP
                     Pada bab terakhir ini memuat tentang kesimpulan dari apa yang telah penulis uraikan pada bab-bab terdahulu, dan penulis juga memberikan saran-saran atas masalah putusnya perkawinan karena perceraian.


BAB II
GAMBARAN UMUM
TENTANG PERKAWINAN

A.   Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  1. Pengertian Perkawinan
Di dalam KUH Perdata kita tidak menjumpai sebuah definisi pun tentang perkawinan, akan tetapi ilmu hukum berusaha untuk membuat rumusan. Adapun rumusan perkawinan menurut ilmu hukum itu adalah sebagai berikut :
“Perkawinan merupakan suatu perikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan negara dan bertujuan untuk membentuk dan membina kehidupan keluarga yang kekal dan abadi.
Dari rumusan ilmu hukum tersebut di atas dapat ditemukan unsur-unsur perkawinan sebagai berikut :
1.    Suatu perkawinan supaya menjadi sah harus diakui sah oleh undang-undang dan hal itu terjadi jika perkawinan dilangsungkan menurut tata cara undang-undang.
Pasal 26 KUH Perdata menentukan bahwa undang-undang memandang perkawinan semata-mata dari sudut hukum perdata. Maksud dari ketentuan itu ialah KUH Perdata tidak mempersoal- kan peranan agama dan memandang sah atau tidaknya perkawinan itu semata-mata dari sudut hukum perdata, dengan kata lain KUH Perdata hanya mengenal lembaga perkawinan perdata yaitu perkawinan yang dilangsungkan menurut tata cara undang-undang dihadapan pejabat Catalan sipil. Pejabat gereja tidak diperkenalkan untuk melangsungkan perkawinan gereja jika belum terbukti perkawinan perdata telah dilangsungkan, (pasal 81 KUH Perdata). KUH Perdata juga tidak mempersoalkan halangan-halangan perkawinan seperti yang ditentukan oleh hukum agama. Perkawinan dapat dilangsungkan antara orang-orang yang menurut hukum agama, tidak boleh melangsungkan perkawinan satu sama lain sebaliknya menurut undang-undang orang dapat bercerai meskipun hukum agama orang itu melarang perceraian bagi mereka, Selanjutnya undang-undang juga tidak mempersoalkan unsur-unsur biologis dalam hubungan ini, misalnya kemandulan tidak merupakan halangan untuk melangsungkan perkawinan, juga usia lanjut pada asasnya tidak menghalangi dilangsungkannya perkawinan.
2.    Perkawinan menurut KUH Perdata berasaskan monogami (pasal 27 KUH Perdata), bagaimana dan poligami dianggap bertentangan dengan KUH Perdata.
3.    Perkawinan pada asasnya harus berlangsung kekal dan abadi.
Hal ini berarti bahwa pemutusan perkawinan dengan cara selain dari kematian, misalnya karena perceraian oleh undang-undang dianggap sebagai suatu pengecualian yang sejauh mungkin harus dihindarkan. Undang-undang menganggap perceraian sebagai suatu hal yang terpaksa harus dimungkinkan karena dalam hal itu timbul suatu keadaan bagi suami isteri dimana dari mereka itu tidak dapat diharapkan tetap hidup bersama sebagai suami isteri. Asas itu dapat disimpulkan dari ketentuan undang-undang sebagai berikut :
a)   Pasal 208 KUH Perdata yang melarang perceraian atas dasar kesepakatan suami isteri. Pertimbangannya adalah untuk mencegah secara mudah diputuskannya perkawinan dengan perceraian.
b)   Perceraian hanya dapat dituntut berdasarkan alasan-alasan yang secara limitatif ditentukan dalam undang-undang (pasal 209 KUH Perdata).
c)   Untuk menuntut perceraian yang berkepentingan harus Minta ijin dari pengadilan dan hakim harus berusaha mendamaikan kedua suami isteri (pasal 831 Rv).
Ketiga ketentuan di atas menunjukkan bahwa KUH Perdata memandang perkawinan semata-mata dari segi formilnya saja, artinya perkawinan adalah sah jika telah dilangsungkan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak mempersoalkan motif-motif pihak yang bersangkutan untuk melangsungkan perkawinan tersebut, juga tidak mempersoalkan aspek susila yang mungkin melekat pada lembaga perkawinan.
  1. Tujuan Perkawinan
Untuk melangsungkan perkawinan harus dipenuhi 2 macam syarat, yaitu :
1.   Syarat materiil, yaitu syarat yang menyangkut pribadi calon suami atau isteri.
2.   Syarat formil, yaitu yang menyangkut formalitas yang harus dilakukan mendahului suatu perkawinan dan formalitas yang harus dilakukan pada saat pelangsungan perkawinan.
Syarat materiil dibagi lagi dalam 2 syarat, yaitu :
1.   Syarat materiil yang bersifat umum, artinya berlaku untuk semua macam perkawinan.
Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka orang yang bersangkutan tidak dapat melangsungkan perkawinan. Karena itu dikatakan bahwa syarat materiil yang tidak terpenuhi menimbulkan ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan hal itu merupakan halangan perkawinan yang bersifat mutlak.
2.   Syarat materiil yang bersifat khusus, artinya hanya berlaku bagi perkawinan tertentu dan tidak terpenuhi syarat tersebut menimbulkan ketidakwenangan khusus karena dikatakan bahwa hal itu merupakan halangan perkawinan yang bersifat khusus.
Ada dua macam syarat materiil khusus, yaitu :
1.   Adanya larangan untuk melangsungkan perkawinan.
2.   Adanya kewajiban untuk minta izin untuk melangsungkan perkawinan dari orang-orang yang ditunjuk oleh undang-undang (pasal 35-49 KUH Perdata).
Perlu diketahui bahwa syarat materiil dan syarat formil terdapat baik dalam KUH Perdata maupun UU No. 1 Tahun 1974.
Syarat-syarat materiil yang bersifat umum :
1.   Persetujuan bebas dari suami isteri (pasal 28 KUH Perdata). Persetujuan ini merupakan unsur hakiki dari perkawinan. Persetujuan harus diberikan atas dasar kesadaran akan arti dan konsekuensi dari pada perkawinan. Maka dari itu orang yang gila tidak dapat memberi persetujuan yang sah karena tidak mempunyai kesadaran yang dimaksud. Persetujuan bebas harus ada pada saat perkawinan dilangsungkan, karenanya persetujuan mengenai perkawinan yang diadakan sebelumnya tidak mengikat pihak-pihak yang mengadakannya dalam arti bahwa mereka tidak dapat dipaksa untuk melangsungkan perkawinan yang tidak lagi dikehendaki itu. Pengertian bebas dalam syarat-syarat persetujuan bebas artinya bebas dari pengaruh paksaan atau kekhilafan mengenai orang dengan siapa perkawinan itu akan dilangsungkan. Khilaf artinya mempunyai gambaran yang keliru mengenai orang dengan siapa perkawinan itu akan dilangsungkan. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah pengaruh-pengaruh tersebut dapat dituntut pembatalannya (Pasal 87 KUH Perdata).
2.   Usia menurut undang-undang
Bagi pria ditentukan usia 18 tahun, bagi wanita 15 tahun dengan kemungkinan pemberian dispensensi oleh pemerintah berdasarkan alasan-alasan yang penting. Batas usia ditentukan demikian berdasarkan suatu anggapan bahwa calon suami atau isteri pada saatnya telah mampu menunaikan tugasnya sebagai suami isteri. Dispensasi diberikan oleh pemerintah jika terdapat alasan penting, sebagai alasan penting lazim dianggap keadaan hamilnya calon isteri sebelum usianya mencapai usia yang ditentukan undang-undang. Dengan dimungkinkannya pelangsungan perkawinan, maka dapat dicegah dilahirkannya anak yang berada dalam kandungan di luar perkawinan.
3.   Calon suami atau isteri berada dalam keadaan tidak kawin (pasal 27 KUH Perdata)
Syarat ini didasarkan pada asas monogami, hal itu berarti bahwa bigami dianggap bertentangan dengan undang-undang (bahkan dianggap sebagai suatu tindak pidana). Asas monogami merupakan asas tertib umum yang harus diperlakukan bagi mereka yang tunduk pada KUH Perdata.
4.   Wanita yang telah putus perkawinannya dan ingin melangsungkan perkawinan yang baru harus menunggu 300 hari dihitung dari saat putusnya perkawinan yang terdahulu (Pasal 34 KUH Perdata). Waktu tunggu ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya percampuran benih (confusio sanguinis). Jangka waktu 300 hari oleh undang-undang dianggap sebagai Jangka waktu yang paling lama bagi keadaan hamilnya seorang wanita. Menurut konsepsi KUH Perdata maka ketentuan undang-undang tersebut berlaku mutlak, artinya harus diperlakukan juga dalam hal terbukti bahwa si wanila selama berlangsungnya jangka waktu itu baru melahirkan anak atau tidak mungkin melahirkan anak.
Syarat-syarat materiil yang bersifat khusus
1.   Larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan.
a.   Larangan untuk melangsungkan perkawinan tanpa kemungkinan diadakannya dispensasi, yaitu perkawinan antara calon suami isteri yang mempunyai hubungan darah terlalu dekat yaitu antara anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas baik yang sah maupun yang tidak sah (Pasal 30 KUH Perdata). Begitu juga antara anggota keluarga sedarah dalam garis menyimpang yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 31 KUH Perdata).
b.   Larangan melangsungkan perkawinan dengan kemungkinan dispensasi. Hal ini menyangkut perkawinan antara anggota keluarga sedarah dengan garis menyimpang, tegasnya antara paman dan keponakan, antara bibi dan keponakan baik yang sah maupun yang tidak sah (Pasal 31 KUH Perdata), dan menyangkut pula perkawinan antara anggota semenda dalam garis menyimpang tegasnya antara anggota keluarga periparan (Pasal 30 dan 3 1 KUH Perdata).
c.   Larangan perkawinan karena keadaan tertentu.
Hal ini menyangkut perkawinan antara suami atau isteri dengan orang ketiga dengan siapa suami atau isteri itu telah melakukan perzinahan. Waktu menunggu 1 tahun bagi calon suami atau isteri dalam hal perkawinan mereka terdahulu putus karena perceraian atau putus setelah perpisahan meja dan tempat tidur selama 5 tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 199 KUH Perdata sub ketiga, sedangkan perkawinan berikutnya antara mereka itu dilarang (pasal 33 KUH Perdata).
2.   Kewajiban minta ijin untuk melangsungkan perkawinan yang harus diberikan oleh orang-orang tertentu.
Kewajiban tersebut berlaku baik bagi anak sah maupun tidak sah, anak yang dibawah perwalian, atau mereka dibawah pengampuan.
a.   Anak sah yang masih dibawah umur membutuhkan ijin dari ayah dan ibunya (pasal 35 ayat 1 KUH Perdata), ijin tersebut wajib diperoleh pada saat perkawinan dilangsungkan.
b.   Dalam hal seorang dan kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau berada dalam ketidakmungkinan untuk memberikan persetujuannya hanya diperlukan ijin dari seorang orang lain yang hidup terlama (pasal 35 ayat 3 KUH Perdata). Pengertian ketidakmungkinan tersebut menunjuk pada keadaan sakit, pengampuan maupun keadaan tidak hadirnya seseorang.
c.   Dalam hal salah seorang dari orang tua dilepaskan dari kekuasaan orang tua tanpa diangkat seorang wali dalam hal ini ijin diperlukan dari ayah dan ibunya. Dalam hal diangkat seorang wali ijin diperlukan dari ayah dan ibunya serta walinya. Tidak dipenuhinya ijin dari orang tua merupakan halangan untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan ijin dari wali dapat diganti dengan ijin dari pengadilan.
d.   Dalam hal salah seorang dari orang tuanya dipecat dari kekuasaan orang tuanya atau kedua-duanya dipecat, jika tidak diangkat wali ijin diperlukan dari kedua orang tuanya. Jika tidak diperoleh ijin dari orang tua, maka ijin dapat diperoleh dari pengadilan. Dalam hal diangkat wali ijin diperlukan dari kedua orang tuanya dan walinya.
e.   Dalam hal perkawinan yang akan dilangsungkan itu adalah perkawinan dengan walinya atau salah seorang dari keluarga sedarah, maka ijin harus dimintakan dari wali pengawas. Dalam hal ini ijin harus dimintakan oleh anak yang masih dibawah umur (pasal 38 KUH Perdata).
f.    Dalam hal kedua orang tuanya telah meninggal atau berada dalam ketidakmungkinan untuk memberi persetujuannya, maka diperlukan ijin dari neneknya, baik dari pihak bapak atau pihak ibu sepanjang mereka hidup dan dapat memberikan persetujuannya. Dalam hal diangkat seorang wali, maka juga diperlukan ijin dari wali tersebut (Pasal 37 KUH Perdata).
g.   Dalam hal tidak ada lagi orang tua maupun nenek atau kakek atau mereka yang berada dalam ketidakmungkinan memberikan persetujuannya, mereka memerlukan ijin dari wali pengawas. Jika wali atau wali pengawas menolak memberi persetujuan atau tidak mengeluarkan pernyataan mengenai hal itu, maka oleh anak yang berkepentingan dapat dimintakan ijin dari pengadilan yang akan memberikan ijin tersebut setelah mendengar keluanga (Pasal 38 KUH Perdata).
Syarat-syarat formil yang mendahului pelangsungan perkawinan :
1.   Calon suami atau isteri harus memberitahukan niat mereka untuk kawin pada catatan sipil dan domisili mereka secara tertulis atau lisan. Dari pemberitahuan tersebut, pegawai catatan sipil membuat suatu akta (Pasal 50 dan 51 KUH Perdata).
2.   Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan harus diumumkan oleh catatan sipil dengan jalan menempelkan surat pengumuman itu di gedung instansi di mana disimpan akta-akta catatan sipil selama 10 hari (Pasal 52 KUH Perdata).
Surat pengumuman itu harus memuat hal-hal yang disebut dalam pasal 52 KUH Perdata yaitu nama (nama kecil atau keluarga) usia dan hubungan keluarga dan ditandatangani oleh pejabat catatan sipil yang bersangkutan.
Jika calon suami atau isteri tidak mempunyai domisili yang sama maka pengumuman dilakukan di domisili calon suami atau isteri masing-masing. Dan dalam hal calon suami atau isteri baru 6 bulan pada domisilinya yang terakhir, maka harus pula dilakukan pengumuman di domisili terdahulu. Pengumuman dilakukan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang oleh undang-undang diberi hak untuk mencegah perkawinannya yang tidak memenuhi syarat undang-undang.
Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi pada saat di langsungkannya perkawinan :
1.   Perkawinan dapat dilangsungkan setelah lewat 10 hari dihitung sejak pengumuman perkawinan dikeluarkan atau sebelum lewat 1 tahun setelah pengumuman tersebut (Pasal 75 & 57 KUH Perdata).
2.   Perkawinan dilangsungkan di gedung mana dibuat akta catatan sipil di tempat kediaman salah seorang calon suami atau isteri atau di suatu tempat khusus jika terdapat halangan yang sah yang harus dibuktikan dengan cukup. Tempat khusus itu harus berada dalam daerah hukum kantor catatan sipil yang berwenang (Pasal 76 & 77 KUH Perdata).
3.   Perkawinan dilangsungkan di depan pejabat catatan sipil yang berwenang dalam upacara yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh dua orang saksi keluarga atau bukan keluarga, berusia sekurang-kurangnya 21 tahun dan penduduk Indonesia (Pasal 76 KUH Perdata). Saksi tersebut adalah selain untuk memberi suasana khidmat pada upacara juga untuk menjamin bahwa tidak akan terjadi kekeliruan mengenai identitas dari calon suami atau isteri.
4.   Para-calon suami atau isteri dihadapan pejabat catatan sipil menerangkan bahwa mereka satu sama lain akan menerima masing-masing sebagai suami atau isteri disaksikan oleh dua orang saksi serta menerangkan pula bahwa mereka akan memenuhi dengan seksama segala kewajiban yang diletakkan oleh undang-undang suatu perkawinan (Pasal 80 KUH Perdata).
Akibat hukum suatu perkawinan :
1)   Hak dan kewajiban suami isteri yang menyangkut hubungan pribadi suami isteri.
Menurut aturan yang ditetapkan pasal 103 KUH Perdata adalah kewajiban suami isteri untuk sating setia, tolong menolong, dan saling membantu. Saling setia berarti setia dalam perkawinan. sedangkan tolong menolong dan saling membantu berarti suami isteri berkewajiban untuk memikul bersama-sama segala beban yang diletakkan di atas pundak suami isteri.
Bilamana kesetiaan dalam perkawinan dilanggar oleh salah satu pihak, maka secara tidak langsung sanksi akan timbul dengan permintaan perpisahan meja dan tempat tidur oleh pihak lain. Kalau pelanggaran kesetiaan itu sudah sedemikian rupa besarnya, maka akan dapat menjadi salah satu alasan menurut ketentuan yang disebutkan dalam pasal 209 dan 233 KUH Perdata.
Pasal 106 KUH Perdata mengandung asas bahwa suami isteri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Suami harus menerima isterinya di rumah kediamannya sedang isteri wajib mengikuti suaminya dimana suaminya bertempat tinggal. Isteri tidak diwajibkan mengikuti suaminya kalau suaminya hanya untuk sementara waktu saja tinggal pada di suatu tempat atau jika rumah kediaman mereka merupakan tempat yang tidak Iayak atau tidak senonoh.
KUH Perdata tidak mengenal upaya pemaksa agar isteri wajib tinggal bersama suaminya di rumah suaminya atau supaya suami menerima isterinya kembali dirumahnya.
Kewajiban untuk tinggal bersama itu dapat ditiadakan dengan pemisahan meja dan tempat tidur. Dan apabila sudah berjalan selama lima tahun atau lebih, maka perbuatan tersebut dapat merupakan perceraian atau alasan perpisahan meja dan tempat tidur.
Selanjutnya pasal 107 KUH Perdata menyatakan bahwa suami wajib memberikan kepada isterinya segala sesuatu yang diperlukan atau memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan dan kedudukannya.
Pada hakekatnya pemberian nafkah dihubungkan kewajiban tinggal bersama. PITLO dalam hal ini berpendirian bahwa kewajiban memberikan nafkah dan kewajiban tinggal bersama. Kewajiban memberikan nafkah akan tetap ada sekalipun hakim telah memutuskan adanya perpisahan meja dan tempat tidur. Walaupun tidak bertempat tinggal bersama pun tetap akan mempunyai pengaruh pula atas hak untuk menuntut pemberian nafkah tersebut.
Kewajiban pemberian nafkah adalah timbal balik. Artinya seorang isteri pun dapat diwajibkan memberikan nafkah pula kepada suaminya.[5]
Pasal 104 KUH Perdata menyatakan bahwa dengan adanya perkawinan suami isteri itu saling mengikatkan diri secara timbal balik untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Kewajiban itu hanya berlaku atas suami isteri, yang berarti bahwa si anak tidak dapat menuntut nafkah atas dasar pasal 104 KUH Perdata tersebut. KUH Perdata memberikan hak menuntut nafkah kepada si anak terhadap orang tuanya diatur dalam pasal 300 KUH Perdata dan seterusnya.
Sedangkan kewajiban suami isteri terhadap anak-anaknya diatur lebih lanjut dalam titel XIV: mengenai kekuasaan orang tua.
2)   Hak dan kewajiban suami isteri yang menyangkut kekuasaan marital suami.
Suami adalah kepala dari persatuan suami isteri (pasal 195 KUH Perdata). Dalam kedudukannya tersebut, ia mempunyai kewenangan tertentu. Suami mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat tinggal bersama, melakukan kekuasaan orang tua, dan selanjutnya memberikan bantuan kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Kekuasaan seorang suami dalam perkawinan itu dinamakan “maritale macht” atau kekuasaan marital suami.
Dalam pasal 105 KUH Perdata dijumpai asas kekuasaan marital yang menentukan bahwa suami adalah kepala keluarga. Kekuasaan marital dapat menyangkut harta kekayaan si isteri dan pribadi si isteri. Kekuasaan marital yang menyangkut pribadi si isteri, maka isteri harus taat dan patuh kepada suaminya. Perwujudannya adalah suami berhak menentukan tempat kediaman bersama dan si isteri mengikuti domisili suami (pasal 106 ayat 2 KUH Perdata) Perwujudan lain adalah suami berhak menentukan persoalan-persoalan yang menyangkut kekuasaan orang tua dan isteri hanya mempunyai wewenang terbatas dalam penyelenggaraan kekuasaan orang tua tersebut (pasal 300 KUH Perdata).
Kekuasaan marital yang menyangkut harta kekayaan si isteri memberikan wewenang kepada suami untuk mengurus sebagian besar harta kekayaan. Adanya ketidakcakapan seseorang isteri mengakibatkan bahwa dalam tiap-tiap perbuatan hukum yang dilakukan diperlukan persetujuan suami.

B.   Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1.    Pengertian Perkawinan
Pasal 1 UU Perkawinan, menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari perumusan tersebut dapat diungkapkan bahwa unsur-unsur perkawinan adalah sebagai berikut :
1)   Perkawinan merupakan ikatan lahir batin
Pengertian ikatan lahir berarti para pihak yang bersangkutan karena perkawinan itu secara formil merupakan suami isteri baik mereka dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dalam masyarakat.
Pengertian ikatan batin dalam perkawinan berarti, bahwa dalam batin suami isteri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk dan membina keluarga yang harmonis.
2)   Perkawinan merupakan ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri.
Hal ini berarti UU Perkawinan mengandung asas monogami. Pasal 3 UU Perkawinan menentukan bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hanya apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan karena hukum dan agamanya mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu orang.
3)   Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia., Hal ini berarti perkawinan hanya dapat diputuskan karena kematian. UU Perkawinan mengakui putusnya perkawinan karena perceraian dalam hal-hal tertentu dimana suami isteri tidak dapat diharapkan lagi akan dapat hidup bersama, dengan rukun dan damai.
4)   Perkawinan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini berarti bahwa norma-norma agama harus menjiwai perkawinan yang harus tercermin dalam semua peraturan-peraturan yang menyangkut perkawinan, bahkan UU Perkawinan di sana sini memberi kepada norma hukum agama suatu peranan yang konkrit sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 2 UU Perkawinan di mana hukum agama memberi peranan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
2.   Syarat-syarat Perkawinan
Syarat materil yang bersifat umum
1)   Persetujuan calon suami atau isteri (Pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan).
Persetujuan atau kata sepakat suami atau isteri merupakan unsur penting dalam perkawinan karena mengandung keharusan adanya niat untuk melangsungkan perkawinan, maka dari itu persetujuan yang sah harus berlandaskan kesadaran tersebut dan harus bebas dari apapun yang mengganggu kebebasan itu.
2)   Usia
Dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan menentukan bagi pria sekurang-kurangnya usia 19 tahun, bagi wanita sekurang-kurang nya usia 16 tahun. Dalam hal akan dilangsungkan perkawinan yang calon suami atau isteri belum mencapai batas usia yang ditentukan itu harus dimintakan dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua calon suami atau isteri (Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan).
3)   Calon suami atau isteri harus tidak terikat pada tali perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UU Perkawinan).
Ketentuan ini menyangkut asas monogami sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 1 UU Perkawinan.
4)   Kewajiban memenuhi jangka waktu tertentu untuk melangsungkan perkawinan baru (Pasal 11 UU Perkawinan jo Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975).
Syarat materil yang bersifat khusus :
1)   Larangan perkawinan
a)   Larangan perkawinan didasarkan pada hubungan darah atau semenda yang terlalu dekat, yaitu :
(1) Perkawinan antara anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas (pasal 8 a).
(2) Perkawinan antara anggota keluarga sedarah dalam garis menyimpang yaitu antara saudara sedarah atau antara seorang dengan saudara orang tua atau antara seorang dengan saudara neneknya (pasal 8 b).
(3) Perkawinan antara anggota keluarga semenda yaitu mertua dan menantu, anak dan bapak tiri atau anak dan ibu tiri (pasal 8 c).
(4) Larangan berdasarkan hubungan susuan misalnya perkawinan antara orang tua susuan dengan anak susuan, saudara susuan, bibi dan paman susuan.
(5) Larangan berdasarkan agama yaitu perkawinan antara orang-orang yang oleh agamanya dilarang untuk melangsungkan perkawinan (pasal 8 f).
(6) Larangan berdasarkan hubungan keluarga dalam perkawinan poligami yaitu perkawinan antara seorang suami dengan saudara dari isteri atau bibi atau kemenakan dari isteri (pasal 8 e).
b.   Larangan perkawinan berdasarkan keadaan tertentu pada diri calon suami atau isteri
1)   Perkawinan antara seorang pria yang telah terikat dengan perkawinan lain dengan seorang wanita (pasal 9).
2)   Perkawinan antara bekas suami dan bekas isteri yang telah dua kali kawin dan perkawinan mereka dua-duanya putus karena perceraian.
Kewajiban untuk minta ijin dari orang-orang tertentu untuk melangsungkan perkawinan
1)   Para calon suami isteri wajib mendapat ijin dari orang tua (pasal 6 ayat 2).
2)   Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau dalam hal ketidakmampuan untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin harus didapat dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat 3).
3)   Dalam hal kedua orang tuanya telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin harus diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan mampu menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat 4).
4)   Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3, 4 pasal 6 tersebut atau salah seorang dari mereka tidak menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud dapat diperoleh dari pengadilan dan permintaan pihak-pihak yang bersangkutan yang akan kawin (pasal 6 ayat 5).
Syarat-syarat formil yang mendahului perkawinan:
a)   Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan wajib memberitahukan niatnya kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan itu akan dilangsungkan. Pemberitahuan itu dilakukan oleh calon mempelai, orang tua atau wakilnya secara lisan atau tertulis (pasal 3-5 PP No, 9 Tahun 1975).
b)   Setelah menerima pemberitahuan yang dimaksud, maka pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi termasuk soal ada tidaknya larangan pada perkawinan yang akan dilangsungkan (pasal 6-7 No.9 Tahun 1975).
c)   Dalam hal penelitian itu tidak menunjukkan adanya halangan perkawinan atau kekurangan-kekurangan lain, maka pegawai pencatat membuat suatu pengumuman tentang niat akan dilangsungkannya perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman pada Kantor Pencatat Perkawinan yang mudah dibaca oleh umum (pasal 8-9 PP No. 9 Tahun 1975).
Syarat-syarat formal yang harus dipenuhi pada saat dilangsungkannya perkawinan.
Mengenai hal ini diatur dalam pasal 10 dan 11 PP No.9 tahun 1975, yang pada pokoknya pengaturannya adalah :
a)   Perkawinan dilangsungkan menurut tata cara yang ditentukan dalam hukum masing-masing agama atau kepercayaan para pihak yang bersangkutan.
b)   Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah 10 hari sejak pengumuman perkawinan.
c)   Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat, dan dihadiri oleh 2 orang saksi tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan mengenai tata cara perkawinan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan.
d)   Setelah perkawinan selesai dilangsungkan menurut tata cara yang berlaku, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat yang kemudian juga ditandatangani oleh kedua orang saksi, pegawai pencatat dan wali nikah bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
e)   Dengan selesainya akta penandatanganan itu, maka perkawinan telah tercatat secara resmi
c.   Akibat hukum suatu perkawinan
1)   Hak dan kewajiban suami isteri yang menyangkut hubungan pribadi suami isteri dan hubungan mereka dengan masyarakat.
Pasal 30 UU Perkawinan menentukan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Menegakkan rumah tangga artinya berusaha supaya rumah tangga tetap utuh dan tidak bubar, karena terjadi perceraian. Kewajiban ini harus dihubungkan dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga kekal dan abadi seperti yang dimaksud dalam pasal 1 UU Perkawinan. Kewajiban ini dinilai sebagai kewajiban yang luhur, yang harus dijunjung tinggi. Hal ini juga diwajibkan oleh agama.
Hak dan kedudukan suami adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Hal ini tercantum dalam pasal 31 ayat 1 UU Perkawinan.
Dalam konteks ini pengertian hak dan kewajiban itu seimbang  Kalau ditafsirkan menurut ilmu hukum maka perkataan seimbang berarti “sama”. Jadi hak dan kewajiban isteri sama dengan hak dan kewajiban suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.
Kesamaan hak dan kewajiban suami isteri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 31 ayat 2, pasal 32, dan pasal-pasal lain seperti pasal 36, pasal 47 ayat 2, pasal 48 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal 31 ayat 2 UU perkawinan menentukan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 32 ayat 2 UU Perkawinan menentukan bahwa tempat kediaman suami isteri ditentukan oleh kedua suami isteri itu secara bersama-sama.
Pasal 36, pasal 47 ayat 2, antara kedudukan suami isteri mengenai pengurusan harta benda perkawinan dan harta si anak dalam segala hubungan dengan pihak ketiga. Dalam aspek ini si isteri sebagai ibu rumah tangga juga sepenuhnya mempunyai hak bertindak keluar terhadap pihak ketiga dengan jalan mengadakan berbagai-bagai macam perbuatan hukum, tentunya terutama dalam rangka melaksanakan tugas membina keluarga bahagia, bersama dalam masyarakat.
Menurut pasal 1 ayat 3 UU Perkawinan, suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Untuk mendapat pengertian mengenai kewajiban yang tercantum dalam pasal 31 ayat 3, maka kita harus menghubungkannya dengan pasal 34 UU Perkawinan, dimana menurut pasal 34 UU ayat 1 UU Perkawinan suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidupnya dan keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan kewajiban itu oleh UU dilimpahkan kepadanya dalam kedudukannya sebagai kepala keluarga. Pasal 34 ayat 2 UU Perkawinan menentukan bahwa isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Kewajiban ini dilimpahkan kepada isteri dalam kedudukan sebagai rumah tangga.
Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap menurut pasal 32 ayat 1 UU Perkawinan. Kewajiban ini merupakan kewajiban utama dari suami isteri. Dengan memenuhi kewajiban itu dapat dijamin keberhasilan kehidupan seluas-luasnya untuk membina kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera, materill dan spirituil yang menjadi tujuan perkawinan. Hidup terpisah antara suami isteri tanpa alasan yang sah adalah bertentangan dengan kewajiban suami isteri untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan.
Pasal 33 UU Perkawinan menentukan bahwa kewajiban suami isteri untuk saling mencintai, menghormati, setiap memberi bantuan lahir dan batin sarta terhadap yang lain.
Kalau kita melihat isinya, maka ketentuan ini dapat dianggap sebagai perincian lebih lanjut dari kewajiban menegakkan rumah tangga, sebab dengan itu dapat diwujudkan suasana damai dan saling pengertian yang merupakan syarat mutlak bagi tegaknya serta utuhnya rumah tangga.
Pasal 34 ayat 2 UU Perkawinan menentukan bahwa isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Adalah menjadi tugas sehari-hari si isteri untuk mengurus rumah tangga dan mendidik serta mengurus anak-anaknya. Kewajiban isteri itu dilimpahkan kepadanya dalam kedudukannya sebagai ibu rumah tangga menurut pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan. Menurut anggapan UU maka antara suami isteri harus ada pembagian tugas dalam melaksanakan kewajiban membina keluarga bahagia dan sejahtera yang menjadi tujuan perkawinan.
Mengenai jumlah nafkah penghidupan bagi keluarga yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya, lazim pihak yang wajib memberi nafkah faktor kebutuhan pihak yang menerima nafkah itu. Karena faktor-faktor itu selalu berubah, maka jumlah nafkah penghidupan dan nantinya mungkin nafkah pendidikan anak pada asasnya bersifat sementara yang pada saatnya mungkin saja diadakan tindakan penyesuaian.
2)   Hak dan kewajiban suami isteri yang menyangkut harta kekayaan.
Harta kekayaan merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam kehidupan perkawinan bahkan dapat menyebabkan hancurnya kehidupan rumah tangga.
Sehubungan dengan hal ini, UU Perkawinan pasal 35 ayat 1 menentukan bahwa tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Menurut pasal 36 UU Perkawinan, harta bersama diurus oleh kedua suami isteri, dan masing-masing pihak dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 33 ayat 2 UU Perkawinan menegaskan bahwa harta bawaan dibawah penguasaan masing-masing suami isteri, karena harta ini tetap merupakan milik masing masing suami isteri. Apa artinya istilah penguasaan dalam pasal tersebut? Prof Sardjono mengartikan istilah penguasaan sebagai beheer dan beschikking. Disinipun wajar bila suami isteri masing-masing mempunyai wewenang mempunyai beheer dan beschikking masing. Pengaturan ini sesuai dengan keadaan yang berlaku dalam hukum adat.[6]
Pada pasal 35 ayat 2 bagian akhir terdapat kata-kata sebagai berikut: ”.... sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Kata-kata tersebut membuka kemungkinan bagi para pihak mengenai penguasaan harta bawaan untuk menentukan lain, perumusan “penentuan lain” dalam ketentuan tersebut dapat diartikan, para pihak dapat membuat perjanjian mengenai penguasaan harta bawaan tersebut yang kewenangannya lebih lanjut diatur dalam pasal 29 UU Perkawinan tentang perjanjian perkawinan.
Menurut Prof. Sardjono, pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan tersebut tidak hanya membuka kemungkinan bagi para pihak untuk memperjanjikan penguasaan harta bawaan, melainkan juga status harta yang bersangkutan dengan memperjanjikan bahwa harta yang semula merupakan harta bawaan itu diperjanjikan menjadi harta bersama, sebab adalah kurang wajar bahwa harta bawaan itu hanya dapat diperjanjikan untuk diurus bersama oleh suami isteri tanpa perubahan status itu.
3)   Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan Undang-undang memberi hak kepada orang-orang tertentu untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap suatu perkawinan yang akan dilangsungkan, jika pelaksanaannya akan bertentangan dengan persyaratan perkawinan. Upaya hukum yang diperuntukkan untuk itu dinamakan pencegahan perkawinan.
Pada umumnya sistem pengaturan pencegahan perkawinan yang sekiranya dapat diharapkan mampu mencapai tujuan itu adalah pengaturan yang memberi batas-batas tertentu terhadap penggunaan hak mencegah perkawinan itu yaitu dengan membatasi orang-orangnya yang diberi hak tersebut dan membatasi alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mencegah perkawinan.
Mereka yang berhak dan berwenang melakukan upaya pencegahan perkawinan yaitu :
-    Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah.
-    Saudara-saudara
-    Wali nikah
-    Wali
-    Pengampu (kurator) dan salah seorang calon mempelai Pihak-pihak yang berkepentingan (pasal 14 UUP)
-    Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari calon mempelai (pasal 15 UUP)
-    Pejabat-pejabat yang ditunjuk (Pasal 16 UUP) Alasan-alasan dapat digunakan untuk mencegah suatu perkawinan yaitu Pasal 13 UUP secara umum menyebutkan alasan tersebut dengan menentukan seorang calon pengantin tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Mengenai pembatalan perkawinan diatur di dalam pasal-pasal 22 sampai dengan pasal 28 UUP dan di dalam pasal 37 dan 38 PP No. 9 tahun 1975. Kalau kita perhatikan dan bandingkan antara pengaturan tentang pencegahan dan pengaturan tentang pembatalan perkawinan tampaknya ada kemiripannya, tetapi sebenarnya kedua upaya tersebut terdapat perbedaan yang sangat prinsipil. Misalnya bandingkan pasal 13 UUP tentang pencegahan perkawinan yang berbunyi “Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan“, dengan bunyi pasal 22 UUP tentang pembatalan perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan“.
4.   Putusnya Perkawinan dan Akibatnya.
Mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Bab VIII, dengan judul Putus nya Perkawinan Serta Akibatnya, yang terdiri dari pasal 38 sampai dengan pasal 41 UUP Pasal 38 berbunyi Perkawinan dapat putus karena a. kematian, b. perceraian, c. atas keputusan pengadilan.
a.   Putusnya perkawinan karena kematian: Mengenai putusnya perkawinan karena kematian, tidak diatur dalam UUP atau peraturan perundang-undangan lain, hanya yang menyangkut harta peninggalan atau harta warisan dari pasangan perkawinan yang meninggal diatur dalam Hukum Waris.
b.   Putusnya perkawinan karena perceraian: tentang perceraian ini oleh aturan perundang-undangan diatur secara mendetail yaitu dalam UUP sendiri dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975.
c.    Putusnya perkawinan karena atas keputusan Pengadilan. Hal ini disebutkan dalam butir c dari pasal 3 UUP. Mengenai hal ini tidak ada penjelasan apa yang dimaksudkan dengan atas keputusan Pengadilan. Sehingga Prof. H. Sardjono, SH mempertanyakan hal ini, antara lain beliau berkata “keputusan Pengadilan sebagai sebab putusnya perkawinan, bagi kami masih merupakan suatu pertanyaan, keputusan pengadilan yang manakah yang dimaksud dalam pasal 38 tersebut, sebab perceraian sebagai sebab putusnya perkawinan sudah dilakukan keputusan pengadilan, sekurang-kurangnya disaksikan oleh pengadilan; jadi pengertian keputusan pengadilan yang dimaksud pasal 38 sebagai sebab putusnya perkawinan mestinya merupakan suatu keputusan pengadilan berisikan lain, masalah ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[7]
Menurut pasal 23 UUP, permohonan pembatalan perkawinan ini, disamping dapat diajukan oleh keluarga dan suami isteri atau masing-masing suami atau istri bersangkutan, dapat juga diajukan oleh pejabat pemerintah yang berwenang. Sehingga dengan demikian, munkin saja sepasang suami isteri tidak ingin bercerai atau membatalkan perkawinannya atau keluarganya tidak mau pula membatalkan perkawinan tersebut, tetapi oleh pejabat pemerintah yang berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut, kalau memang perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat untuk suatu perkawinan dalam pasal 8 UUP, pasangan suami isteri yang kemudian ternyata saudara kandung, atau perkawinan yang berdasarkan suatu agama semula. Mungkin pasangan suami isteri itu tidak ingin cerai, tetapi perkawinan itu sudab tidak syah lagi (pasal 2 ayat 1 UUP), sehingga pihak berwajib perlu mengusahakan pembatalannya. Putusnya perkawinan demikian ini, yang dimaksudkan oleh butir c pasal 38 UUP, yaitu tanpa adanya permohonan pembatalan atau gugat cerai dari pihak suami isteri atau keluarganya.
Sesuai dengan asas perkawinan dalam UUP, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, seharusnya putusnya perkawinan karena perceraian haruslah dilarang, tetapi nyatanya UUP tidaklah menerapkan larangan demikian, tetapi cukup dengan mempersukar suatu perceraian yang memutuskan perkawinan.
Perceraian adalah suatu malapetaka, tetapi suatu malapetaka yang perlu untuk tidak menimbulkan malapetaka yang lain yang Iebih besar bahayanya. Perceraian hanya dibenarkan penggunaannya dalam keadaan darurat untuk tidak menimbulkan musibah yang lebih besar. Karena itu perceraian adalah pintu daruratnya perkawinan guna keselamatan bersama.[8]
Sesuai dengan penjelasan pasal 2 UUP, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka tidak ada pula perceraian diluar hukum agama dan kepercayaannya itu. Sehingga pengaturan-nya tentang perceraian perkawinan ini dalam UUP dan PP No. 9 tahun 1975, sangat dipengaruhi oleh hukum agama, misalnya ketentuan agama Islam mengenai talak yang dilakukan seorang suami muslim terhadap isterinya diatur oleh UUP dan PP No. 9 tahun 1975, tetapi dengan disempurnakan. Tetapi herannya tidak ada ketentuan dalam UUP dan Penjelasannya yang mengatakan bahwa pasal-pasal tentang ketentuan perceraian dalam UUP ini tidak berlaku bagi perkawinan seorang laki-laki dan wanita berdasarkan agama Katolik, dimana dalam agama Katolik dilarang suatu perceraian atas suatu perkawinan. Walaupun demikian, asas perkawinan yang dianut dalam UUP ini, bahwa tidak ada perkawinan dan perceraian di luar agama, maka haruslah secara implisit, UUP menganut dan memegang teguh ajaran dari agama Katolik tentang larangan perceraian atas suatu perkawinan.
Pasal 39 ayat 1: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[9] Dari pasal ini telah kelihatan bahwa perceraian itu dipersukar, yaitu hanya dapat terjadi dan dilakukan di depan sidang pengadilan.
Pasal 39 ayat 2: untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Disini sekali lagi kita melihat UUP mengusahakan agar perceraian yang bersangkutan tidak terjadi, yaitu dengan menetapkan harus ada cukup alasan yang menyebabkan diantara suami isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri untuk bisa diputuskan perkawinan mereka dengan perceraian.
5.   Harta Perjanjian Perkawinan
Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut diatur dalam pasal 35-37 Undang-Undang Perkawinan.
a.   Ada dua macam
Harta benda dalam perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1.   Harta bersama
2.   Harta bawaan
Yang dimaksud dengan harta bersama adalah[10] harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal dari mana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau dari suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami isteri.
Sedangkan harta bawaan adalah 7 harta yang dibawa masuk oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinannya. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan termasuk harta bawaan.
b.   Pengurusannya
Dengan adanya perbedaan harta benda perkawinan tersebut, maka perbedaan itu mempengaruhi cara melakukan pengurusannya. Untuk harta bersama diurus secara bersama suami isteri. Dalam melakukan pengurusan mereka dapat bertindak dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Artinya jika suami atau isteri melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama dengan kesepakatan bersama, Namun kesepakatan (persetujuan) itu bukan suatu keharusan suami atau isteri dapat bertindak tanpa adanya persetujuan terhadap harta bersama (Pasal 36 ayat 1 UUP).
Berbeda dengan harta bawaan, pengurusannya dilakukan oleh masing-masing suami isteri, kecuali apabila mereka telah menentukan lain masing-masing suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya.





BAB III
PERIHAL PUTUSNYA
PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN

A.   Perihal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Menurut KUH Perdata
Di dalam Bab II sub A di atas penulis membahas pengertian perkawinan, tujuan perkawinan dan syarat-syarat perkawinan maka dalam Bab III sub A ini penulis membahas masalah putusnya perkawinan.
Karena itu kalau kita perhatikan walaupun tujuan perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai mana yang telah penulis uraikan di muka, tetapi tidak jarang di dalam menempuh mahligai perkawinan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan yakni para pihak bersepakat untuk selalu hidup bersama dalam mencari kebahagiaan atau kesejahteraan baik material maupun spiritual bersama-sama dengan keturunannya sampai akhir hayat hidupnya, akan tetapi sering kali hasrat seperti itu kandas di tengah jalan oleh karena adanya berbagai hal.
Melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai putusnya perkawinan terdapat di dalam Bab VIII pasal 38 yang terdiri dari tiga macam yakni :
a.   Karena kematian;
b.   Karena perceraian;
c.   Atas keputusan Pengadilan.
Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat kita lihat di dalam buku I Titel X pasal 199 di sana disebutkan secara limitative bahwa perkawinan ini terputus karena:
a.   Karena kematian:
b.   Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan diikuti perkawinan dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima Bab 18 (delapan belas).
c.   Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagi kedua Bab mi.
d.   Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga Bab ini.
Setelah kita ketahui beberapa hal mengenai putusnya perkawinan baik menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akhirnya penulis hanya membatasi pada pokok pembahasan sebagai berikut :
1.   Perkawinan yang putus karena kematian;
2.   Perkawinan yang putus karena putusan hakim setelah terjadi perpisahan meja atau tempat tidur;
3.   Perkawinan yang putus karena perceraian.
Perkawinan Yang Putus Karena Kematian
Tentang kematian, yakni dengan meninggalnya salah satu pihak (suami atau istri) dengan sendirinya segala ikatan perkawinan akan berakhir, oleh sebab itu perkawinan yang putus karena kematian tidak perlu diuraikan lebih lanjut berhubung persoalannya sudah jelas.
Perkawinan Yang Putus Karena Putusan Hakim Setelah Terjadi Perpisahan Meja Dan Tempat Tidur
Bagi pasangan suami istri yang tidak dapat hidup bersama disebabkan berbagai hal, tetapi menurut kepereayaan kedua belah pihak masih menaruh keberatan-keberatan terhadap suatu perceraian, maka oleh Undang-undang diberi kemungkinan-kemungkinan untuk meminta suatu perpisahan meja dan tempat tidur, oleh karena lembaga perpisahan meja dan tempat tidur ini merupakan suatu cara pemecahan dalam menanggulangi keganjilan-keganjilan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Walaupun perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat dimintakan atas persetujuan kedua belah pihak (suami dan istri), Tetapi untuk meminta perpisahan meja dan tempat tidur harus pula disertai dengan alasan-alasan yang sah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :[11]
“Dalam hal adanya peristiwa-peristiwa yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menuntut perceraian perkawinan, suami dan isiri adalah berhak, menuntut perpisahan meja dan tempat tidur. Tuntutan untuk perpisahan yang demikian boleh juga dimajukan berdasarkan atas perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar, dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain”.
Dari bunyi pasal itu ternyata meskipun diantara kedua belah pihak (suami dan istri) itu hidup secara terpisah tidak berarti kedua belah pihak terlepas dari pertalian perkawinan atau dengan kata lain bahwa perkawinannya itu di sini belumlah putus (bubar), tetapi dengan perpisahan meja dan tempat tidur itu hanyalah mempunyai akibat suami istri tersebut dibebaskan dari kewajibannya untuk tinggal bersama (dalam arti tinggal serumah). Untuk itu kedua belah pihak masih selalu diberi kesempatan untuk berdamai lagi atau untuk hidup bersama lagi.
Namun demikian apabila diantara kedua belah pihak itu ternyata tidak juga dapat berdamai kembali dalam jangka waktu lima tahun lebih, maka kedua belah pihak tersebut masing-masing dapat meminta kepada hakim supaya hakim memutuskan perpisahan meja dan tempat tidur itu dilanjutkan dengan pemutusan perkawinan (pembubaran perkawinan), atau lebih jelasnya masalah ini dapat kita lihat dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 200 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :[12]
“Apabila suami istri telah berpisah meja dan ranjang, baik karena salab satu alasan tersebut dalam pasal 233, maupun atas permintaan kecewa mereka sendiri, dan perpisahan itu telah berjalan genap lima tahun lamanya dengan tak adanya perdamaian antara kedua belah pihak maka tiap-tiap mereka adalah leluasa menarik pihak yang lain di muka pengadilan dan menuntut supaya perkawinan dibubarkan”.
Kemudian bila hakim mengabulkan tuntutan kedua belah pihak atau dengan perkataan lain hakim memutuskan perpisahan meja dan tempat tidur itu terjadi pembubaran perkawinan, maka dalam jangka waktu yang sudah ditentukan harus didaftarkan pada pegawai pencatatan sipil di tempat perkawinan itu dilangsungkan (pendaftaran nama harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah tanggal putusan hakim).
Dan jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini dilalaikan, maka putusan pembubaran perkawinan kehilangan kekuatannya yang berarti menurut Undang-undang hubungan perkawinan itu masih tetap berlangsung.
OIeh karena itu cara pemutusan perkawinan sesudah terjadi perpisahan meja dan tempat tidur di Indonesia jarang sekali dipergunakan dengan alasan acaranya terlalu berbelit-belit dan terlalu banyak memakan waktu yang lama.

Perkawinan Putus Karena Perceraian
Berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah ada perpisahan meja dan tempat tidur dimana di dalamnya itu tidak dapat perselisihan-perselisihan yang begitu mendasar bahkan mungkin saja di dalamnya terdapat suatu kehendak baik dari pihak suami maupun dari pihak istri untuk mengakhiri perkawinan tersebut. Maka pada perkawinan yang putus karena perceraian ini pada dasarnya dilarang atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 208), tetapi perceraian itu selalu didahului oleh pertengkaran-pertengkaran atau perselisihan-perselisihan yang mendasar dalam arti bahwa diantara kedua belah pihak itu sudah tidak ada kecocokan lagi.
Seperti apa yang telah penulis uraikan di muka dimana meskipun tujuan dari pada perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal, namun tidak jarang di dalam praktek suatu perkawinan itu terpaksa harus mengalami kegagalan yang bukan disebabkan oleh kematian salah satu pihak, tetapi karena gagalnya kedua belah pihak itu dalam membina rumah tangga mereka, entah karena tak adanya kerukunan akibat tidak adanya saling pengertian atau perbedaan paham antara keduanya dan bisa jadi karena kesulitan ekonomi serta penyakit yang diderita salah satu pihak yang mengakibatkan ketidak mampuan pihak tersebut untuk menjalankan kewajibannya.
Bilamana dalam suatu perkawinan terdapat keadaan-keadaan demikian, maka tentu akan terjadi keretakan-keretakan dalam perkawinan suami isteri tersebut. Jika keretakan-keretakan telah sedemikian buruknya sehingga dilihat dari segi apapun tak tertinggal satu kebaikan, maka satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh adalah perceraian. Menurut Prof R. Subekti, S.H. Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan, kemudian Ali Afandi, S.H. mengatakan pula bahwa perceraian adalah salah satu sebab bubarnya perkawinan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah pembubaran suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan dengan suatu keputusan hakim. Maka dengan adanya perceraian ini perkawinan mereka pun putus dan diantara mereka tidak lagi ada hubungan suami istri, akibat Iogisnya mereka dibebaskan dari segala kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami istri.
Selanjutnya untuk bercerai masing-masing pihak tidak dapat begitu saja datang ke Pengadilan dan minta agar perkawinannya dibubarkan tetapi harus ada alasan-alasan tertentu yang tercantum secara limitative dalam Undang-undang artinya hanya atas dasar alasan-alasan seperti yang ditentukan oleh pihak-pihak dapat minta perceraian.
Masalah penanganan perceraian harus diarahkan pada usaha-usaha untuk sejauh mungkin menjaga kebutuhan perkawinan dan nilai-nilai suci dari suatu perkawinan haruslah dijunjung tinggi, jadi meskipun suatu permohonan perceraian tidak dilarang oleh hukum tetapi pada hakekatnya perceraian tidaklah dapat dilakukan dengan mudah atau dengan sewenang-wenang. Untuk itu harus ada alasan-alasan yang cukup kuat sehingga hal apapun perkawinan tidak akan mungkin lagi dapat diteruskan.[13]
Adapun alasan-alasan perceraian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat dalam pasal 209 yang disebutkan sebagai berikut :
1.   Zinah (overspel);
2.   Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja;
3.   Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun Iamanya atau dengan hukuman yang Iebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan;
4.   Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami terhadap si istri atau sebaliknya si istri terhadap suaminya yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.
Namun demikian masalah perceraian ini sebagaimana halnya yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (seperti tersebut diatas), dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 maka segala ketentuan mengenai perkawinan dan perceraian sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menjadi tidak berlaku, atau jelasnya dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonatie perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks ordonantie christen Indonesiaers:1933 No.74). peraturan perkawinan campuran (Regeleing op de gemeng de huwelijken S 1898 No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.[14]
Apabila kita memperhatikan bunyi dari pada pasal 66 sebagaimana tersebut diatas, maka dapatlah kita simpulkan, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan perceraian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu tidak berarti menjadi tidak berlaku secara keseluruhannya, akan tetapi yang tidak berlakunya itu hanyalah mengenai apa-apa yang telah diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
B.   Perihal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Menurut Undang-Undangan Nomor 1 Tahun 1974
Sehubungan dengan masalah-masalah perceraian sebagaimana tersebut diatas, maka selanjutnya disini penulis akan meninjau masalah perceraian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (beserta peraturan pelaksanaannya). Mengenai masalah perceraian ini dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, maka pengaturannya terdapat di dalam Bab VIII mulai dari pasal 38 sampai dengan pasal 41 yakni mengenai putusnya perkawinan dan akibatnya.
Dan menurut pasal 39 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.
Adapun alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian teruraikan dalam penjelasan pasal 39 dan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, alasan-alasan termaktub ialah sebagai berikut :
a.   Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan;
b.   Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c.   Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.   Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e.   Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f.    Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Apabila kita memperhatikan alasan-alasan perceraian sebagai mana tersebut diatas, tentunya kita akan bertanya-tanya mengapa alasan-alasan perceraian itu harus demikian? untuk menganalisanya penulis disini akan memberikan uraiannya antara lain :[15]
Alasan perceraian huruf a :
Alasan perceraian huruf a ini memang lebih luas dari pada alasan perceraian dalam ayat (1) pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata karena selain menyebutkan “menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan” sebagai alasan perceraian. Hal ini sebenarnya dapat dipahami dengan mudah dimana kita harus ingat selain perbuatan zinah yang jelas-jelas terkutuk dan laknat, perbuatan menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya sukar disembuhkan merupakan perbuatan-perbuatan yang sifatnya tidak saja merugikan kepada si yang berbuat tetapi juga menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Perbuatan-perbuatan mana dipandang masyarakat sangat tercela, yang perlu di ingat disini terutama kepada hakim yang memeriksa suatu permohonan diadakannya sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian maupun yang memeriksa suatu gugatan perceraian agar dapatlah kiranya menjaga jangan sampai peraturan ini diterobos sedemikian rupa dengan seenaknya. Misalnya dengan jalan salah satu pihak menuduh pihak Iainnya telah berbuat zinah atau sering mabuk-mabukan, atau sering berjudi, dan pihak yang dituduh ini di muka sidang pengadilan mengakui apa-apa yang dituduhkan kepadanya itu. Meskipun menurut hukum acara perdata (pasal 174 HIR/311. RBg/1925 BW, pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, kendatipun pada hakekatnya yang dituduhkan itu palsu, tapi karena diakui tokoh mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Maka ada jalan untuk bercerai dengan cara bersandiwara di depan sidang pengadilan.
Maka demi untuk menghindari terjadinya penerobosan terhadap alasan perceraian huruf a tersebut, pengakuan di muka sidang pengadilan (hakim) sebagai bukti yang sempurna harus dikesampingkan dulu bukannya diikuti dengan alat bukti yang lainnya. OIeh karenanya Hakim tidak boleh begitu saja mempercayai dan menerima alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh mereka yang ingin bercerai, demikian juga hendaknya jangan begitu saja menarik persangkaan telah terjadi perzinahan bila seorang perempuan dan seorang laki-laki tidur berduaan dalam sebuah kamar yang hanya terdapat satu tempat tidur, persangkaan semacam ini juga harus dikesampingkan.
Alasan perceraian huruf b :
Ratio alasan perceraian huruf b ini adalah bermaksud untuk melindungi pihak yang ditinggalkan jangan sampai segala kepentingan di perkosa, baik kepentingannya sebagai anggota masyarakat maupun sebagai manusiawi, akibat tingkah laku pihak lain yang meninggalkan tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Kemudian dengan disebutkannya secara tegas oleh Undang-undang perkawinan tentang batas waktu minimal lamanya salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut lebih memenuhi kepastian hukum.

Alasan perceraian huruf C:
Alasan perceraian huruf c ini sama halnya dengan alasan perceraian huruf b, yakni tujuannya justru untuk melindungi pihak yang tidak terhukum jangan sampai segala kepentingan sebagai makhluk sosial maupun sebagai makhluk manusia terperkosa karena perbuatan-perbuatan pihak terhukum. Hukum disini melindungi pihak yang tak terhukum jangan sampai penghidupannya dan kehidupannya menderita lantaran ditinggalkan suaminya atau istrinya selama lima tahun atau lebih dalam penjara. Dengan peraturan ini pihak yang tak terhukum dapat melakukan perceraian dengan pihak yang terhukum untuk kemudian dapat melangsungkan perkawinannya yang baru.
Alasan perceraian huruf d :
Rationya adalah bahwa memang sudah sepantasnyalah apabila salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain, baik terhadap jiwa maupun kesempurnaan anggota tubuh, dapat dijadikan sebagai alasan perceraian. Tetapi disini yang menjadi masalahnya adalah sampai sejauhmana keadaan yang bagaimana kekejaman atau penganiayaan salah satu pihak itu dapat dikatakan membahayakan terhadap pihak lain yang diperlukan? Dalam praktek untuk menilainya hakim perlu ada visum et repertum dari dokter atau berupa keterangan saksi ahli jiwa tentang bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman atau penganiayan maupun perasaan pihak lain yang diperlukan, dan keterangan-keterangan dari orang-orang yang melihat perlakuan kekejaman atau penganiayaan itu.
Alasan perceraian huruf e :
Alasan perceraian ini mempunyai ratio yang sama dengan alasan perceraian huruf b dan e, yakni untuk melindungi dan menjaga terperkosanya lantaran sesuatu sebab yang menimpa pihak lainnya. Cuma ketentuan ini relatif sekali sifatnya.
Alasan perceraian huruf f :
Pada hakekatnya alasan perceraian ini merupakan pelahiran dalam bentuknya yang baru dari “Yurisprudensi” yang memang telah pernah ada dan diikat sebelumnya.
Dari alasan-alasan perceraian sebagaimana halnya diatas baik berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Undang-undang Nomor 1 Talum 1974, kalau kita perhatikan maka secara sepintas alasan-alasan perceraian yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ternyata memungkinkan untuk memudahkan terjadinya perceraian.
Namun demikian dengan adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masalah perceraian itu sekarang harus dilakukan menurut prosedur hukum dan alasan-alasan yang dapat dibenarkan, atau dengan kata lain bahwa perceraian itu hanya boleh dilakukan di depan sidang pengadilan.
Sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian yang diselenggarakan menurut agama Islam secara garis besarnya dapatlah dikatakan bahwa perceraian itu dapat terjadi dengan diucapkannya kata talak dari pihak suami.



BAB IV
KAJIAN TEORITIS TENTANG AKIBAT
PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN

A.   Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Menurut KUH Perdata
Masalah Perceraian hingga dewasa ini masih tetap merupakan masalah sosial yang cukup aktuil, sumber perdebatan yang hangat dan menimbulkan pendapat yang berbeda-beda. Perceraian merupakan suatu masalah yang komplek baik ditinjau dari segi sebab musabab maupun akibat-akibatnya.
Secara integral masalahnya bertalian dengan masalah yuridis, sosiologis, ekonomis, biologis, paedagogis, psychis dan lain sebagainya masalah-masalah yang menunjang faktor-faktor di atas.
Pada umumnya sarjana sosiologi tidak menyetujui larangan secara keras terhadap tindakan perceraian, hanya prosesnya tidak boleh dilakukan secara mudah dan semena-mena. Jadi tidak ada manfaatnya melarang suami istri yang menghendaki perceraian karena mereka juga akan pasti mencari suatu cara untuk menyelundupkannya sebagai kita ketahui dalam contoh “kasus zinah (overspeI)”[16]
Secara umum dengan terjadinya suatu perceraian maka dapat mengakibatkan tidak adanya suatu kewajiban lagi untuk hidup bersama antara bekas suami dan istri, dengan perkataan lain bahwa kewajiban untuk hidup bersama antara bekas suami dan istri telah lenyap dan mereka hidup terpisah secara sendiri-sendiri.
Perceraian adalah suatu yang amat tidak disenangi oleh istri, ia adalah bagaikan pintu darurat di pesawat udara yang tidak perlu digunakan kecuali dalam darurat demi untuk mengatasi kritis.[17]
Dengan penggunaan cerai tanpa kendali dalam membina mahligai perkawinan ini akan merugikan bukan saja pada dua belah pihak yakni suami dan istri tetapi juga terhadap anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Mengapa demikian? karena “masalah keluarga” adalah juga merupakan masalah masyarakat, sebab masalah-masalah yang lahir di lingkungan keluarga ini akan dirasakan akibatnya oleh pecah belahnya perkawinan akan dirasakan akibatnya oleh individu-individu dalam keluarga itu, akan tetapi tercermin kegoncangannya dalam masyarakat. Kaitan ini bukan hanya agama Islam yang mencoba mengenengahkannya tapi juga diutarakan oleh para penulis tentang hubungan keluarga dan masyarakat sebagaimana yang dapat kita baca dalam buku-buku hasil karya mereka. Oleh karena yang demikian hubungannya antara keluarga di satu pihak dan masyarakat di pihak lain tidaklah mengherankan jika masyarakat atau dalam hal ini mengapa banyak turut campur tangan dalam urusan keluarga ini dengan segala bentuk peraturan-peraturan yang dibuatnya. Banyaknya peraturan-peraturan tersebut menunjukkan makin banyaknya keluarga itu mendapat perhatian negara, walaupun akibatnya terdapat banyak pembatasan-pembatasan terhadap keluarga akan tetapi pembatasan-pembatasan itu diadakan demi kelangsungan dari pada masyarakat atau negara dimana keluarga itu berada.[18]
Dan kalau kita telusuri secara sepintas saja ternyata di dalam praktek akibat perceraian ini bisa merupakan salah satu jalan yang dapat menyebabkan terjadinya Broken home. Dimana dengan terjadinya broken home ini pun telah banyak membawa akibat langsung timbulnya dan tambahnya problem anak-anak nakal (juvenile delinquency).
Hal mana sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh para ahli sosiolosi dimana dalam keterangan itu para ahli sosiologi didasarkan pada akibat sosial yang hidup, dan dapat kita lihat secara nyata dimana perceraian itu dapat menjadi sumber ancaman langsung pada sendi-sendi kehidupan masyarakat, dan perceraian dapat pula mengakibatkan dekadensi sosial yang merusak tata nilai sosial yang hidup dalam masyarakat.[19]
Dalam masyarakat dapat secara tidak langsung memberikan pengaruh yang baik maupun yang buruk yang dapat mengancam serta menghancurkan kehidupan keluarga, hilangnya tradisi, kebudayaan, agama, berkurangnya kesadaran akan nilai-nilai rohani serta tanggung jawab dan kewajiban, nafsu serakah adalah gejala-gejala yang langsung mempengaruhi dan mengancam kehidupan keluarga.
Dengan hilangnya ikatan tersebut diatas maka terdapat kecen-derungan terhadap kemungkinan yang lebih besar akan hancurnya kehidupan perkawinan sehingga menambah angka perceraian. Dan akibat luas yang akan melanda dan terasa mengerikan serta mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat adalah berupa :
-     meningkatnya jumlah pelacuran;
-     meningkatnya usaha kriminalitas;
-     kenakalan remaja dan lain sebagainya yang cenderung sebagai suatu perbuatan yang anti sosial.
Oleh karena itu menurut Prof R. Subekti, S.H. yang dikutip oleh Happy Marpaung, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Masalah Perceraian” bahwa akibat suatu perceraian itu perlu diatur secara yuridis, pengaturan nama bermaksud untuk melindungi hasil suatu perkawinan agar dapat memberi kepuasan terhadap pihak-pihak.
Karena suatu perkawinan itu bertujuan akan membentuk suatu keluarga yang bahagia tentunya mempunyai hasil yang sudah dicapai setelah sekian lama membangun rumah tangga, hasil tersebut harus dilindungi bahkan dijamin kelangsungan hidup dan masa depannya.
Terhadap istri misalnya, sesuai dengan kodrat kewanitaannya harus diberi perlindungan jaminan ekonomi yang sesuai dengan kesejahteraan hidupnya, demikianpun terhadap anak-anak harus pula diperhatikan pendidikan serta kelangsungan hidupnya hingga ia dapat berdiri sendiri dan berkeluarga pula, bahkan terhadap harta benda sekalipun harus diurus dengan baik.
Tidak luput pula harus diperhatikan pihak-pihak yang terlibat secara tidak langsung, misalnya pihak ketiga yang telah membuka suatu transaksi dengan pihak suami dan istri sebelumnya terjadi perceraian tersebut.[20]

B.   Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Menurut Undang-Undangan Nomor 1 Tahun 1974
Adapun akibat perceraian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dibedakan antara lain :[21]
1.   Akibat perceraian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata antara lain :
a.   Akibat terhadap istri atau suami;
b.   Akibat terhadap harta kekayaan;
c.   Akibat terhadap anak-anak yang masih dibawah umur (minderjarig).
2.   Akibat perceraian menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Sebagaimana kita ketahui salah satu aspek yang hendak dicapai oleh Undang-undang Perkawinan ini adalah mengurangi angka perceraian secara prefentif.
Hingga apa yang menjadi azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka Undang-undang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
Boleh di kata dengan dikeluarkan Undang-undang Perkawinan ini kaum wanita Indonesia boleh sedikit berlega hati sebab peraturan perceraian ini adalah satu usaha untuk melindungi kesewenang-wenangan dari kaum pria, dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini adalah merupakan kado untuk Hari Ibu Indonesia.
Pada hematnya, akibat yang ditimbulkan suatu perceraian selalu negatif bagi pihak yang ditinggalkan demikian pula bagi pihak yang ditinggalkan demikian pula bagi pihak yang meninggalkan. Air mata, keluh kesah, kekecewaan bahkan dendam serta penderitaan lainnya selalu merupakan bayangan yang menghantui suatu perceraian, dalam hal ini merupakan suatu pertanyaan apakah suatu tindakan perceraian merupakan suatu alat therapi untuk menolong suatu perkawinan dari kehancuran? Jawaban yang memuaskan tidak akan dapat kita cari secara pasti, yang jelas bagi kita semua bahwa pada prinsipnya agama, masyarakat, serta negara sedapat mungkin melarang suatu tindakan perceraian.
Dalam Undang-undang Perkawinan ini dapat kita lihat bahwa unsur suami istri, harta kekayaan dan anak-anak merupakan unsur yang dilindungi sebagaimana pula halnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hanya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini kedudukan anak-anak lebih terjamin. Dan akibat-akibat perceraian menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini dapat kita bedakan juga dalam 3 unsur yaitu antara lain :
a.   Akibat terhadap suami istri;
b.   Akibat terhadap harta kekayaan;
c.   Akibal terhadap anak.
Perlu juga diketahui bahwa selain akibat yuridis yang sudah ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan tersebut yaitu menjamin serta melindungi kesejahteraan masing-masing pihak yang ada karena perkawinan tersebut, maka perlu dicatat pula bahwa akibat non yuridis dari suatu perceraian adalah demikian mengerikan dan mendirikan bulu roma, betapa tidak sebab langsung maupun tidak langsung dan pasti akibat ini akan mengancam stabilitas sosial. Untuk mengatasi masalah perceraian ini sebagai penyakit masyarakat (pathologisosial) maka sebagaimana sebab-sebab musibah yang timbul secara komplek, maka therapi untuk mencegah terjadinya suatu perceraian itu harus pula bertolak secara komplek pula, dengan melibatkan seluruh aspek potensial kehidupan masyarakat secara berimbang, dengan memasyarakatkan pendidikan. agama, pendidikan seks, kesehatan, KB, ekonomi, kesejahteraan keluarga dan lain-lain.
Sebab apabila artinya, meskipun kita hasilkan suatu produk hukum yang sempurna tetapi Seandainya pengertian dan kesadaran masalah-masalah non yuridis di atas tidak di masyarakatkan secara sejajar dengan usaha yuridis tersebut, maka niscaya misi dasar yaitu mencegah perceraian karena tidak sesuai filsafat Pancasila praktis usaha itu akan sia-sia belaka.
Perceraian tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, demikian Prof. R. Subekti, S.H. artinya perceraian tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, karena usaha pencegahan harus dilakukan sedini mungkin tanpa bisa ditawar lagi. Sebab sebagaimana kita bisa menyebutkan bangsa yang berkepribadian Pancasila kalau harga suatu perkawinan in de facto tidak kita hargai sewajarnya. Tetapi lepas dari keseluruhan masalah diatas, adalah sudah sepantasnyalah kila menghargai usaha pemerintah yang telah giat mengusahakan suatu hukum perkawinan yang bersifat Nasional meskipun dalam taraf yang masih jauh dari sempurna.
Dan sebagaimana kita ketahui pula diundangkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini menimbulkan reaksi yang keras dari masyarakat. Hal ini dapat dipahami mengingat masalah perkawinan adalah masalah yang penting dan melekat (inherent) dengan kehidupan manusia yang berumah tangga dan keluarga dan pula menyangkut soal agama dan kepercayaan masing-masing warga masyarakat.[22]
Akibat Terhadap Bekas Suami Atau Istri
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan adanya suatu perceraian setelah keputusan Hakim didaftarkan dalam daftar catatan sipil, maka tiada kewajiban untuk hidup bersama antara bekas suami dan istri, dengan perkata lain mereka hidup terpisah satu sama lain. Jadi mereka hidup terpisah tanpa ada lagi Ikatan apapun diantara mereka, akibatnya si istri menjadi cakap untuk bertindak sendiri, ia memperoleh kedudukan dari seorang yang tidak menikah. Bekas istri dapat melakukan tindakan hukum tanpa bantuan suami lagi.[23]
Dan sesuai dengan kodratnya pula bahwa wanita adalah merupakan jenis manusia yang paling banyak memerlukan perlindungan. Pada masa-masa yang lalu dikala pria mempergunakan hak cerai secara semena-mena maka wanitalah yang paling banyak mengalami penderitaan. Akibat perceraian yang semacam ini bukan saja merupakan suatu pukulan moril bagi wanita, tetapi juga sangat memberatkan hidupnya. Ia harus mencari nafkah untuk dirinya sendiri, dan tidak jarang nafkah untuk anak-anaknya yang sebenarnya adalah merupakan tanggungjawab si bekas suaminya. Pada umumnya wanita juga enggan menuntut bekas suaminya untuk pembayaran nafkah tersebut. Ia lebih suka bersikap diam walaupun dengan konsekwensi penderitaan.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas hanya ada satu perkecualian yaitu apa yang diatur dalam pasal 233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :[24]
Pihak suami atau istri sebaliknya, atas kekalahan siapa keputusan perceraian itu diucapkan, kehilangan segala keuntungan, yang mana karena perkawinan telah dijanjikan oleh pihak yang lain.
Kalau kita perhatikan pasal tersebut ternyata terhadap pihak yang dikenai putusan perceraian maka pihak itu kehilangan semua keuntungan yang disanggupkan pihak yang lain dalam masa perkawinan.
Disamping apa yang dikatakan diatas maka kewajiban untuk memberikan tunjangan nafkah terdapat dalam pasal 225 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan sebagai berikut :[25]
“Jika pihak suami atau istri, atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tak mempunyai penghasilan yang cukup guna membelanjai nafkahnya, maka pengadilan negeri boleh menentukan sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain”.
Dari bunyi pasal tersebut ternyata bahwa kepada pihak yang menang dalam perkara perceraian itu ada kemungkinan mendapatkan nafkah dari pihak yang kalah bilamana ia tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan yang cukup.
Jadi baik pihak suami atau pihak istri sama-sama rnempunyai hak untuk menuntut tunjangan nafkah, tergantung dari ia memenangkan perkara atau tidak. Jadi apabila atau andaikata pihak istri yang salah maka ia tidak berhak untuk menuntut atau meminta tunjangan nafkah dari pihak suami.
Pasal 225 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kurang lebih menyatakan bahwa perkawinan yang diputuskan terhadap sebuah pihak sesuai dengan permintaan cerainya, namun ia tidak mempunyai penghasilan untuk hidup maka pengadilan akan memberikan nafkah kehidupannya dan barang-barang pihak yang lain sejumlah tertentu.
Permintaan mendapatkan nafkah dapat diajukan kepada hakim bersama-sama dengan gugat cerainya. Namun dapat juga diajukan tersendiri dengan ketentuan bahwa permintaan mendapatkan nafkah itu adalah untuk kebutuhan hidupnya dan tidak Iebih dari itu.
Pasal 329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa dalam menentukan jumlah uang nafkah ini maka hakim harus menentukan berdasarkan pertimbangan antara kebutuhan pihak yang menuntut nafkah itu dengan pendapatan serta kekayaan pihak yang dituntut dihubungkan dengan jumlah dan kekayaan orang-orang lain yang diberi nafkah.
Jika ada gugatan inkonvensi dan rekonvensi, yang kedua-duanya dikabulkan maka kedua belah pihak saling berhak untuk menuntut nafkah. Dalam hai ini terserahlah kepada kebijaksanaan hakim untuk menentukan nya.
Pasal 329 b Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa hakim atas permintaan pihak yang berkepentingan dapat mengubah atau mencabut kembali penetapan-penetapan tentang jumlah nafkah itu. Tetapi sama sekali meniadakan kewajiban memberikan nafkah itu tidaklah mungkin sebab hal tersebut akan bertentangan dengan tata tertib masyarakat, sehingga pihak-pihak tidak dapat meniadakan kewajiban untuk memberikan nafkah.
Jadi bilamana pihak-pihak menentukan perjanjian yang demikian maka pihak yang berhak masih dapat mengajukan tuntutan.
Kalau pihak-pihak telah menentukan sendiri pembayaran sekaligus maka yang memberi menjadi kehilangan hak untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan. Tetapi sebaliknya, kalau keadaannya berubah maka yang sudah menerima itu masih bisa meminta tambahan.
Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur kewajiban pemberian nafkah yang akan terhenti dengan meninggalnya salah seorang suami atau istri.
Dan pemberian tunjangan ini dapat pula berakhir dengan menikahnya bekas istri dengan pihak lain. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa bekas istri dengan menikahnya lagi dengan pihak lain telah berarti memilih suatu jalan baru, suatu hidup baru maka logis apabila suami yang baru pulalah yang menjamin kesejahteraan hidupnya.
Demikianpun apabila bekas istri tersebut hendak melangsungkan perkawinan lagi menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata maka bekas isteri tersebut harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan, hal ini dapat kita lihat dalam pasal 34 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:[26]
“Seorang perempuan tak diperbolehkan kawin lagi, melainkan setelah lewat waktu tiga ratus hari sementara perkawinan terakhir dibubarkan”
Waktu 300 hari itu diterima sebagai waktu paling lama seorang perempuan di dalam keadaan mengandung dan waktu ini diperlukan untuk dapat menetapkan siapakah ayahnya anak yang dilahirkan seorang perempuan. Dapat saja terjadi bahwa seorang perempuan mengandung pada waktu perkawinan bubar. Jika umpamanya pada waktu perkawinan bubar, perempuan itu mengandung maka buah Kandungan itu tiada akan dapat lebih lama dalam Kandungan dan 300 hari setelah bubarnya perkawinan. Dan anak itu dianggap anaknya lelaki dengan siapa perempuan itu dulu kawin.
Jika sekiranya batas waktu itu ditiadakan atau kurang dari 300 hari, maka Jika perempuan itu kawin dapat timbul persoalan siapakah ayah dari bayi yang dilahirkan perempuan yang kawin lagi itu. Kesukaran ini timbul karena pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa seorang bayi yang lahir di dalam suatu perkawinan mempunyai ayah si suami. Lebih lanjut pasal 252 tersebut menentukan bahwa si suami dapat memungkiri sahnya seorang anak yang lahir dari istrinya kalau ia dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat mengadakan hubungan dengan istrinya di dalam waktu 300 hari sampai 180 hari, sebelum hari lahirnya bayi.
Batas waktu 300 hari setelah bubamya perkawinan berhubungan dengan hal tersebut diatas sudah barang tentu tidak berlaku bagi seorang laki-laki.[27] Dalam arti bekas suami boleh melangsungkan perkawinan lagi tanpa terikat dengan batas waktu tersebut di atas.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masalah tunjangan nafkah juga diatur, dan pengaturan ini mengikat pula kepada orang Islam Indonesia. Walaupun mungkin sebagian umat Islam sendiri tidak menyetujuinya tetapi golongan yang lain dari umat Islam Indonesia sendiri memang berpendapat demikian berdasarkan dalil-dalil agama sendiri.
Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam pasal 41 huruf c yang Berbunyi : “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.
Pasal 41 ini mengatur tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang huruf a dan b nya berkenaan dengan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak serta biayanya dalam hal terjadinya perceraian antara kedua orang tuanya.
Kedua orang tua yang telah bercerai itu berkewajiban melakukan pemeliharaan dan pendidikan si anak untuk kepentingan si anak. Biaya ditanggung oleh Bapak dan dalam hal ini Bapak tidak sanggup si Ibu dapat diwajibkan pengadilan untuk ikut menanggung biayanya.[28]
Disamping itu juga kewajiban suami dan isteri tidak putus dengan putusnya perkawinan tersebut, secara tidak terbatas mereka wajib mengurus masa depan anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Khusus secara materil kewajiban suami lebih diprioritaskan, barulah apabila pihak suami dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajibannya itu, maka pengadilan menentukan pihak istri turut memikul biaya tersebut.
Tentunya sebab anggapan pihak pembuat Undang-undang pihak suami lebih mampu untuk mencari nafkah tetapi apakah tidak ada kemungkinan dalam Zaman modern dewasa ini dasar pemikiran akan keterbatasan kemampuan mencari nafkah itu memperoleh keseimbangannya, bahwa pihak istri nantinya lebih memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Tentunya penggeseran kewajiban dari pundak suami, kepada pihak istri akan terasa lebih adil. Untuk itu pembuat Undang-undang harus lebih memikirkannya.
Selanjutnya bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Waktu tunggu ini dalam hukum Islam disebut iddah. Pasal 39 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan waktu tunggu seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut :
1.   Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
2.   Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu ditetapkan tiga kali suci, dengan sekurang-kurangnya sembilan puluh hari, dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan sembilan puluh (90) hari.
3.   Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai Melahirkan.
Waktu tunggu tersebut diatas, menurut pasal 39 ayat 3 mulai dihitung sejak Jatuhnya putusan pengadilan yang putus karena perceraian, dan sejak kematian suami bagi perkawinan yang putus karena kematian.
Janda yang putus perkawinannya karena perceraian sedang antana janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, pasal 39 ayat 3 menyatakan tidak ada waktu tunggu baginya, waktu tunggu ini penting sekali karena menyangkut pelangsungan perkawinan selanjutnya, juga menyangkut rujuk bagi yang beragama islam.[29]

Akibat Terhadap Anak-Anak
Diantara masalah yang perlu memperoleh penyelesaian sebagai akibat berakhirnya perkawinan, baik sebab bercerainya suami istri dalam keadaan keduanya masih hidup, maupun sebab meninggalnya salah satu dari suami istri, ialah masalah anak dan kedudukannya serta pemeliharaan selanjutnya.
Masalah anak meliputi ketentuan tentang siapakah yang berwenang dan berkewajiban serta bertanggungjawab terhadap perwalian anak, penyusuan dan pemeliharaannya, pembiayaan hidupnya, pendidikannya, pengurusan hartanya dan lain sebagainya.
Penyelesaian masalah anak akibat berakhirnya perkawinan dapat dibedakan antara perceraian antara suami istri dalam keadaan keduanya masih hidup, dan sebab meninggalnya suami atau istri, sedangkan bagi sebab meninggalnya suami atau istri dapat dibedakan antara yang rneninggal dunia itu suami dengan yang meninggal dunia itu istri.
Demikian pula penyelesaian masalah anak dapat dibedakan antara anak yang masih kecil, masih menyusui dan memerlukan perlindungan khusus dari ibunya, masih mensui dan memerlukan perlindungan khusus dari ibunya, masih bergantung kepada kehidupan ibunya, dengan anak yang sudah menginjak masa remaja yang hanya memerlukan pembiayaan hidup dan pengawasan seperlunya.
Dalam hal berakhirnya perkawinan sebab meninggalnya salah satu dari suami atau istri, maka salah seorang dari suami atau istri yang masih hidup berkewajiban melanjutkan pemeliharaan dan pengawasan terhadap anak-anaknya yang ditinggal mati oleh ayah atau ibunya itu.[30]
Adapun menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan terjadinya perceraian itu maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak yang lahir dan perwalian kemudian tentang perwalian diatur dalam pasal 220 dan 239 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tetapi orang tua yang tidak menjadi wali tetap harus memberikan kunjungan untuk pemeliharaan dan pendidikan.
Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian itu harus memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari anak-anaknya yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap-tiap anak siapa dari antara dua orang itu yang harus menjadi wali, hakim hanya dapat menetapkan salah satu orang tua dan siapa-siapa yang berhak menjadi wali anak-anak itu dan diputuskan oleh hakim. Di dalam hal ini bisa terjadi bahwa beberapa anak yang diserahkan kepada perwalian si ayah dan yang lainnya kepada si ibu, di dalam hal demikian orang ketiga pun juga ditetapkan menjadi wali pengawas.
Dulu berlaku suatu sistem bahwa selama pengadilan tidak menenukan lain, maka anak-anak tetap turut pada suami atau istri yang tidak memikul kesalahan perceraian, sekarang pengadilan bebas memberikan ketetapannya setelah mendengar keterangan-keterangan para pihak dan pihak lain yang terlibat secara langsung misalnya keluarga sedarah dan semenda. Dalam hal ini tidak merupakan keharusan bahwa anak diserahkan pada salah seorang dari orang tua, pengangkatan orang ketiga sebagai wali dimungkinkan bilamana kedua orang tuanya dibebaskan dari kekuasaan orang tua, hal ini bisa diakibatkan karena orang tuanya dinilai tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai orang tua.
Juga bisa terjadi bahwa salah seorang dari orang tua ditetapkan menjadi wali dan lainnya menjadi wali pengawas. Penetapan wali ini baru berlaku setelah putusan perceraian mempunyai kekuatan mutlak, yaitu dibukukannya dalam register catatan sipil. Sebelum itu penetapan tidak usah diberitahukan, dan juga tidak boleh dijalankan permintaan banding. Pihak yang tidak diangkat menjadi wali jika pada waktu pertemuan untuk mengangkat wali itu, tidak hadir, dapat mengadakan perlawanan. Hal ini harus dilakukan dalam waktu 30 hari setelah penetapan pengangkatan wali diberitahukan kepadanya.
Biasanya dalam mengambil keputusan siapa yang berhak mengurus anak-anaknya dilihat siapa kira-kira yang cakap untuk dijadikan wali. Pihak suami atau istri dapat mengajukan permohonan perubahan keputusan hakim agar keputusan tersebut ditinjau kembali. Disamping wali diangkat pula seorang wali pengawas, di Indonesia pemerintah menunjuk balai harta peninggalan sebagai wali pengawas.
Meskipun anak-anak tersebut berada dibawah perwalian pihak ketiga tetapi orang tua tetap mempunyai hak untuk mengunjungi anak tersebut, karena menurut pengamatan penulis tentunya seorang tua tidak akan bisa dipisahkan begitu saja. Sekalipun ia bersalah, bagaimana perasaan seorang ibu dipisahkan dari darah dagingnya sendiri meskipun ia dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda pandangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam menyelesaikan masalah anak akibat berakhirnya perkawinan ini Undang-undang Perkawinan Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 menempuh sistem yang banyak persamaan dengan hukum Islam.
Dimana dalan Undang-undang Perkawinan tidak terjadi status perwalian terhadap kedudukan anak, bapak dan ibu tetap berkewajiban mengurus masa depan anak-anak dalam pelaksanaan pengurusannya dilakukan oleh salah satu pihak, hal ini terbukti dengan adanya pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah sebagai berikut :
“a.   Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka pengadilan berwenang memberikan keputusan”.
‘b.   Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan yang berwenang dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya”.
Jadi kalau kita perhatikan dari bunyi pasal 41 tersebut di atas ternyata masa pendidikan dan pemeliharaan anak-anak akibat dari perceraian itu merupakan kewajiban kedua orang tua anak tersebut yakni ayah dan ibu dari anak itu. Dan kewajiban orang tua ini tetap berlaku meskipun kekuasaan orang tua dicabut. Kewajiban inipun berlaku sampai anak itu kawin dan dapat berdiri sendiri.

C.   Analisa Hukum
Dalam kehidupan manusia ternyata perkawinan merupakan Iangkah permulaan bagi dua insan manusia antara laki-laki dengan seorang wanita dalam membentuk keluarga yang bahagia yang penuh dengan pengertian, saling rasa hormat menghormati serta saling sayang menyayangi dan lain sebagainya, sehingga nantinya tercipta suatu hubungan yang harmonis yang sesuai dengan tujuan perkawinan tersebut.
Bahwa dalam pasal 208 KUH Perdata yang melarang perceraian atas dasar kesepakatan suami istri. Pertimbangannya adalah untuk mencegah secara mudah diputuskannya perkawinan dengan perceraian.
Dalam pasal 1 UU Perkawinan, menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena dengan terjadinya perceraian tersebut dapat membawa akibat-akibat baik yuridis maupun non yuridis. Adapun akibat-akibat yuridis dari perceraian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diantaranya dapat kita lihat misalnya dalam pasal 225, dan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat kita lihat dalam pasal 41 Undang-undang tersebut. Sedangkan akibat non yuridis ini dapat kita lihat di dalam praktek kehidupan sehari-hari dimana dengan terjadinya perceraian ini akan membawa akibat langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan keluarga dan masyarakat dimana dengan terjadinya perceraian tersebut dapat menimbulkan Broken Home dalam keluarga, yakni dengan bercerainya ayah dan ibunya kemudian dilanjutkan dengan perkawinan yang baru (ayah dan ibu kawin lagi dengan partner yang lain), dan pada akhirnya anak merasa sengsara bathinya dan merasa tidak bahagia lalu anak tersebut berontak dan akhirnya menghibur diri terjun dalam dunia mabuk-mabukan, narkotika, bergaul di dalam tempat-tempat yang tidak terpuji juga bergaul dengan anak-anak nakal dan lain sebagainya penyakit masyarakat.
Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa masalah perceraian merupakan masalah sosial yang tetap aktuil dan komplek, karena akibat perceraian membawa akibat langsung atau tidak Iangsung serta mengancam stabilitas sosial beraneka ragam aspek, misalnya aspek sosial yaitu meningkatnya pelacuran, urbanisasi dan sebagainya.
Dan kalau kita perhatikan baik kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur tentang ketentuan perceraian menghendaki agar suatu perkawinan itu tetap utuh dan kekal dalam arti perkawinan itu berlangsung dalam jangka waktu yang lama bukan untuk sementara. Sebelum tetjadinya perkawinan ada suatu harta perjanjian perkawinan.
Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maunpun yang ada setelah perkawinan. Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ada dua macam : harta benda dalam perkawinan 1313 No. 1 Tahun 1974 yaitu harta bersama dan harta bawaan. Yang menjadi masalah dan bahan pikiran bila terjadi perceraian antara suami dan isteri adalah kedudukan anak-anak mengenai harta kekayaan yang ada. Diantara adalah yang memperoleh penyelesaian sebagai akibat berakhirnya perkawinan, baik sebab bercerainya suami isteri dalam keadaan keduanya masih hidup, maupun sebab meninggalnya salah satu suami isteri, ialah masalah anak dan kedudukannya serta pemeliharaan selanjutnya.

BAB V
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, berikut ini  dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.   Akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut :
-    Dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 222 s/d pasal 228 KUH Perdata.
-    Dalam U.U. No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur dalam pasal 41 dan diatur lebih lanjut dalam pasal 39 P.P. No.9 Tahun 1975.
2.   Akibat lain dapat juga dilihat dari segi non yuridis yaitu dalam praktek kehidupan sehari-hari membawa akibat langsung maupun tidak langsung terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat. Misalnya : anak-anak menjadi broken home, tersiksa bathin, sehingga bisa terjerumus ke hal-hal yang negatif, seperti pelacur, narkoba dan sebagainya.
3.   Menurut Prof. R. Subekti, SH bahwa perceraian tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia atau tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila, sehingga usaha pencegahan harus dilakukan sedini mungkin.
4.   Jangka waktu tunggu untuk menikah lagi sangat penting bagi wanita yang diatur sebagai berikut :
-    Menurut KUH Perdata dalam pasal 34 yaitu setelah lewat 300 hari mulai sejak perkawinan.
-    Menurut P.P. No.9 Tahun 1975 adalah 90 hari sejak perceraian, dan apabila sedang mengandung adalah setelah melahirkan.
5.   Dengan terjadinya perceraian maka timbul perwalian bagi anak yang belum dewasa dan sebutan orang tua menjadi hapus.

B.   Saran
Untuk melengkapi skripsi ini, penulis menyampaikan saran sebagai berikut :
1.   Pemerintah melalui Badan Penasehat Perkawinan dan Perselisihan Perceraian disingkat BP – 4 supaya lebih menggalakkan sosialisasi perkawinan kepada masyarakat.
2.   Agar sekolah-sekolah mulai dari tingkat SLTP mengajarkan tentang perkawinan dan akibat perceraian melalui pelajaran Agama.  



 


DAFTAR PUSTAKA
 

Abdurahman, dan Ridwan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung, Alumni, 1978.
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara, 1984.
Afandi, Ali, Hukum Orang, Keluarga dan Waris
Buchari, Sidi Ibrahim, Hukum Perkawinan, Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Jakarta, 1998.
Buchari, Sidi Ibrahim, Undang-undang No.1 1974
Hadikusumah, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Cetakan Ke-II, Alumni, Bandung, 1983.
Hadikusumah, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum, Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990
Hamid, Zahry, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta, Bina Cipta, 1978.
Hazarin, Zahry, Tinjauan mengenai UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Cetakan Ke-I, Tinta Mas, Jakarta, 1975.
Kansil, C.S.T. Pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan ke-Ill, Balai Pustaka, Jakarta, 1980.
Latief, Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982.
Malik, Rusdi, Undang-undang Perkawinan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2001.
Marpaung, Happy, Masalah Perceraian, Cetakan Ke-I, Tonis, Bandung, 1983
Prawirohamidjojo, R Soetojo, Asis Sofieodin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung : Alumni, 1986).
Prins, J. Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan Ke-I, Ghalia Indonesia. Jakarta 1982.
Prodjodikoro, R Wirjono, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan Ke-8, Sumur Bandung, Bandung, 1984.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Waris di Indonesia, Sumur Bandung, Cetakan Ke-Ill. 1983.
Ramulyo, M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Cetakan Ke-I, Ind. Hilco, Jakarta, 1979.
Rasjidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung, Alumni, 1982.
Saleh, K. Wancik, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan Ke-VIl, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Sardjono, Wanita dan Kedudukan Menurut Undang-undang Perkawinan, Majalah Hukum dan Pembangunan, (Juli, 1977).
Soemaryati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberti, 1986.
Sosroatmodjo, Arso, dan Wasit Aulawawi, M, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan Ke-Ill, Jakarta, Bulan Bintang, 1981.
Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 1979.
Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke XIV, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke-XVI, Intermas, Jakarta, 1980.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1982.
Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Penerbit PT. Pradya Paramita, Jakarta, 1992.
Syahar, Saidus, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya (Ditinjau dari Segi Hukum Islam), Cetakan Ke-Il, Alumni, Bandung, 1931.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Catatan Ke-II, Jakarta UI-Press. 1982.
Undang-undang Tahun 1974, Cetakan Ke-II, Aneka Ilmu, Semarang, 1985.



 


[1]    Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Waris Di Indonesia, Sumur Bandung, Cet. III, 1983, Hal. 26
[2]    Saleh, K. Wancik. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hal. 14.
[3]    Marpaung, Happy. Masalah Perceraian, Tonis, Bandung, 1983, Hal. 8.
[4]    Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa
[5]    Prawirihamidjojo, R. Soetojo, Asis Sofioedin., Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni), 1986, hIm 44
[6]    Sardjono, R. Wanita dan Kedudukan menurut Undang-Undang Perkawinan, Majalah Hukum dan Pembangunan, (JuIi, 977), hlm 227.
[7]    Ibid, hal. 2.
[8]    Malik, Rusdi. Undang-Undang Perkawinan. Universitas Trisakti Jakarta 2001.
[9]    Ibrahim Buchari, Sidi. Undang-undang No.1, 1974.
[10]   Hadikusumah, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum, Hukum Agama, Bandung; Mandar Maju, 1990, hlm. 123.
[11]   R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 1979, hlm.71.
[12]   Ibid, hlm.62
[13]   Manurung, Happy. Masalah Perceraian, Bandung, Tonis, 1983. hIm. 15-26.
[14]   Op.Cit. hal.156
[15]   Abdurrahman, dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978. hIm. 57-64.
[16]   Marpaung, Happy. Masalah Perceraian, Bandung, Tonis, 1983. hlm. 64.
[17]   Sosroatmodjo, Arso, dan HA. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, 1981. hIm. 36.
[18]   Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung, Alumni, 1982, hlm.11
[19]   Marpaung, Happy. op. cit, hlm.53.
[20]   Ibid., hlm. 52-53.
[21]   Ibid., hlm. 54-60.
[22]   Ibid., hlm. 72-74
[23]   Ibid., hlm. 54
[24]   Sosroatmodjo, Arso dan H.A. Wasit Aulawi. op. cit., hal. 39
[25]   Soetojo, Prawirohamidjojo, dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan Keluarga, Bandung, Alumni, 1982, hlm.138.
[26]   R. Subekti, dan R. Tjiptosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hal.8.
[27]   Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta. Bina Aksara, 1984. hIm. 103.
[28]   Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta, UI-Press. 1982 hIm. 132.
[29]   Latif, H.M. DjamiI, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia, 1982, hIm.114.
[30]   Hamid, Zahry. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Jogjakarta, Bina Cipta, 1978. hlm.106.

0 komentar: