BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, Juli 10, 2012

Ratifikasi Perjanjian Internasional Di Bidang Lingkungan


Pembahasan hukum lingkungan internasional tidak dapat dipilah secara tegas dengan pembahasan hukum lingkungan nasional. Hal ini karena hal-hal yang diatur dalam hukum lingkungan internasional harus ditindaklanjuti di tingkat nasional sehingga bukti implementasinya hanya bisa dilihat di tataran nasional. Beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan telah diratifikasi pemerintah Republik Indonesia. Di antaranya:

1. Protokol Montreal
Merupakan kelanjutan konvensi Wina tentang Perubahan Iklim. Protokol Montreal ini mengatur kesepakatan antarnegara yang meratifikasi untuk mengurangi ecara bertahap penggunaan CFC sampai menjelang tahun 2000. Tujuan protokol ini adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak negatif kegiatan manusia yang merusak lapisan ozon
2. Protokol Kyoto
Protokol koto mengatur kerangka kerja tentang konvensi perubahan iklim, protokol ini dilengkapi dengan dua Annex, yaitu Annex A dan Annex B. Annex A mengenai gas-gas rumah kaca yang terdiri dari atas: CO2, CH4, N2O, PFC, dan FC6. Annex B mengenai kategori energi, industri energii, industri manufaktur. Annex ini merupakan perhitungan pembatasan atau reduksi gas-gas rumah kacayang menjadi komitmen para pihak.
3. Konvensi Basel
Lengkapnya adalah: Convention on thr Control of Transboundary Movements on Hazardous Waste and their Disposal. Konvensi ini mengatur tentang pengawasan perpindahan lalu lintas batsa limbah B3 dan pembuangannya/penyimpanannya. Konvensi ini melarang ekspor limbah beracun ke negara yang tidak mampu mengelola secara berwawasanlingkungan. Indonesia telah meratifikasi konvensi basel melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1993
4. Deklarasi Rio
Kesepakatan  tidak mengikat (nonlegally binding) yang dihasilkan dalam KTT Rio 1992 memuat Pinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Kerangka  Pembangunan Berkelanjutan. Prinsip- prinsip Deklarasi Rio meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. untuk mencapai pembangunan berkelnjutan perlindungan lingkungan harus menjadi bagian integral dari proses pembangunan dan tidak terpisah dari proses tersebut.
b. isu-isu lingkungan harus ditangani dengan partisipasi dari rakyat dalam tiap langkahnya.
c. negara harus memfasilitasi dan mendorong kesadaan masyarakat dan partisipasi mereka dengan menyediakan informasi secara luas.
5. Konvensi Keragaman Hayati
Konvensi ini mengatur perlindungan keragaman hayati. Setiap neagra mempunyai hak berdaulat  untuk memanfaatkan sumber daya hayatinya sesuai denagan kebijakan lingkungannya. Konvensi ini bertujan menagatur pemnafaaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan  dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik secara adil dan merata. Indoensia meratidikasi Undang-Undang nomor 5 tahtn 1992 tentang Pengesahan Konvensi Keragaman Hayati tanggal 1 Agustus 1994.
6. Konvensi tentang Perubahan Iklim
Konvensi tentang perubahan Iklim dihailkan melalui KTT Rio 1992. Konvensi ini bertujuan untuk mencapai kestabilan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegahkondisi yang membahayakan sistem iklim dalam jangka waktu cukup agar ekosistem dapat menyesuaikan diri denagan perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Undang-Undang  Nomor 6 tahun 1994 tentang Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim tanggal 23 Agustus 1994.
7. Agenda 21
Agenda 21 merupakan dokumen yang dihalirkan pada saat KTT Rio, bersifat sangat penting karena sifatnya yang komprehensif. Agenda ini memuat program dan strategi rinci untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di seleruh negara di dunia, agenda ini bersufat Non-legally Binding. Untuk menajga penerapan Agenda-21 UNCED membentuk Commission for Suistainable Development (CSD)
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan
1. Pembangunan Berkelanjutan
Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and Development(WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan[1]. Secara sekilas, definisi seperti ini terlihat begitu sederhana, akan tetap issu yang berkembang cepat serta mendalam nyatanya membuat ruang lingkupnya menjadi semakin kompleks.
Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik.[2]
Lebih lanjut, apabila ditarik melalui persepektif kerangka hukum internasional, Dominic McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tesebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia internasional.[3] Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma hak asasi manusia di dalam UUD 1945 memiliki substansi dan pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya.[4]
Terkait dengan issu perubahan iklim, maka perlu juga diperhatikan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Asas-asas pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED tersebut, terdiri dari: (1) keadilan antargenerasi (intergenerational equity); (2) keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); (3) prinsip pencegahan dini(precautionary principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological diversity); dan (5) internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive mechanism). Kemudian, salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21.[5]
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan dikemukakan secara rinci dalam deklarasi dan perjanjin internasional yang dihasilkan melalui melalui konferebsi PBB tentang lingkungan dn pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Dari berbagai dokumen yang dihasilkan pada konferensi itu, scara formal terdapat lima prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan, yaitu:
1.Prinsip Keadilan Antargenerasi (Intergenerational Equity Principle), prinsip ini mengndung makna bahwa setip generasi umat masnusia di dunia memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya
2. Prinsip keadilan dalam satu generasi (Intergenerational Equity Principle), prinsip keadilan dalam satu generasi merupakan prinsip yang berbicara tentang keadilan di dalam sebuah generasi umat manusia, di mana beban dari permasalahan lingkungan ahrus dipikul bersama oleh masyarakatdalam satu generasi
3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle), prinsip pencegahan dini mengandungsuatu pengertian bahwa  apabila ada ancaman yang berart atau adanya ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan serta ketiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konsklusifdan pasti, tidak dapat dijaidkan alasan untk menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
4. Prinsip Kerlindungan Keragaman Hayati, perlindungan keragaman hayati merupakan prasyarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan antargenerasi. Perlindungan keragaman hayati diperlukan demi pencegahan dini
5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan, kerusakan lingkungan dapat dilihat sebagai external cost dari suatu kegiatan ekonomi yang diderita oleh pihak yang tidak terlbat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Jadi, keruskaan lingkungan merupakan external cost yang harus ditanggung oelh kegiatan pelaku ekonomi. Oelh kaena itu, biaya kerusakan lingkungan harus di integrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam tersebut.
Kelima prinsip tersebut di atas dikenal sebagai prinsip pokok dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kemudian, kelima prinsip tersebut oleh sebagaian besar peserta KTT bumi 1992 dijadikan landasan hukum lingkungan, baik tingkat global (sebagaimna tertuang dalam deklarasi dan dokumen-dokumen Internasional yang dihasilkan melalui KTT Bumi 1992) maupun tingkat nasional sebagiman tertuang dalam Undang-Undang nomor23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
2. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut memperhatikan aspek-aspek yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (CBESD), maka diperlukanlah pokok-pokok kebijaksanaan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:[6]
a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah;
d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan.
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan;
g.Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan;
i. Pengembangan kerja sama luar negeri.
Dari uraian di atas, maka sudah tampak jelas bahwa terdapat kesesuaian antara norma “berwawasan lingkungan” dengan perubahan iklim. Segala strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan secara khusus ketika aktor-aktor negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian. Secara teoritis dan praktis, penilaian sumber daya alam dengan berdasarkan biaya moneter dari kegaiatan ekstraksi dan distribusi sumber daya semata sering telah mengakibatkan kurangnya insentif bagi penggunaan sumber daya yang sustainable (berkelanjutan). Ada dua kepentingan yang saling dibutuhkan suatu bangsa saat ini yakni kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Kuatnya saling interaksi dan ketergantungan dua faktor itu maka diperlukan pendekatan yang cocok bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development).
Selanjutnya dengan kegiatan konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya untuk kegiatan produksi mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan yang menjadi beban dan biaya lingkungan masyarakat. Untuk mendukung penggunaan sumber daya yang sustainable maka biaya lingkungan akibat degradasi itu harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi yang tidak hanya pada pola konsumsi dan perdagangan tetapi juga sumber daya seperti laut, air segar, dan hutan-hutan, dan sumber daya alam lainnya.
Integrasi ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan yang berkelanjutan tergantung banyak factor. Menurut Lonergan (1993) untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang berwawasan lingkungan, ada tiga dimensi penting yang harus dipertimbangkan. Pertama adalah dimensi ekonomi yang menghubungkan pengaruh-pengaruh unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber daya alam diperlakukan dalam analisa ekonomi. Kedua, adalah dimensi politik yang mencangkup proses politik yang menentukan penampilan dan sosok pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan pada suatu negara. Diamensi ini juga termasuk peranan agen masyarakat, struktur sosial dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Ketiga, adalah dimensi sosial dan budaya yang mengaitkan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu pengetahuan barat, serta pola pemikiran dan tradisi agama. Ketiga dimensi ini berinteraksi satu sama lain untuk mendorong terciptanya pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, keterkaitan antara aktivitas ekonomi dan lingkungan dikaji dalam bidang ilmu yang dikenal sebagai ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan ini mengkhususkan kajian tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan yang meliputi: (1) analisa dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi ummat manusia seperti kegiatan produksi dan konsumsi barang dan jasa; (2) analisa dampak ekonomi terhadap kerusakan alam seperti kesehatan manusia dan hewan; kerusakan terhadap lingkungan fisik (buatan manusia) seperti bangunan, intalasi dan lain sebagainya; serta (3) mempelajari pilihan dan tingkah laku manusia dalam memecahkan konflik yang berkaitan dengan perubahan lingkungan, bagaimana manusia sebagai individu maupun kelompok dalam melakukan kompromi (tradeoff) antara nilai ekonomi dan lingkungan atau memasukan unsur lingkungan dalam analisa ekonominya.
Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dan kualitas lingkungan inilah yang melatarbelakangi berkembangnya konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan tidak lepas dari bagaimana keterkaitan antara lingkungan sebagai asset dan aktivitas ekonomi sebagai basis bagi kajian ekonomi yang berdimensi lingkungan.

[1] Pan Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif  Hukum Konstitusi.”  Dalam World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, 1987, hlm. 43.
[2] Pan Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif  Hukum Konstitusi.” dalam Thomas A. Easton, ed., Taking Sides: Clashing Views on Controversial Environmental Issues, McGraw Hill, 2008, hlm. 28-33.
[3] Pan Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif  Hukum Konstitusi.” Dalam Dominic McGoldrick, “Sustainable Development and Human Rights: An Integrated Conception”,
[4] Pan Mohamad Faiz, Human Rights Protection and Constitutional Review: A Basic Foundation of Sustainable Development in Indonesia, makalah dipresentasikan pada ISSM 2008 di Delft, Belanda pada tanggal 13 Mei 2007.
[5] Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 104-107
[6] Surna T. Djajadiningrat, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I No. 1/1994, ICEL, Jakarta, hlm. 6-9.

0 komentar: