BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, Juli 10, 2012

RI SUDAH RATIFIKASI KONVENSI PBB TENTANG HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS (PD):

JAMINAN HUKUM LEBIH PASTI BAGI PEMENUHAN HAK-HAK PD DI INDONESIA


Oleh: Antoni Tsaputra, S.S, MA*

Setelah menunggu sekian tahun sejak RI menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disability (Konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang cacat/disabilitas) tahun 2007 silam di New York, tanggal 18 Oktober 2011 menjadi momentum historis bagi perjuangan panjang kaum PD di Indonesia dalam menuntut hak-hak dasar mereka karena akhirnya perjanjian internasional tersebut diratifikasi oleh DPR RI.

Sesuai pasal 43 Konvensi hak-hak PD, Indonesia sebagai penandatangan  Konvensi wajib meratifikasi  (mengikat diri) dengan konvensi. Ratifikasi menurut UU No.24 tahun 2000 berarti menjadikan konvensi sebagai hukum nasional atau, dengan kata lain, pengesahan perjanjian internasional ini menjadi undang-undang oleh DPR RI.
Seluruh PD di Indonesia menaruh harapan besar terhadap penegakan undang-undang perlindungan hak PD secara serius. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesamaan pandangan dan pemahaman serta kesiapan dari seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan konvensi tersebut guna memenuhi hak-hak PD Indonesia yang selama ini terabaikan.

Sebelumnya sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum yang menjamin penyediaan hak-hak mendasar bagi PD. Sebagai contoh, Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menegaskan bahwa kesetaraan dan non-diskriminasi merupakan salah satu syarat dari terbukanya berbagai akses bagi orang dengan disabilitas. Tidak hanya itu, Indonesia juga mempunyai Undang-undang RI No. 28 tahun 2002 mengenai Bangunan dan Gedung serta berbagai peraturan menteri yang relevan dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan, diatur bahwa setiap bangunan harus menyediakan fasilitas/infrastruktur untuk penyandang disabilitas, kecuali perumahan pribadi.

Tapi sejauh ini yang kita lihat kenyataannya masih jauh panggang dari api. Aksesibilitas untuk kesetaraan dalam penggunaan bangunan umum dan kantor pemerintah masih jarang diimplementasikan. Sebagai contoh, saranatransportasi umum yang tidak bersahabat dengan penyandang disabilitas, tidak adanya trotoar yang mendukung bagi penyandang disabilitas, tempat parkir kendaraan yang tidak cocok bagi penyandang disabilitas, elevator yang terlalu sempit dan bahkan sebagian besar fasilitas umum di beberapa daerah sama sekali tidak memiliki elevator atau jalur melandai (ramp),  sarana sanitasi yang tidak mendukung seperti tidak ada toilet khusus untuk penyandang disabilitas, dan juga jalanan yang licin serta tidak rata yang tidak dapat dilewati oleh penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.

Dengan telah diratifikasinya Konvensi hak PD ini, seluruh elemen bangsa, masyarakat dan pemerintah harus memberikan komitmen untuk memastikan terpenuhinya seluruh hak-hak PD yang diakui secara internasional sebagaimana terkandung dalam konvensi PBB tersebut.

Antara lain hak-hak PD yang harus dijamin pemerintah sesuai konvensi adalah hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena. Hak PD lainnya yaitu mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapat perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, hak atas pendidikan dan pekerjaan yang layak, hak aksesibilitas seperti akses terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi serta terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka, termasuk di gedung-gedung pemerintah dan swasta, jalanan, sarana transportasi, sekolah, perumahan dan fasilitas medis, serta sarana prasarana lain yang erat kaitannya dengan kebutuhan PD. Hak yang juga paling utama adalah para PD harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan untuk pembangunan. 

Beberapa hal yang dapat segera dilakukan sebagai follow-up ratifikasi konvensi PBB tentang hak  PD adalah peninjauan ulang peraturan perundangan sebelumnya, sosialisasi ke masyarakat melalui berbagai media tentang substansi konvensi yang sudah diratifikasi dan juga tentang penggunaan terminologi ‘Penyandang Disabilitas’ sebagai pengganti ‘penyandang cacat’ yang selama ini menstigmatisasi dan merendahkan. Klausul ‘sehat jasmani dan rohani’ yang selama ini banyak ditemui dalam persyaratan pengadaan pegawai juga harus dihapuskan karena mengandung unsur diskriminatif.

Substansi pengaturan konvensi yang sudah kita ratifikasi ini meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, tidak hanya menyangkut aksesibilitas. Oleh sebab itu, penyuluhan ke masyarakat agar tidak lagi memandang PD sebelah mata sebagai warga kelas dua yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan serta perubahan sikap masyarakat dan kebijakan pemerintahuntuk mengakomodir prinsip HAM non-diskriminatif, kesetaraan dan kesempatan yang sama akan menentukan cepat atau lambatnya hasil ratifikasi terealisasi. Faktor yang juga tidak kalah pentingnya adalah mekanisme law enforcementyang betul-betul menjamin kepastian hukum untuk pemenuhan hak-hak PD di Indonesia seperti yang sudah dinikmati PD di negara-negara maju..**

*Penulis adalah Pegawai Penyandang Disabilitas pada Dinas Kominfo Kota Padang dan alumnus Griffith University Australia (ADS Scholarship Recipient 2009). Penulis aktif mengikuti konferensi internasional tentang disabilitas di Australia dan juga pernah diundang sebagai pembicara tamu tentang isu disabilitas bersama Menlu Australia di Gedung Parlemen Canberra Australia.

0 komentar: