BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, Juli 07, 2012

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL


HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
                                                                             By: Rama Oktomi SH.,LLM


Seperti diketahui bersama, dalam hukum perjanjian internasional dikenal adanya perbedaan bentuk perjanjian.Bentuk perjanian itu dapat berupa; agreement, treaty, protocol, statute, charter, accord, declaration, directives, manual, MoU dll.Tidak ada definisi yang spesifik untuk membedakan diantara bentuk-bentuk perjanjian tersebut.
Oleh karena itu, untuk memudahkan studi hukum internasional, perbedaan bentuk perjanjian lalu disederhanakan berdasarkan sifat mengikatnya, yaitu antara hard law (mengikat secara hukum) dan soft law (mengikat secara moral).Tidak dijelaskan secara terperinci bentuk perjanjian internasional yang masuk kategori hard law dan soft law.Yang biasa diajarkan, berdasarkan kebiasaan, bahwa bentuk perjanjian yang masuk kategori hard law adalah, agreement, treaty, protocol, statute, charter.sedangkan sisanya jatuh ke dalam kategori soft law.Alasan yang sering dikemukakan untuk membedakan sifat dari bentuk perjanjian internasional adalah tentang kewajiban negara dan ratifikasi.Dalam bentuk perjanjian yang bersifat hard law biasanya tercantum kewajiban-kewajiban negara secara terperinci dan membutuhkan suatu ratifikasi dari negara peserta.Misalnya, Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.Konvensi tersebut bersifat hard law karena menjabarkan kewajiban-kewajiban negara peserta serta syarat ratifikasi.Sedangkan dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, bentuk perjanjian tersebut bersifat soft law, meskipun menyebutkan kewajiban-kewajiban negara namun tidak membutuhkan ratifikasi dari negara.Perihal inilah yang kemudian membuat Kenneth W Abbott dan Duncan Snidal membuat konsepsi tentang legalisasi.Dengan membuat tiga alat ukur yaitu obligation, precision and delegation, mereka mencoba menilai bentuk-bentuk perjanjian internasional yang terlanjur dianggap memiliki sifat hard law dan soft law.Konsepsi mereka, menurut penulis, sangat membantu para pengkaji hukum internasional untuk menilai secara objektif suatu perjanjian internasional.Namun, yang belum berhasil dijabarkan oleh konsepsi tersebut adalah mengapa negara dalam membentuk perjanjian internasional lebih memilih salah satu bentuk diantara pilihan yang ada? Misalnya, mengapa negara-negara lebih memilih bentuk deklarasi dibanding traktat dalam membuat perjanjian mengenai hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948)

Perjanjian
Dalam hukum internasional, perjanjian memainkan peran yang sangat signifikan.Selain sebagai sumber hukum formil, perjanjian juga mencantumkan hak dan kewajiban masing-masing subyek hukum.Oleh karena itu, untuk meneguhkan komitmen dalam sebuah relasi, negara-negara lebih banyak memformulasikanya dalam bentuk perjanjian.Pilihan bentuk perjanjian dalam hukum internasional dewasa ini dapat di bagi dua yaitu bentuk hard law atau soft law.Dalam literatur hukum internasional, argumentasi perbedaan antara kedua bentuk perjanjian tersebut belum selesai.Namun, secara sederhana, biasanya hard law diartikan sebagai perjanjian yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum sedangkan soft law hanya mengikat secara moral. Untuk memudahkan identifikasi antara perjanjian yang bersifat hard law dengan soft law, biasanya dapat dikenali dari penggunaan nama perjanjian itu. Hard law umumnya akan menggunakan istilah konvensi, konvenan, protokol dan treaty, sedangkan soft law menggunakan istilah deklarasi, rekomendasi, serta rencana aksi (action of plan).

Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah China atas 228 pos tarif dalam ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang dilakukan pada 3 April 2010 di Yogyakarta gagal. Akibat kegagalan itu, Indonesia akan menerapkan perjanjian tersebut secara penuh sesuai dengan jadwal. Kabar ini jelas merupakan berita buruk bagi kalangan industri dalam negeri sebab merekalah yang mengajukan ide untuk melakukan renegosiasi demi melindungi pasar domestik dari gempuran barang-barang China.Negosiasi secara bilateral merupakan salah satu cara “mudah” untuk melakukan penyesuaian atas ketentuan-ketentuan dalam ACFTA yang dianggap akan mengancam industri dalam negeri. Akan tetapi, setelah kegagalan proses negosiasi secara bilateral maka peluang untuk mengubah ketentuan ACFTA semakin kecil. Lantas, cara apakah yang masih dimungkinkan untuk renegosiasi ketentuan-ketentuan ACFTAKerjasama antarnegara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan yang kompleks sangat rentan untuk tejadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada norma atau aturan. Aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara. Perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian.Perjanjian internasional merupakan sesuatu yang penting dalam hubungan internasional sehingga merupakan salah satu sumber hukum formil hukum internasional.kedudukan tersebut dikarenakan praktek-praktek negara saat ini telah mengatur beragam persoalan dan hubungan antara mereka dengan mempergunakan perjanjian-perjanjian internasional, sehingga menjadi jelaslah pentingnya perjanjian-perjanjian internasional.Masyarakat internasional kemudian melihat kebutuhan untuk membuat kodifikasi hukum internasional tentang perjanjian internasional. Upaya kodifikasi tersebut menghasilkan tiga insturumen hukum perjanjian internasional yang penting, yaitu :
·         Konvensi Wina 1969, tentang hukum perjanjian internasional umum.
·         Konvensi Wina 1978, tentang suksesi negara yang menghormati perjanjian internasional.
·         Konvensi Wina 1986, tentang hukum perjanjian internasional antara negara dengan organisasi internasional atau organisasi internasional satu sama lain.
Diantara ketiga kodifikasi hukum internasional tersebut, Konvensi Wina 1969 merupakan instrumen yang paling terpenting karena mengatur prinsip-prinsip umum dalam hukum perjanjian internasional

Definisi dan Tipologi Perjanjian Internasional
Menurut Rossene, untuk memahami Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional dengan baik, maka harus disertakan juga dengan membaca komentar dari International Law Commission (ILC) karena sebelum disahkan menjadi sebuah konvensi, ILC telah melakukan pembahasan yang cukup panjang mengenai substansi konvensi.Konvensi Wina 1969 yang baru mulai berlaku pada 27 februari 1980 terdiri dari Pembukaan, delapan bab, 85 pasal serta tujuh pasal tambahan (annexs). Konvensi ini merupakan instrumen yang memiliki tujuan untuk memformulasikan bagaimana membentuk perjanjian internasional bukan pada kewajiban yang timbul dari instrumen tersebut.
Definisi perjanjian internasional diatur dalam pasal 2 ayat 1 butir a, yaitu:
treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation
Perjanjian internasional diartikan sebagai kesepakatan antarnegara dalam bentuk tertulis yang diatur berdasarkan hukum internasional baik berbentuk instrumen tunggal maupun lebih dan memiliki tujuan tertentu.Definisi itu secara rinci memberikan unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh setiap negara untuk membuat perjanjian internasional.Tipologi perjanjian internasional dapat dilakukan dengan dua klasifikasi, yaitu pertama berdasarkan bentuk perjanjian.Kedua, berdasarkan isi perjanjian.Bentuk perjanjian dapat dibedakan antara perjanjian bilateral dan multilateral.Sedangkan yang multilateral dibagi menjadi dua, yaitu perjanjian regional dan universal.Kedua bentuk perjanjian tersebut terpenuhi menjadi perjanjian internasional karena memenuhi ketentuan dalam pasal 1 konvensi Wina 1969.Jika dilihat isi perjanjian maka dapat dibedakan menjadi dua yaitu treaty contract (traite-contract) dan law making treaty (traite-loi). Yang pertama merupakan tipe perjanjian yang hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja sedangkan yang kedua adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.Pembagian ini merupakan sumbangan pemikiran seorang sarjana dari Jerman yaitu Triepel yang kemudian diikuti oleh banyak sarjana hukum.Mochtar Kusumaatmadja meskipun memahami alasan adanya pembedaan berdasarkan substansi tersebut, namun ia tidak sepakat dengan pendapat beberapa sarjana di atas. Menurut beliau, istilah yang digunakan kurang tepat. Sebab apabila ditinjau dari secara yuridis menurut bentuknya setiap perjanjian baik yang dinamakan law making treaty maupun treaty contract adalah suatu kontrak, yaitu suatu perjanjian atau persetujuan antara para pihak yang mengadakannya dan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban bagi para pesertanya. Sedangkan apabila dilihat dari segi fungsinya sebagai sumber hukum dalam arti formal, setiap perjanjian apapun bentuknya akan menimbulkan hukum.Beliau kemudian menambahkan bahwa tidak hanya law making treaty saja yang menimbulkan kaidah hukum bagi semua anggota masyarakat internasional dan tidak hanya bagi para peserta perjanjian, treaty contract pun bisa menimbulkan kaidah hukum bagi masyarakat internasional yaitu melalui tahapan hukum kebiasaan internasional. Meskipun tahapan suatu kaidah untuk menjadi kebiasaan hukum internasional cukup rumit, beliau tidak mempersoalkannya.Atas asumsi tersebut, beliau kemudian menyatakan bahwa pembedaan tersebut sia-sia.Pembedaan tersebut bagi Mochtar dapat digunakan sebagai penambah pengertian mengenai fungsi perjanjian.Tipologi perjanjian internasional berdasarkan materi perjanjian tersebut sebenarnya diadopsi oleh ketentuan Konvensi Wina 1969. Pasal 31 ayat 1 serta Pasal 38konvensi dapat dianggap sebagai pengadopsian law making treaty, sedangkan Pasal 34 merupakan ketentuan yang secara tegas megadopsi jenis treaty contract yang mengatur bahwa suatu perjanjian hanya mengikat para pihak saja.Ada pendeketan menarik yang diajukan oleh Fitzmaurice tentang klasifikasi perjanjian internasional yakni berdasarkan tangung jawab yang dipikul oleh sebuah perjanjian internasional.Pendapat tersbut beliau sampaikan dalam ILC dalam rangka pembahasan rancangan konvensi Wina 1969.Fitzmaurice membagi perjanjian menjadi perjanjian multilateral dan bilateral, Perjanjian multilateral kemudian ia bedakan menjadi tiga berdasarkan tangung jawab yang dipikul para peserta perjanjian, yakni:
·         Perjanjian yang memiliki tangung jawab timbal-balik (reciprocal)
·         Perjanjian yang memiliki tangung jawab integral (intergral)
·         Perjanjian yang memiliki tangung jawab saling ketergantungsn (interdependent)
Maksud pembedaan ini menurut Fitzmaurice adalah untuk melihat apakah sebuah perjanjian internasional memiliki beban tangung jawab timbal-balik atau tangung jawab bersama diantara peserta perjanjian?konsekuensi dari pembedaan ini adalah cukup luas, salah satunya berkaitan dengan hak dan tangung jawab dari negara ketiga.Perjanjian multilateral yang memiliki tanggunjawab timbal balik, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang hubungan diplomatik dan konsuler, hanya memiliki tangung jawab diantara para pesertanya saja.Perjanjian ini pun hanya bersifat bilateral yaitu kewajiban yang harus dilakukan hanya mengikat dua negara saja yang melakukan hubungan diplomatik dan konsuler, meskipun perjanjian tersebut berbentuk perjanjian multilateral.Perjanjian multilateral yang memiliki tangung jawab integral, seperti Konvensi Genosida 1948, memiliki tangung jawab yang sama diantara para pesertanya berdasarkan objek dan tujuan perjanjian. Bahkan, perjanjian yang ia kategorikan seperti ini dapat mengikat pihak yang tidak ikut serta dalam perjanjian karena dianggap memiliki kewajiban ergaomnes.Perjanjian multilateral yang memiliki tangung jawab interdependent, seperti konvensi tentang pelucutan senjata, memiliki tangung jawab yang hampir sama dengan perjanjian integral. Perbedaanya adalah tangung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap peserta menuntut prestasi yang sama oleh peserta yang lain. Hubungannya dengan negara ketiga adalah perjanjian jenis ini hanya mengikat mereka jika mereka sanggup untuk melaksanakan tangung jawab yang sama seperti peserta perjanjian yang lain.Reuter memiliki pembagian yang lain. Ia membagi perjanjian internasional menjadi dua berdasarkan materi pasal di dalam perjanjian, yaitu:
Materi perjanjian yang mengatur tentang mekanisme operasional perjanjian.
seperti; penutupan perjanjian, kesepakatan mengenai prinsip-prinsip yang berlaku bagi peserta, tahapan perjanjian seperti kesimpulan, instrumen, penyimpanan naskah, tanggal berlaku, pendaftaran, amandemen, jangka waktu perjanjian, perubahan.
Materi perjanjian yang mengatur tentang hal-hal substantif.
Yaitu berkaitan dengan diluar materi yang diatur dalam materi operasional.

Contoh Kasus Hukum dan Non Hukum
1. Wimbledon Case
Kasus ini merupakan menganai status hukum dari terusan Kiel.Terusan ini masuk melewati Jerman untuk menuju Laut Baltik dan Laut Utara.Status hukum melintasi terusan Kiel telah dinyatakan dalam Perjanjian Versailes 1919, Pasal 380-386, di mana Jerman bukanlah peserta perjanjian itu. Pasal 380 menyatakan :
“The Kiel Canal and approaches shall be maintained free and open to vessels of commerce and of war of all nations at peace with Germany and on terms of entire equality.”
Kasus bermula ketika Kapal Dagang Inggris ( Wimbledon) yang disewa oleh Perancis untuk mengangkut amunisi ke Polandia dilarang masuk ke terusan Kiel oleh pemerintah Jerman, dengan alasan jika ia memberikan izin kapal tersebut melintas maka akan merusak status Jerman sebagai negara netral dalam perang antara Polandia dan Rusia. Polandia, Inggris dan Perancis membawa Jerman ke PCIJ karena dianggap telah melakukan tindakan yang salah.PCIJ kemudian memutuskan bahwa tindakan Jerman tidak tepat melarang Kapal Wimbledon untuk melintas. Meskipun Jerman tidak ikut dalam Perjanjian Versailes, tetapi ia memiliki kewajiban berdasarkan kebiasaan internasional bahwa terusan Kiel merupakan perairan internasional sehingga semua kapal dapat melintasi terusan tersebut. Perjanjian netralitas antara Jerman dan Rusia merupakan suatu prinsip dalam hukum internasional.Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan Jerman untuk melarang setiap kapal melewati terusan tersebut yang telah diberikan perjanjian Versailes.



2. UNCLOS 1982
Konvensi Hukum Laut 1982 khususnya mengenai ketentuan hak lintas transit tidak mengatur secara tegas mengenai hak negara ketiga. Meskipun demikian, pada Pasal 38(1) ditemukan ungkapan, “...all ships and aircraft enjoy the right od transit passage…” Pernyataan atau makna “all ships and aircraft” berarti bahwa semua kapal laut dan pesawat udara baik negara peserta maupun negara ketiga.Pidato Duta Besar Peru, Arias Schreiber menyatakan bahwa, “no state can claim that new rules and rights established under the convention apply to that state if it’s not a party to the convention”. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa hak tersebut timbul hanya karena perjanjian.Padahal hak lintas merupakan sebuah kebiasaan bagi masyarakat internasional meskipun dengan syarat-syarat tertentu.Pernyataan yang dibacakan oleh Arias, bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional.Pendekatan yang digunakan oleh Arias adalah pendekatan “Package Deal” yang dibuat oleh negara berkembang yang membentuk kelompok 77. Alasan yang digunakan adalah untuk melindungi kepentingan dari negara pantai, dimana banyak dari negara berkembang yang memilik wilayah pantai, termasuk IndonesiaPada akhirnya, hak negara ketiga untuk melintas dapat diberikan dengan sangat terbatas apabila negara peserta perjanjian memberikan kesepakatannya untuk memberikan hak tersebut kepada negara ketiga tersebut.

A. Kesepakatan Negara-Negara (pengertian dan macamnya)
Adalah suatu kelaziman bila negara-negara berdaulat menghendaki suatupersoalan diselesaikan melalui perangkat norma yang disusun atas dasarkesepakatan bersama dengan tujuan dan akibat-akibat hukum tertentu, maka secara formal lahir dalam bentuk perjanjian internasional. Kepustakaan hokum memandu pembacanya untuk memahami pengertian perjanjian internasionalsebagai berikut: "... perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakatbangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hokumtertentu...". Dalam konteks seperti yang dimaksud di atas, perjanjianinternasional dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: "law making treaties"dan "treaty contracts"."Law making treaties", adalah perjanjian internasional yang mengandungkaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggotamasyarakat bangsa-bangsa; sehingga dengan demikian dikategorikan sebagaiperjanjian-perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsunghukum internasional. Sedangkan perjanjian internasional yang digolongkansebagai "treaty contracts" mengandung ketentuan-ketentuan yang mengaturhubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang
mengadakannya saja, sehingga hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian.Oleh sebab itu perjanjian-perjanjian internasional yang tergolong treaty contractstidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional.Kecenderungan semakin pentingnya perjanjian internasional dalammengatur berbagai persoalan, ternyata tidak hanya berlangsung dalam bidanghukum publik internasional, melainkan juga berlangsung dalam bidang hokum perdata internasional (HPI). Ini ditunjukan umpamanya oleh upaya yangdilakukan sejumlah negara sejak akhir abad ke 19 melalui penyelenggaraanbeberapa konperensi dalam bidang HPI yang diselenggarakan di Den Haag, yangantara lain bertujuan untuk mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah HPI.Seperti diketahui, setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki system HPI-nya sendiri-sendiri, sehingga norma HPI setiap negara itu tidak sama. Untukmengatasi kesulitan yang timbul dalam hal terjadi persoalan yang melibatkan duanegara atau lebih, negara-negara mengadakan upaya kerjasama internasionaldengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan terciptanyaunifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata.Akan tetapi upaya yang dilakukan itu bukan bermaksud untuk melakukanpenyeragaman seluruh sistem hukum intern dari negara-negara pesertakonperensi, melainkan hanya berusaha melakukan penyeragaman ataskaidah-kaidah HPI. Dengan demikian diharapkan untuk masalah-masalah hokum perdata tertentu akan dapat dicapai kesatuan dalam penyelesaian persoalanoleh badan-badan peradilan masing-masing negara peserta.

B. Model Pranata Hukum yang Perlu Diadaptasikan
Suasana perubahan ke arah kehidupan masyarakat bangsa-bangsa yangsemakin menyatu dengan bermacam implikasinya seperti diuraikan di atas, tentusaja mempengaruhi model pranata hukum yang harus dipersiapkan. Jikapenyiapan pranata hukum yang dilakukan negara nasional seperti Indonesiasemata-mata menggunakan model kodifikasi sebagaimana berlangsung selama ini,dikhawatirkan model semacam itu akan sulit mengadaptasikan diri denganberbagai proses perubahan yang berlangsung sangat cepat.Proses-proses ekonomi yang semakin global disertai berbagai bentukaktivitas transnasionalnya akan terus berlangsung dan tidak mungkin dibendung.Disadari maupun tidak, aktivitas transnasional akan mempengaruhi arah danperkembangan hukum nasional bangsa-bangsa. Pengaruh itu antara lain munculdalam wujudnya: "(i) kenyataan bahwa bidang hukum transnasional semakinmengalami proses nasionalisasi, (ii) sebaliknya arena transnansional bagipraktik-praktik hukum semakin terbuka luas, dan (iii) semakin terasa betapakekuatan-kekuatan dan logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi, negara,dan tatanan internasional, telah berdampak pada bidang hukum. Berkaitan denganhal ini, Satjipto Rahardjo, menunjuk Max Weber “sebagai perintis yang melihathubungan erat antara munculnya hukum modern dengan kapitalisme yang berartibahwa Weber melihat kapitalisme itu sebagai sebab terjadinya perubahan dalamtipe hukum dari tradisional menjadi modern”.Fenomena baru dimana kapitalisme telah dianggap sebagai penyebabberubahnya tipe hukum, tampak pula di Indonesia, antara lain pada bidang hokum yang mengalami proses nasionalisasi terhadap kaidah-kaidah hokum internasional. Proses itu berlangsung antara lain berupa akseptasi atas berbagaikumpulan norma yang diwujudkan melalui kesepakatan negara-negara, baik yangbersifat bilateral maupun multilateral. Di dalam hukum perjanjian internasionalakseptasi semacam itu dikenal dengan istilah pengesahan atau ratifikasi(ratification). Viena Convention on the law of Treaties 1969 memberi arti padaratifikasi sebagai berikut: "Ratifications means in each case the international actso named whereby a state establishes on the international plans its consent tobe bound by a treaty",[Art 2 (1) b].Ratifikasi di sini merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas olehpemberian persetujuannya untuk diikat dengan suatu perjanjian internasional.Oleh karena itu, nasionalisasi norma-norma hukum internasional dalam suatunegara pada dasarnya merupakan suatu proses masuk dan diterimanya normatransnasional ke dalam pranata hukum nasional suatu negara. Selanjutnyanorma-norma tersebut menjadi bagian dari hukum positip negara tersebut. BagiIndonesia, memasuki abad dimana batas negara nasional semakin imajiner,proses penyiapan norma hukum melalui model ratifikasi terhadap kumpulannorma transnasional di atas, menjadi conditio sine qua non. Hal itu mengingatIndonesia telah dengan berani dan tegas mendeklarasikan diri untuk bersamasamanegara lain memasuki arena kehidupan global pada dasawarsa mendatang.Pada sisi lain, apa yang di atas disebut sebagai arena transnasional bagipraktik hukum juga telah tercipta. Sebagai contoh, mekanisme penyelesaiansengketa niaga yang melibatkan pihak-pihak multinasional, hampir dapatdipastikan sedikit banyak telah menggeserkan peran dan kompetensi pengadilannegeri.Ada gejala ke arah pengesampingan cara-cara konvensional untukmenyelesaikan konflik melalui institusi hukum negara yang bernama pengadilannegeri.Terlebih lagi jika sengketa niaga itu melibatkan pihak-pihak multinasional.Para pelaku niaga multinasional yang bermitra dengan pelaku niaga Indonesia,sejak semula telah berasumsi bahwa menyelesaikan konflik lewat institusihukum negara acapkali lamban dan sulit memperoleh kepastian dan keadilan.Asumsi yang “meminorkan” kinerja pengadilan negeri di atas tentu saja masihperlu diuktikan lebih lanjut melalui penelitian yang akurat dan mendalam.Akantetapi dari fenomena yang berkembang telah memunculkan sebuah lembagaalternatif bagi penyelesaian sengketa yang dianggap dapat lebih mengakomodasiharapan penggunanya dalam bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR).Meski langkah yang diambil Indonesia mungkin agak sedikit terlambat,namun menghadapi transformasi global semacam ini, akhirnya pemerintahmengundangkan juga Undang-Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999.Apa pun kesannya, langkah itutentu saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab tuntutan akselerasidan dinamika masyarakat yang semakin kompleks. Tidak dapat dinafikan pula,bahwa munculnya Undang-undang tersebut boleh jadi merupakan dampak darikekuatan dan logika ekonomi pada era kapitalisme yang sangat berpengaruhterhadap hukum.Logika ekonomi yang mengisyaratkan bahwa "kecepatan danketepatan memanfaatkan peluang berniaga berbanding lurus dengan keuntunganmateri yang akan diperoleh", telah amat berimplikasi. Buktinya, pelaku niagayang memiliki kasus sengketa dengan mitra niaganya akan senantiasa berupayauntuk menyelesaikannya lewat jalur penyelesaian yang cepat. Oleh karena itulembaga konvensional yang bernama pengadilan negeri dianggap sangat kurangakomodatif terhadap tuntutan mereka.Meski kompetensi pengadilan negeri untuk menyelesaikan berbagaisengketa niaga semakin cenderung digeserkan oleh forum lain yang dianggaplebih memberikan percepatan, namun dalam beberapa hal peran yang dimainkanpengadilan negeri masih cukup signifikan serta hampir tidak mudah untukdigeserkan oleh forum lain. Umpamanya saja, dalam hal putusan arbitrase tidakdilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya, maka eksekusi putusansemacam itu akan kembali menjadi kompetensi pengadilan negeri. Demikian pulaputusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase di luar Indonesia, jika hendakdimintakan pengakuan dan pelaksanaannya di wilayah hukum RepublikIndonesia, maka putusan semacam itu harus terlebih dahulu memperolehexequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Disadari maupun tidak, kondisi objektif yang dialami Indonesia dari harike hari merupakan bukti bahwa sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsaIndonesia semakin terkooptasi ke dalam kancah dan percaturan ekonomi global.Hingga muncul fenomena institusi hukum negaranya pun sungguh sangat kenaimplikasinya dalam konteks percaturan internasional. Pertanyaan penting yangmuncul kemudian adalah, upaya-upaya progresif apakah yang telah dan akandilakukan Indonesia menyongsong situasi global yang semakin kompleksmendatang?Satu hal saja misalnya, menghadapi kawasan Asia Pasifik sebagaiwilayah perdagangan bebas mendatang, mau tidak mau Indonesia harusmeninjau kembali perangkat norma hukum yang telah tersedia dan segeramembenahi model pembentukan pranata hukum secara sistematis dan berencana.Hal itu menjadi mutlak perlu untuk dilakukan, mengingat di masa-masamendatang timbulnya kasus-kasus sengketa niaga sebagai akibat berlangsungnyatransaksi niaga multinasional semakin tidak mungkin dihindarkan.Oleh karenaitu khusus berkaitan dengan Hukum Acara Perdata untuk pengadilan negeri sangatmendesak untuk dilakukan pembaruan. Proses pembaruan dengan jalanmenggantikan het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) oleh Undang-undangbaru masih belum cukup. Dalam dataran yang sama, mengadakan kesepakatanbilateral maupun meratifikasi berbagai perjanjian internasional multilateralmenyangkut hukum acara perdata untuk badan peradilan, adalah tindakan yangamat tepat.Mengapa hal itu menjadi semakin penting?Oleh karena kasus-kasusyang muncul maupun putusan-putusan yang dihasilkan tidak lagi hanya bernuansalokal nasional. Subjek dan objek sengketa niaga yang akan terjadi akanmelibatkan manusia (subjek hukum lainnya), barang, dan jasa yang berasal dariberbagai negara dengan latar belakang sistem hukum yang berlainan pula.Bahkan forum pemutusnya pun boleh jadi tidak hanya forum-forum non-litigasiasing saja, melainkan mungkin juga berasal dari forum litigasi asing (baca: hakimpengadilan nasional negara lain) yang putusannya akan hadir di Indonesia danmeminta untuk dieksekusi karena objek sengketanya memang berada di wilayahhukum Republik Indonesia.Atas dasar pertimbangan pemikiran semacam itu, maka meskipun modelperjanjian internasional dalam bidang hukum acara perdata pada badanperadilan, yang dikemukakan berikut ini sudah terbilang kuno, namun sebagaimodel pembentukan perangkat norma, kiranya masih relevan dijadikan rujukan.Beberapa contoh yang dikemukakan ini berasal dari konvensi yang telah berhasildirumuskan di dalam beberapa event Konperensi Internasional di Den Haag.Mengapa model pembentukan perangkat norma semacam itu penulis anggapmasih layak dirujuk? Sebab, masalahnya bukan terletak pada lama atau barunyaissue yang dimuat, melainkan pada format yang dapat dirujuk sebagai modelformat pembentukannya. Oleh karena itu format yang boleh dibilang universalsemacam itu dapat juga digunakan di berbagai kawasan negara-negara, selamamemiliki tujuan yang sama yakni menciptakan harmonisasi sistem hukum Negaranegara. Harmonisasi antar sistem hukum negara-negara berdaulat tentu sajasemakin urgen untuk dilakukan dalam konteks masyarakat global.Dengandemikian, masih cukup relevan kiranya jika beberapa contoh konvensi di bawahini disimak sebagai model format yang layak dipertimbangkan untuk diadopsipenyusunannya bagi kawasan ASEAN contohnya.
1. Convention relating to Civil Procedure, 1954. (Konvensi tentang hokum acara perdata pada badan peradilan, tahun 1954).
2. Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documentsin Civil or Commercial Matters, 1965. (Konvensi tentang penyampaiandokumen resmi badan peradilan kepada para pihak yang berada di luarnegeri di dalam perkara perdata dan dagang, tahun 1965).Konvensi ini pada dasarnya merupakan hasil revisi dari Bab pertamaKonvensi 1954, yang dilakukan pada Konperensi Den Haag ke 10 tahun1964.
3. The Hague Convention on the Recognition and Enforcement of ForeignJudgments in Civil and Commercial Matters, 1971. (Konvensi Den Haagtentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Hakim Asing di dalam perkaraPerdata dan Dagang, tahun 1971).
Model konvensi-konvensi di atas, selain dimaksudkan untukmenyeragamkan kaidah-kaidah hukum perdata internasional diantara negaranegarapeserta, juga dalam rangka melancarkan hubungan lalu lintasinternasional khususnya di dalam menyelesaikan kasus-kasus bidang hokum perdata dan hukum perniagaan. Hal itu dipandang penting mengingat dalammasyarakat internasional tidak terdapat suatu penguasa yang berwenangmenetapkan serta memaksakan ketentuan hukum, seperti halnya dalam suasananasional.


NASIONALISASI SEBAGAI KENISCAYAAN
(Sebuah Telaah Kritis-Analitis)
Proses nasionalisasi terhadap norma hukum internasional di Indonesiapada dasarnya telah berlangsung sejak lama, setidaknya sejak Indonesiamemperoleh kedaulatannya. Upaya tersebut dilakukan tentu saja dalam rangkaberadaptasi dengan norma-norma yang ada dan berlaku dalam komunitasmasyarakat bangsa-bangsa.Meski secara keseluruhan tidak bermaksud penulissebutkan dan rinci satu demi satu, namun beberapa diantaranya yang tampaksangat menonjol pada bidang-bidang tertentu dapat kiranya dicontohkan.Semasa Orde Baru berkuasa tentu saja upaya akseptasi norma-normahukum internasional menjadi hukum nasional dan dipositipkan oleh negara ituBanyak dilakukan. Bukan saja karena Orde Baru adalah rezim pemerintahan yangpaling lama dan dominan berkuasa dalam kurun usia kemerdekaan Indonesia,akan tetapi memang ketika awal-awal Orde Baru-lah proses pembangunanekonomi Indonesia dimulai dengan mengundang masuknya modal asing. Olehkarena itu era kapitalisme di Indonesia secara formal boleh dikatakan dimulaiketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asingdiundangkan.Menyusul tindakan pemerintah Orde Baru mengundang investor asinguntuk menstimulasi upaya pembangunan ekonomi rakyat Indonesia, mulailahsecara sistematis dan berkelanjutan proses nasionalisasi kaidah hokum internasional terjadi. Mengawali proses nasionalisasi di atas, kaidah hokum internasional yang termasuk pertama kali menjadi kaidah hukum nasional positipdi Indonesia adalah “Convention on the Settlement of Investment DisputesBetween States and Nationals of Other States”. ‘Konvensi mengenaiPenyelesaian Sengketa antara Negara dan Warga Negara Asing mengenaiPenanaman Modal’ ini diakseptasi oleh Pemerintah Indonesia melalui instrument ratifikasi berupa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968.14 Secara substansial,Undang-undang No. 5 tahun 1968 hanya berisi 5 (lima) pasal. Ini berarti secaramateriil, substansi norma yang berisi perintah, larangan, dan lain-lain yangberasal dari Konvensi internasional tersebut secara utuh diadopsi dan kemudianmenjadi bagian dari hukum positip Indonesia.Sementara itu Undang-undang No. 5 tahun 1968 secara formal maupunmateriil fungsinya semata-mata sebagai instrumen yang digunakan sebagai mediauntuk mendeklarasikan sikap Pemerintah Indonesia. Dalam konteks nasionalisasinorma-norma hukum internasional, media deklarasi itu tentu saja sangat pentingdalam menerima segala hak dan kewajiban serta konsekuensi dari keseluruhannorma-norma hukum yang termuat pada konvensi internasional tersebut, karenanorma bersangkutan kelak akan berlaku dan mengikat seluruh rakyat Indonesia.Setelah melampaui satu dasawarsa lebih usia Undang-undang tentangPenanaman Modal Asing menjadi instrumen pembentukan era kapitalisme diIndonesia, agaknya intensitas hubungan niaga antar warga negara asing denganmitranya dari Indonesia juga secara simultan berlangsung timbal balik. Intensitashubungan dagang antar mereka tentu saja tidak selamanya mulus tanpa masalah.Munculnya friksi hingga sengketa yang lebih besar diantara para pelaku niagayang memerlukan penyelesaian, agaknya sulit untuk dihindari.Akibatnya muncultuntutan baru dari mereka tatkala institusi hukum negara yang bernamapengadilan negeri kurang mampu menjawab harapan percepatan dalammenyelesaikan sengketa niaga diantara mereka.Saat itu Pemerintah Indonesiakembali dipaksa untuk menjawab tuntutan komunitas pelaku niaga.Manakalasengketa yang muncul diantara komunitas pelaku niaga itu tidak diselesaikanlewat institusi pengadilan negeri di Indonesia, artinya dominasi negara dalammenyelesaikan sengketa telah digeserkan oleh forum yang dipilih para pihak.Forum itu bisa institusional, bisa juga ad hoc.Demikian pula halnya dengankewarganegaraan forum tersebut, bisa Indonesia atau mungkin jugaberkewarganegaraan asing.Tatkala permintaan pengakuan dan eksekusi atas putusan arbitrase asingdatang di Indonesia,15 timbul persoalan baru mengenai instrumen dan normamanakah yang menjadi rujukan untuk keperluan pengakuan dan eksekusi putusansemacam itu. Saat itu Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan PengadilanNegeri Jakarta Pusat.Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 198117 tentangPengesahan “Convention on the Recognition and Enforcement of ForeignArbitral Awards” dianggap oleh Mahkamah Agung masih memerlukan peraturanpelaksanaan.Akibatnya putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri tidakdapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia.Cukup lama dan berlarut-larut permasalahan seputar pengakuan daneksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia. Penyebabnya antara lain sikap danpendirian Mahkamah Agung sendiri yang selalu diliputi keraguan. Bahkan setelahPeraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 199019 dikeluarkan, hampir tidak adakasus permohonan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia yang dikabulkan.Mahkamah Agung selalu bersandar pada persoalan “ketertiban umum”. Hinggatak satu pun putusan arbitrase asing yang dianggap lolos oleh Mahkamah Agungdan dianggap tidak bertentangan dengan ketertiban umum Indonesia.Terlepas dari permasalahan pengakuan dan eksekusi dengan berbagai likulikunya,yang relevan dan menarik untuk dikaji dalam kaitan ini adalah masalahkeberlakuan Convensi yang disahkan dengan instrumen Keputusan PresidenNomor 34 tahun 1981 di atas. Bila disimak secara saksama, pengesahan Convensiyang disebut terakhir ini pun merupakan salah satu wujud proses nasionalisasiterhadap norma hukum internasional di Indonesia. Betapa tidak, tanpa harusmelalui perdebatan di parlemen, substansi norma yang berasal dari Convensi diatas diterima seutuhnya hingga menjadi bagian dari norma hukum positipIndonesia.Bila dikaji berdasarkan penggolongan norma-norma hukum secarakonvensional, tampaknya kedua konvensi yang menjadi bagian dari hokum nasional Indonesia melalui proses ratifikasi di atas berada pada ranah hokum formal publik. Yaitu sekumpulan kaidah hukum yang berisi aturan tentangbagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil dengan perantaraanlembaga (baca: forum; bisa litigasi maupun non-litigasi) dan proses (baca:beracara). Sementara itu dari tataran kaidah-kaidah hukum internasional materiiljuga terjadi proses akseptasi. Beberapa konvensi dimaksud termasuk instrument nasional ratifikasinya dapat diketahui antara lain berikut ini:
· Pengesahan Konvensi Telekomunikasi Internasional (InternationalTelecommunication Convention) Nairobi, 1982, dengan instrument nasional Undang-undang Nomor 11 tahun 1985;
· Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang HukumLaut (United Nations Convention the Law of the Sea) New York 1982,dengan instrumen nasional Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985;
· Pengesahan Convention Establishing the Multilateral InvestmentGuarantee Agency, Washington DC, 1986, dengan instrumen ratifikasiKeputusan Presiden Nomor 31 tahun 1986.Dikaji berdasarkan pihak-pihak yang mengadakannya, konvensi di atasboleh digolongkan sebagai perjanjian multilateral, yakni perjanjian internasionalyang dilakukan antara banyak pihak.Sedangkan berdasarkan substansinya,terkategorikan law making treaties. Demikian kategorinya karena perjanjianinternasional itu melahirkan norma hukum internasional baru, sehinggameletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakatinternasional dalam arti keseluruhan.21 Sementara itu, apabila diamati berdasarkannegara pihak ketiga,yakni negara-negara yang tidak turut serta padaperundingan-perundingan ketika melahirkan perjanjian tersebut, tampaknyajuga termasuk law making treaties. Hal itu disebabkan konvensi semacam ituselalu terbuka bagi pihak lain yang semula tidak turut serta dalam perjanjiankarena yang diatur oleh perjanjian itu merupakan masalah-masalah umum yangbersangkut paut dengan semua anggota masyarakat internasional.Boleh jadi sangat erat kaitannya antara pembentukan era kapitalismedengan proses nasionalisasi atas kaidah hukum internasional, dan situasi globalyang berimplikasi terhadap tipe hukum nasional.Dalam konteks ini relevan kiranya bila ungkapan dua tokoh berikut inidisinergikan dalam satu alur fikir.Wallerstein berujar, bahwa “globalisasi adalahproses pembentukan sistem kapitalis dunia”. Pada kesempatan lain, Webermendeskripsikan hasil surveynya bahwa “kapitalisme itu sebagai sebab terjadinyaperubahan tipe hukum dari tradisional menjadi modern”. Walhasil, situasi globalyang memunculkan sistem kapitalis dunia, telah begitu berimplikasi terhadap tipehukum, dari tradisional menjadi modern, dari hukum lokal yang tidak tertulis
menjadi hukum tertulis, dan dari hukum nasional menjadi hukum transnasional.Agaknya bagi negara yang telah membiarkan dirinya terkooptasi oleh situasiglobal, sangat boleh jadi produk-produk hukumnya tidak cukup lagi jika sematamatamengandalkan pranata hukum produk lokal-nasional dalam wujud kodifikasiatas sekalian bahan hukum yang dikerjakan oleh parlemen dan pemerintah,melainkan menjadi conditio sine qua non untuk mengakseptasi produk hokum transnasional.

Negara Ketiga Dalam Perjanjian Internasional
Berdasarkan Konvensi Wina 1969
Kerjasama antarnegara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan.Bentuk kehidupan yang kompleks sangat rentan untuk tejadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada norma atau aturan. Aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara. Perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian.Perjanjian internasional merupakan sesuatu yang penting dalam hubungan internasional sehingga merupakan salah satu sumber hukum formil hukum internasional.kedudukan tersebut dikarenakan praktek-praktek negara saat ini telah mengatur beragam persoalan dan hubungan antara mereka dengan mempergunakan perjanjian-perjanjian internasional, sehingga menjadi jelaslah pentingnya perjanjian-perjanjian internasional.
Masyarakat internasional kemudian melihat kebutuhan untuk membuat kodifikasi hukum internasional tentang perjanjian internasional. Upaya kodifikasi tersebut menghasilkan tiga insturumen hukum perjanjian internasional yang penting, yaitu :
Konvensi Wina 1969, tentang hukum perjanjian internasional umum.
Konvensi Wina 1978, tentang suksesi negara yang menghormati perjanjian internasional.
Konvensi Wina 1986, tentang hukum perjanjian internasional antara negara dengan organisasi internasional atau organisasi internasional satu sama lain.
Diantara ketiga kodifikasi hukum internasional tersebut, Konvensi Wina 1969 merupakan instrumen yang paling terpenting karena mengatur prinsip-prinsip umum dalam hukum perjanjian internasional. Salah satu pengaturan terpenting dalam Konvensi Wina 1969 adalah mengenai negara ketiga dalam hubungannya dengan sebuah perjanjian internasional. Perihal ketentuan tersebut, konvensi mengatur secara khusus dalam Bab III, Bagian Keempat dengan judul Treaties and Third States yang berisi lima pasal (Pasal 34-38).Alasan pengaturan khusus mengenai negara ketiga dalam perjanjian didasari dari asas hukum yang dikenal dari hukum Romawi yaitu :Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt. Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga.Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.Akan tetapi dalam prakteknya ternyata terdapat beberapa instrumen perjanjian internasional yang dapat memberikan hak dan kewajiban kepada pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian.Piagam PBB pasal 2 ayat 6 adalah salah satu contohnya.Pasal tersebut menentukan bahwa negara yang bukan merupakan negara anggota PBB harus bertindak sesuai dengan ketentuan dalam piagam untuk menjaga perdamian dan keamana internasional.Pasal tersebut telah dipraktekan dalam kasus Pangeran Bernadotee (1949) yang terbunuh di Israel ketika menjadi perwakilan PBB untuk mengatasi konflik Israel-Palestina.Israel yang pada saat itu belum menjadi anggota PBB (berdasarkan pendapat Mahkamah Internasional/ICJ) dimintai pertangung jawaban untuk memberikan reparasi atas peristiwa tersebut.Perbedaan antara asas hukum dan praktek masyarakat internasional tersebut menjadi suatu hal yang harus dijabarkan secara lanjut mengapa hal itu bisa terjadi. Menurut Starke, terdapat dua cara yang dapat mengakibatkan negara ketiga menjadi terikat pada suatu perjanjian internasional; pertama, terdapat asas yang mengecualikan prinsip “pacta tertiis” sehingga negara ketiga dapat menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian. Kedua, adanya hubungan antara perjanjian internasional dengan hukum kebiasaan internasional yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga
B. Negara Ketiga dalam Konvensi Wina 1969
Ketentuan yang mengatur dan erat kaitanya dengan definisi negara ketiga terdapat dalam pasal 2 ayat 1 konvensi, yaitu : 
“third State means a State not a party to the treaty” (butir h) 
“party means a State which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force” (butir g)
contracting State means a State which has consented to be bound by the treaty, whether or not the treaty has entered into force” (butir f)
negotiating State means a State which took part in the drawing up and adoption of the text of the treaty” (butir e)
Jika memperhatikan bunyi pasal tersebut terlihat jelas pengertian dari negara ketiga, yaitu negara yang bukan pihak peserta perjanjian.Lalu siapakah yang dimaksud dengan pihak peserta perjanjian?yaitu negara yang telah mengikatkan diri terhadap perjanjian hingga saat perjanjian tersebut berlaku. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah negara yang hanya ikut bernegosiasi dan negara yang hanya melakukan kontrak sebelum perjanjina berlaku, dapat tercakup dalam kategori negara ketiga, karena batasan yang digunakan oleh butir h adalah pihak peserta; yaitu pihak yang mengikatkan diri hingga perjanjian berlaku.Meskipun negara yang melakukan kontrak (contracting state) dan negara yang ikut negosiasi (negotiating state) merupakan negara ketiga, akan tetapi mereka tetap menikmati beberapa hak dari peserta perjanjian maupun dari perjanjian itu sendiri. Terdapat beberapa ketentuan dalam konvensi Wina 1969 yang mengatur bagi contracting state yaitu, Pasal 40 ayat 2 :
“Any proposal to amend a multilateral treaty as between all the parties must be notified to all the contracting States, each one of which shall have the right to take part in:
(a) the decision as to the action to be taken in regard to such proposal;
(b) the negotiation and conclusion of any agreement for the amendment of the treaty.”
Pasal 18 ayat b memberikan tanggung jawab bagi contracting state untuk tidak melanggar tujuan dan obyek dari perjanjian hingga perjanjian tersebut menjadi mengikat. Sedangkan bagi negara negotiating state, terdapat hak dan tangung jawab yang berbeda dengan contracting state, yaituapabila ia tidak menjadi peserta perjanjian maka ia terlepas dari tangung jawab yang harusnya ia terima berdasarkan konvensi. Definisi negara ketiga berdasarkan konvensi dapat kita simpulkan sebagai berikut.Pertama, negara yang tidak menjadi peserta perjanjian.Kedua, negara yang hendak menjadi peserta (contracting state atau negotiating state).
C. Negara Ketiga dan Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina, 1969
Pengaturan tentang negara ketiga dalam konvensi diatur secara khusus dalam Bab III, Bagian keempat, Pasal 34-38. Pasal 34 dengan tegas menganut asas Pacta Tertiss Nec Nocent Nec Prosunt, yang menandakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak pada perjanjian itu saja dan tidak mengikat bagi pihak ketiga. Bagi pihak ketiga, perjanjian yang telah dibuat oleh pihak lain, baik negara maupun organisasi internasional, baginya hanya merupakan kepentingan pihak lain atau res inter allios acta.Bunyi klausul dalam Pasal 34, jika dikaitkan dengan adanya hak dan kewajiban yang ditanggung oleh negara ketiga, bukanlah sesuatu yang absolut.Pasal itu hanya menerangkan bahwa perjanjian tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga tanpa ada kesepakatan. Dengan demikian, hak dan kewajiban negara ketiga atas suatu perjanjian dapat timbul (laten atau potensi), dengan persyaratan tertentu, yaitu kesepakatan dari negara ketiga. Reuter mengemukakan lain, baginya adanya hak dan kewajiban yang timbul bagi negara ketiga merupakan persoalan prosedural dan bukan persoalan substantif. Sehingga hak dan kewajiban yang timbul bagi negara ketiga tidak memiliki efek hukum.Analisa Reuter ini bertentangan dengan konvensi, karena dalam konvensi diatur tidak hanya mengenai mekanisme proseduralnya saja melainkan juga efek hukum yang diterima oleh negara ketiga setelah timbul hak dan kewajibannya.Pasal 35-37 Konvensi Wina 1969 secara tersurat memperlihatkan bahwa asas Pacta tertiis nec nocent nec prosunt, tidak lagi menjadi sesuatu yang bersifat absolut. Pasal 35 yang membahas mengenai hal adanya kewajiban dari suatu perjanjian bagi negara ketiga misalnya. Negara ketiga dengan demikian hanya akan memiliki kewajiban bilamana telah menyatakan kesepakatnya secara tegas dalam bentuk tertulis untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang bersangkutan. Berdasarkan komentar ILC terdapat persyaratan dari negara ketiga atas suatu kewajiban, yaitu:
# Para peserta perjanjian memiliki kehendak untuk memberikan kewajiban kepada negara ketiga menurut ketentuan yang mungkin terdapat dalam perjanjian.
# Negara ketiga harus menyatakan persetujuaanya dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan persyaratan tersebut maka dibuatlah perjanjian jaminan (collateral agreement) antara sesama peserta dan antara peserta dengan negara ketiga. Jadi dasar hukum terikatnya negara ketiga atas perjanjian bukanlah berdasarkan perjanjian tersebut akan tetapi berdasarkan perjanjian jaminan. Pasal 36 menetapkan bahwa bilamana dikehendaki oleh para peserta suatu perjanjian dapat memberi hak kepada negara ketiga atau kelompok negara ; dan negara-negara tersebut dalam menjalankan hak-nya harus taat pada tata cara seperti yang ditetapkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Pasal 36 ini menganut prinsip umum kesepakatan. Kalimat dalam Pasal 36 ayat 1 yang berbunyi: “…its assent shall be presumed so long as the contrary is not indicated, unless the treaty otherwise provides.”.diartikan jika perjanjian mengatur tentang formulasi bagaimana negara ketiga atau kelompok negara mengajukan persetujuannya maka hal tersebut harus dilakukan, namun jika tidak maka bentuknya harus berdasarkan kesepakatan.
Menurut komentar ILC terdapat dua persyaratan agar negara ketiga dapat menikmati hak berdasarkan perjanjian, yaitu
Para peserta perjanjian memiliki kehendak untuk memberikan hak kepada negara ketiga menurut ketentuan yang mungkin terdapat dalam perjanjian.
Terdapat persetujuan (assent) dari negara yang medapatkan keuntungan (beneficiaries) tersebut.
Tindakan persetujuan ini melahirkan dua pendapat yang berbeda, pertama, persetujuan dianggap sebagai penerimaan penawaran negara ketiga atas tawaran negara peserta perjanjian.Kedua, hak tersebut hanyalah merupakan indikasi yang tidak bisa diklaim oleh negara ketiga.Pendapat bahwa hak tersebut merupakan suatu indikasi melahirkan dua pendapat berbeda mengenai dasar hukum mengikatnya negara ketiga atas suatu perjanjian, yaitu:
1. Perjanjian jaminan (collateral agreement)
2. Stipulation pour autroi (hak yang telah dinyatakan dalam perjanjian dan 
3. berlaku secara langsung (immediate)
Menurut De Arechaga, bahwa dalam praktek hukum internasional, negara ketiga memiliki hak menurut suatu perjanjian didasarkan atas stipulation pour autroi. Hal tersebut menurutnya karena hak negara ketiga telah dinyatakan dalam perjanjian.
“ Acceptance is not expression of consent to second agreement but its ab act appropriating of right derived from the treaty which contains stipulation in favour of third states. The third beneficiaries is not supposed to ratify, adhere or acced to the treaty but merely to appropriate or renounce the rights stipulated in its favour.”
Dalam praktek masyarakat internasional (putusan pengadilan), pendapat De Arechega tidak diakomodir. Putusan pengadilan tentang Free Zone of Upper Savoy and The District of Gex Case, 1815, antara Swiss dan Perancis memutuskan bahwa :
-  Pengaturan hak kepada negara ketiga dalam perjanjian tidak dapat dinggap ringan (lightly presumed)
- Setiap kasus perjanjian tidak dapat diberlakukan aturan yang sama karena tiap kasus memiliki unsur-unsur yang berbeda.
Terdapat keinginan dari negara peserta untuk menciptakan hak tersebut.
Harus terdapat kesepakatan dari negara ketiga.
Berdasarkan ketentuan pasal 35 dan 36, konvensi Wina bermaksud melindungi negara-negara ketiga dari kemungkinan pembebanan kewajiban yang sewenang-wenang. Selain itu, yang berkaitan dengan hak, konvensi juga bermaksud untuk melindungi peserta perjanjian dari kemungkinan bahwa negara-negara bukan peserta dapat melampaui hak yang diperolehnya dari para peserta sedemikian rupa, sehingga mengurangi wewenang para peserta sendiri atas perjanjian yang mereka bentukPasal 37 terdiri dari dua ayat yang masing-masing mengatur perubahan atas suatu kewajiban dan hak bagi negara ketiga. Ketentuan pasal tersebut setarikan nafas dengan pendapat dari O’Connell yang menyatakan bahwa :
Once obligations or rights have occurred they can only be revoked or modified with the consent of all state concerned.”
Pasal 37 ayat 1 menyatakan dengan eksplisit bahwa perubahan perjanjian yang membebani negara ketiga dengan kewajiban, mutlak memerlukan persetujuan timbal balik. Sedangkan dalam ayat 2 berbunyi agak lain, yakni pengaturan perubahan suatu hak tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan negara ketiga yang memperoleh hak tersebut kecuali perjanjian telah menentukan demikian dalam perjanjian. Berdasarkan komentar ILC, bahwa pasal tersebut dibuat dengan maksud agar negara-negara peserta suatu perjanjian tidak enggan untuk memberikan hak kepada negara ketiga hanya karena mereka khawatir bahwa negara ketiga dapat melampaui wewenangnya.Pasal 38 mengatur hak dan kewajiban bagi negara ketiga secara berbeda.Ketentuan ini menyatakan bahwa hak dan kewajiban negara ketiga lahir atas sebuah perjanjian internasional berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
“Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such.”
Pasal ini secara tersirat ingin menyatakan bahwa dalam hukum internasional ternyata tidak hanya perjanjian saja yang memainkan peranan penting, akan tetapi kebiasaan internasional juga ikut mengambil bagian untuk menciptakan aturan dan norma dalam hukum internasional.Hubungan antara perjanjian internasional dan kebiasaan internasional memiliki beberapa bentuk.Pertama, perjanjian dapat dianggap berasal dari kebiasaan yang telah ada sebelumnya.Kedua, perjanjian internasional dapat menjadikan tanda lahirnya suatu kebiasaan internasional baru melalui praktek negara.Ketiga, perjanjian multilateral dapat dianggap sebagai kristalisasi dari kebiasaan internasional yang telah dianggap umum.Sedangkan definisi kebiasaan internasional masih terdapat beragam pendapat diantara para sarjana.Jika melihat Statuta ICJ pasal 38 ayat 1, dinyatakan bahwa “international custom, as evidence of general practice accepted as law.” artinya adalah hukum kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.Berdasarkan bunyi statuta ICJ tersebut maka kebiasaan internasional dapat dijadikan sebagai sesuatu yang mengikat apabila memenuhi dua unsur, yaitu: unsur material dan unsur psikologis. Unsur material tercapai apabila adanya suatu kebiasaan atau pola tindak yang berlangsung lama dan merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula.Selain itu kebiasaan atau pola tindak itu harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur psikologis terpenuhi apabila kebiasaan internasional dirasakan memenuhi seluruh kaidah atau kewajiban hukum (opinion juris sive necessitatis) Berdasarkan keputusan ICJ dalam North Sea Continental Shelf Case, 1969, dinyatakan bahwa untuk dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, maka suatu aturan dalam perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
* Memiliki karaktek dasar menciptakan norma
* Talah diakui oleh masyarakat internasional (corpus)
* Telah memenuhi unsur opinio juris
Penjelasan yang dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana suatu negara ketiga dapat terikat oleh sebuah perjanjian internasional berdasarkan hukum kebiasaan internasional, dapat dilihat dari Prinsip-prinsip London yang menyatakan bahwa:
“…states do in pursuance of their treaty obligations is prima facie referable only to the treaty, and therefore does not count towards the formation of customary rules…But the conduct of parties to a treaty in relation to non-parties is not practice under the treaty, and therefore counts towards the formation of customary law.”
Pendekatan yang digunakan dalam pasal 38 ini merupakan pendekatan rezim objektif (objective rezime).Pendekatan ini melihat bahwa terikatnya negara ketiga atas perjanjian internasional berdasarkan unsur objektif.Objektifitas di sini dapat diartikan dengan bahwa hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian itu bersifat erga omnes, sehingga semua negara, baik peserta ataupun tidak, memiliki hak dan tangung jawab terikat dengan tujuan perjanjian.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka kesimpulan dari penulisan ini adalah:
Asas Pacta tertiss nec nocent nec procunt bukanlah asas yang absolut dalam konvensi Wina 1969. Hal ini dikarenakan konvensi sendiri menyatakan bahwa negara ketiga dapat memiliki hak dan kewajiban atas suatu perjanjian internasional.
Negara ketiga dalam pengertian konvensi Wina adalah negara bukan peserta perjanjian, negara kontrak (contracting state) dan negara yang melakukan negosiasi (negotiating state)
Terikatnya negara ketiga atas sebuah perjanjian internasional dilandaskan beberapa teori; yaitu Pertama, Perjanjian Jaminan (Collateral Agreement). Kedua, stipulation pour autroi. Ketiga; Rezim Objektif (Objective Regime)

0 komentar: