BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, September 05, 2009

PERJALANAN ROSULULLAH SAW

Siapa mukmin yang tidak rindu ingin bertemu dengan Rasulullah saw. Jika bertemu, pasti kita ingin memeluknya. Seperti apa ciri fisik Rasulullah saw.?

Ciri Fisik Rasulullah SAW

Ali bin Abi Thalib r.a. memerinci ciri fisik Rasulullah saw., “Nabi Muhammad saw. tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Berpostur indah di kalangan kaumnya, tidak terlalu gemuk dan tidak pula terlalu kurus. Perawakannnya bagus sebagai pria yang tampan. Badannya tidak tambun, wajah tidak bulat kecil, warna kulitnya putih kemerah-merahan, sepasang matanya hitam, bulu matanya panjang. Tulang kepalanya dan tulang antara kedua pundaknya besar, bulu badannya halus memanjang dari pusar sampai dada. Rambutnya sedikit, kedua telapak tangan dan telapak kakinya tebal.

Apabila berjalan tidak pernah menancapkan kedua telapak kakinya, beliau melangkah dengan cepat dan pasti. Apabila menoleh, beliau menolehkan wajah dan badannya secara bersamaan. Di antara kedua bahunya terdapat tanda kenabian dan memang beliau adalah penutup para nabi. Beliau adalah orang yang paling dermawan, paling berlapang dada, paling jujur ucapannya, paling bertanggung jawab dan paling baik pergaulannya. Siapa saja yang bergaul dengannya pasti akan menyukainya.”

Setiap orang yang bertemu Rasulullah saw. pasti akan berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya, baik sebelum maupun sesudahnya.” Begitulah Rasulullah saw. di mata khalayak, sebah beliau berakhlah sangat mulia seperti yang digambarkan Al-Qur’an, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)

Nasab Rasulullah SAW

Nasabnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Quraisy bin Kilab. Rasulullah saw. memiliki silsilah yang berujung pada Adnan anak keturunan Nabi Ismail a.s. Semuanya dikenal sebagai orang-orang yang mulia dan shalih. Tak heran jika Rasulullah saw. adalah anak Adam yang paling mulia kehormatan dan paling utama nasabnya. “Aku adalah manusia pilihan dari di antara manusia pilihan dari di antara manusia pilihan.”

Rasulullah saw. adalah putra semata wayang Abdullah, anak terakhir Abdul Muthallib. Abdul Muthalllib pernah bernazar, jika dikaruniai 10 anak lelaki, ia akan menyembelih satu orang di antaranya untuk Allah. Ketika diundi, keluarlah nama Abdullah. Ketika Abdul Muthallib akan memenuhi nazarnya, kaumnya bermusyawarah dan menawarkan kepadanya agar menebus putra bungsunya itu dengan 100 ekor unta atau serata dengan diat 10 orang budak.

Abdullah wafat saat Rasulullah saw. masih dalam kandungan Aminah, ibunya. Aminah adalah anak Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Rasulullah saw. lahir di hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah. Aminah mengirimkan bayinya ke Abdul Muthallib. Lantas Abdul Muthallib membawa bayi yang dinamainya Muhammad itu berthawaf mengelilingi Ka’bah.

Tahun Gajah

Tahun Gajah, apa maksudnya? Di tahun kelahiran Rasulullah saw. ada peristiwa besar di Mekkah. Abrahah Al-Habsyi seorang panglima perang kebangsaan Habasyah (Ethiopia) berkuasa di sebagai Gubernur Yaman di bawah pemerintahan Raja Najasyi, Raja Habasyah. Ia membangun sebuah gereja besar yang diberi nama Al-Qallais. Abrahah ingin gerejanya itu menjadi kiblat seluruh bangsa Arab.
Seorang pria dari Bani Kinanah mendengar obsesi Abrahah itu. Ia pergi ke Yaman dan menyelinap ke dalam gereja itu di malam hari. Ia buang air besar kemudian membuang kotorannya di kiblat gereja itu.

Mengetahui itu, Abrahah marah. Ia bersumpah akan pergi ke Mekkah dan menghancurkan Ka’bah. Abrahah mengerahkan tentara dan pasukan gajahnya. Namun, perjalanan pasukan gajah ini terhenti di Mina. Allah swt. membinasakan pasukan itu dengan mengirimkan serombongan Burung Ababil yang melemparkan kerikil mematikan. Tahun terjadinya peristiwa itu dinamakan Tahun Gajah.

Ibu Susu Rasulullah SAW

Sudah menjadi tradisi kalangan terpandang Arab, bayi-bayi mereka disusui oleh murdi’at (para wanita yang menyusui bayi). Rasulullah saw. ditawarkan kepada murdi’at dari Bani Sa’ad yang sengaja datang ke Mekkah mencari bayi-bayi yang masih menyusu dengan harapan mendapat bayaran dan hadiah. Tapi mereka menolak karena Rasulullah saw. anak yatim. Namun Halimah Sa’diyah tidak mendapatkan seroang bayi pun yang akan disusui. Karena itu, agar pulang tanpa tangan hampa, ia mengambil Rasulullah saw. yang yatim itu sebagai anak susuannya.

Keberadaan Muhammad mungil memberi berkah kepada keluarga Halimah, bahkan bagi kabilahnya. Setelah dua tahun, Halimah membawa Muhammad kecil mengunjungi ibunya. Karena sadar bahwa keberadaan Muhammad kecil memberi berkah kepada kampungnya, Halimah memohon Aminah agar Muhammad kecil diizinkan tinggal kembali bersama Bani Sa’ad. Aminah setuju.

Muhammad cilik dikembalikan ke Mekkah setelah terjadi peristiwa pembelahan dada. Dua malaikat datang menghampiri Rasulullah saw. dengan membawa bejana dari emas berisi es. Mereka membelah dada Rasulullah saw. dan mengeluarkan hatinya. Hati itu dibedah dan dikeluarkan gumpalan darah yang berwarna hitam. Kemudian dicuci dengan es. Setelah itu dikembalikan seperti semula. Halimah khawatir dengan keselamatan Muhammad cilik. Ia dan suaminya sepakat mengembalikan Muhammad kecil kepada ibunya.

Aminah dan Abdul Muthallib Wafat

Muhammad kecil pun tinggal bersama ibunya. Ketika berusia 6 tahun, Muhammad cilik dibawa ibunya mengunjungi paman-pamannya dari Bani Adi bin Najjar di Yatsrib (yang kemudian hari berubah nama menjadi Madinah). Dalam perjalanan ini Aminah wafat di Abwa dan dikuburkan di sana.
Kemudian Muhammad cilik diasuh kakeknya, Abdul Muthallib. Namun tak berlangsung lama, hanya 2 tahun. Abdul Muthallib wafat ketika Rasulullah saw. berusia 8 tahun. Rasulullah saw. kemudian diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.

Perjalanan ke Syam

Abu Thalib pergi berdagang ke Syam. Keponakannya, Muhammad, ikut serta. Kafilah dagang ini tiba di Kampung Busra. Mereka bertemu dengan seorang pendeta bernama Bahira.
Bahira tahu tentang ajaran Nasrani dan ia paham betul tentang ciri dan sifat Rasul terakhir yang diberitakan oleh Nabi Isa a.s. Bahira melihat ada tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad, keponakan Abu Thalib. Ia menasihati Abu Thalib agar segera membawa pulang keponakannya dan waspada dengan orang-orang Yahudi.

Menikah Dengan Khadijah

Ketika berusia 25 tahun, Rasulullah saw. pergi ke Syam membawa barang dagangan milik Khadijah. Rasulullah saw. ditemani pembantu pria kepercayaan Khadijah bernama Maisaroh. Maisaroh memberi informasi kepada Khadijah tentang sifat-sifat Rasulullah saw.

Kemudian setelah kembali ke Mekkah, Muhammad muda menikah dengan Khadijah. Saat dinikahi Muhammad muda, Khadijah bersatus janda. Dari pernikahan ini Muhammad dan Khadijah mendapatkan beberapa orang anak. Ada riwayat yang mengabarkan Rasulullah saw. dikaruniai 2 orang anak lelaki dari Khadijah, yaitu Qasim dan Abdullah. Namun keduanya meninggal sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Rasulullah saw. juga mendapat anak-anak perempuan dari Khadijah, yaitu Zainab, Ruqayyah, dan Ummi Kulsum. Mereka mengamalkan Islam dan meninggal sebelum Rasulullah wafat. Sedangkan putri bungsu Rasulullah saw. dari Khadijah adalah Fathimah. Fathimah meninggal 6 bulan setelah Rasulullah saw. wafat.

Berkhalwat di Gua Hira

Sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Muhammad suka menyendiri di Gua Hira. Ini dikarenakan ia begitu membenci paganisme, agama kaumnya, dan setiap perbuatan keji yang dilakukan kaumnya. Di Gua Hira Muhammad beribadah kepada Rabbnya.

Membangun Ka’bah

Ketika Muhammad menginjak usia 35 tahun, orang-orang Quraisy berkumpul untuk membangun kembali Ka’bah yang rusak. Saat proses peletakan kembali Hajar Aswad, para kabilah Quraisy bersengketa. Mereka masing-masing merasa paling berhak melakukannya. Selisih pendapat ini sampai pada puncaknya. Mereka siap saling berperang.

Tapi, akhirnya mereka sepakat untuk menjadikan orang yang pertama kali masuk dari pintu masjid sebagai hakim yang memutus perkara mereka. Dan orang yang muncul pertama kali dari masjid adalah Muhammad. Mereka serempak mengatakan, “Ini dia Al-Amin. Kami ridha dengannya!”

Kemudian Muhammad meminta sehelai selendang, lalu ia ambil hajar Aswad dan meletakkannya dengan tangannya sendiri. “Setiap kabilah hendaknya mengambil sisi-sisi selendang ini lalu angkatlah bersama-sama,” begitu katanya kemudian. Setelah diangkat hingga dekat dengan tempatnya, Muhammad mengangkat dan meletakkan dengan tangannya sendiri Hajar Aswad di tempat yang seharusnya. Dan pembangunan itu pun selesai dengan semua kabilah merasa senang.

Ketika Anda membuka lembaran sirah kehidupan Muhammad saw., Anda tidak akan pernah berhenti kagum melihat kemuliaan dan kebesaran pribadi beliau saw.

Sisi kebesaran itu terlihat dari sikap seimbang dan selaras dalam setiap perilakunya, sikap beliau dalam menggunakan segala sarana untuk meluluhkan kalbu setiap orang dalam setiap kesempatan.

Sarana paling besar yang dilakukan Muhammad saw. dalam dakwah dan perilaku beliau adalah, gerakan yang tidak membutuhkan biaya besar, tidak membutuhkan energi berlimpah, meluncur dari bibir untuk selanjutnya masuk ke relung kalbu yang sangat dalam.

Jangan Anda tanyakan efektifitasnya dalam mempengaruhi akal pikiran, menghilangkan kesedihan, membersihkan jiwa, menghancurkan tembok pengalang di antara anak manusia!. Itulah ketulusan yang mengalir dari dua bibir yang bersih, itulah senyuman!

Itulah senyuman yang direkam Al Qur’an tentang kisah Nabi Sulaiman as, ketika Ia berkata kepada seekor semut,

“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. An Naml:19

Senyuman itulah yang senantiasa keluar dari bibir mulia Muhammad saw., dalam setiap perilakunya. Beliau tersenyum ketika bertemu dengan sahabatnya. Saat beliau menahan amarah atau ketika beliau berada di majelis peradilan sekalipun.

فهذا جرير -رضي الله عنه- يقول -كما في الصحيحين-: ما حَجَبني رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- منذُ أسملتُ، ولا رآني إلا تَبَسَّم في وجهي.

Diriwayatkan dari Jabir dalam sahih Bukhari dan Muslim, berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah saw tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.”

Suatu ketika Muhammad saw. didatangi seorang Arab Badui, dengan serta merta ia berlaku kasar dengan menarik selendang Muhammad saw., sehingga leher beliau membekas merah. Orang Badui itu bersuara keras, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu memberikan harta dari Baitul Maal! Muhammad saw. menoleh kepadanya seraya tersenyum. Kemudian beliau menyuruh sahabatnya memberi harta dari baitul maal kepadanya.”

Ketika beliau memberi hukuman keras terhadap orang-orang yang terlambat dan tidak ikut serta dalam perang Tabuk, beliau masih tersenyum mendengarkan alasan mereka.

يقول كعب -رضي الله عنه- بعد أن ذكر اعتذار المنافقين وحلفهم الكاذب: فَجِئْتُهُ فَلَمَّا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ تَبَسَّمَ تَبَسُّمَ الْمُغْضَبِ، ثُمَّ قَالَ «تَعَالَ» . فَجِئْتُ أَمْشِي حَتَّى جَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ.

Ka’ab ra. berkata setelah mengungkapkan alasan orang-orang munafik dan sumpah palsu mereka:

“Saya mendatangi Muhammad saw., ketika saya mengucapkan salam kepadanya, beliau tersenyum, senyuman orang yang marah. Kemudian beliau berkata, “Kemari. Maka saya mendekati beliau dan duduk di depan beliau.”

Suatu ketika Muhammad saw. melintasi masjid yang di dalamnya ada beberapa sahabat yang sedang membicarakan masalah-masalah jahiliyah terdahulu, beliau lewat dan tersenyum kepada mereka.

Beliau tersenyum dari bibir yang lembut, mulia nan suci, sampai akhir detik-detik hayat beliau.

- يقول أنس -كما في الصحيحين-: بينما الْمُسْلِمُونَ في صَلاَةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الإِثْنَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بَهُمْ لَمْ يَفْجَأْهُمْ إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ كَشَفَ سِتْرَ حُجْرَةِ عَائِشَةَ، فَنَظَرَ إِلَيْهِمْ وَهُمْ فِي صُفُوفِ الصَّلاَةِ. ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ!

Anas bin Malik berkata diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim, “Ketika kaum muslimin berada dalam shalat fajar, di hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Muhammad saw. yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum kepada mereka!”

Sehingga tidak mengherankan beliau mampu meluluhkan kalbu sahabat-shabatnya, istri-istrinya dan setiap orang yang berjumpa dengannya!

Menyentuh Hati

Muhammad saw. telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu “menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau saw. mensunnahkan dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan. Rasulullah saw. bersabda,

فقال: (وتبسمك في وجه أخيك صدقة) رواه الترمذي وصححه ابن حبان.

“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” At Tirmidzi dalam sahihnya.

Meskipun sudah sangat jelas dan gamblang petunjuk Nabi dan praktek beliau langsung ini, namun Anda masih banyak melihat sebagaian manusia masih berlaku keras terhadap anggota keluarganya, tehadap rumah tangganya dengan tidak menebar senyuman dari bibirnya dan dari ketulusan hatinya.

Anda merasakan bahwa sebagian manusia -karena bersikap cemberut dan muka masam- mengira bahwa giginya bagian dari aurat yang harus ditutupi! Di mana mereka di depan petunjuk Nabi yang agung ini! Sungguh jauh mereka dari contoh Nabi muhammad saw.!

Ya, kadang Anda melewati jam-jam Anda dengan dirundung duka, atau disibukkan beragam pekerjaan, akan tetapi Anda selalu bermuka masam, cemberut dan menahan senyuman yang merupakan sedekah, maka demi Allah, ini adalah perilaku keras hati, yang semestinya tidak terjadi. Wal iyadzubillah.

Pengaruh Senyum

Sebagian manusia ketika berbicara tentang senyuman, mengaitkan dengan pengaruh psikologis terhadap orang yang tersenyum. Mengkaitkannya boleh-boleh saja, yang oleh kebanyakan orang boleh jadi sepakat akan hal itu. Namun, seorang muslim memandang hal ini dengan kaca mata lain, yaitu kaca mata ibadah, bahwa tersenyum adalah bagian dari mencontoh Nabi saw. yang disunnahkan dan bernilai ibadah.

Para pakar dari kalangan muslim maupun non muslim melihat seuntai senyuman sangat besar pengaruhnya.

Dale Carnegie dalam bukunya yang terkenal, “Bagaimana Anda Mendapatkan Teman dan Mempengaruhi Manusia” menceritakan:

“Wajah merupakan cermin yang tepat bagi perasaan hati seseorang. Wajah yang ceria, penuh senyuman alami, senyum tulus adalah sebaik-baik sarana memperoleh teman dan kerja sama dengan pihak lain. Senyum lebih berharga dibanding sebuah pemberian yang dihadiahkan seorang pria. Dan lebih menarik dari lipstik dan bedak yang menempel di wajah seorang wanita. Senyum bukti cinta tulus dan persahabatan yang murni.”

Ia melanjutkan, “Saya minta setiap mahasiswa saya untuk tersenyum kepada orang tertentu sekali setiap pekannya. Salah seorang mahasiswa datang bertemu dengan pedagang, ia berkata kepadanya, “Saya pilih tersenyum kepada istriku, ia tidak tau sama sekali perihal ini. Hasilnya adalah saya menemukan kebahagiaan baru yang sebelumnya tidak saya rasakan sepanjang akhir tahun-tahun ini. Yang demikian menjadikan saya senang tersenyum setiap kali bertemu dengan orang. Setiap orang membalas penghormatan kepada saya dan bersegera melaksanakan khidmat -pelayanan- kepada saya. Karena itu saya merasakan hidup lebih ceria dan lebih mudah.”

Kegembiraan meluap ketika Carnegie menambahkan, “Ingatlah, bahwa senyum tidak membutuhkan biaya sedikitpun, bahkan membawa dampak yang luar biasa. Tidak akan menjadi miskin orang yang memberinya, justeru akan menambah kaya bagi orang yang mendapatkannya. Senyum juga tidak memerlukan waktu yang bertele-tele, namun membekas kekal dalam ingatan sampai akhir hayat. Tidak ada seorang fakir yang tidak memilikinya, dan tidak ada seorang kaya pun yang tidak membutuhkannya.”

Betapa kita sangat membutuhkan sosialisasi dan penyadaran petunjuk Nabi yang mulia ini kepada umat. Dengan niat taqarrub ilallah -pendekatan diri kepada Allah swt.- lewat senyuman, dimulai dari diri kita, rumah kita, bersama istri-istri kita, anak-anak kita, teman sekantor kita. Dan kita tidak pernah merasa rugi sedikit pun! Bahkan kita akan rugi, rugi dunia dan agama, ketika kita menahan senyuman, menahan sedekah ini, dengan selalu bermuka masam dan cemberut dalam kehidupan.

Pengalaman membuktikan bahwa dampak positif dan efektif dari senyuman, yaitu senyuman menjadi pendahuluan ketika hendak meluruskan orang yang keliru, dan menjadi muqaddimah ketika mengingkari yang munkar.

Orang yang selalu cemberut tidak menyengsarakan kecuali dirinya sendiri. Bermuka masam berarti mengharamkan menikmati dunia ini. Dan bagi siapa saja yang mau menebar senyum, selamanya ia akan senang dan gembira. Allahu a’lam

Hijrah Nabi & Menetap Di Madinah

BEBERAPA PERISTIWA PENTING

Pertama

Tersebarnya berita tentang masuk Islamnya sekelompok penduduk Yatsrib (Madinah), membuat orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan terhadap orang-orang Mukmin di Makkah.

Lalu Nabi saw. memerintahkan kaum Mukminin agar hijrah ke kota Madinah. Para sahabat segera berangkat menuju Madinah secara diam-diam, agar tidak dihadang oleh musuh. Namun Umar bin Khattab justru mengumumkan terlebih dahulu rencananya untuk berangkat ke pengungsian kepada orang-orang kafir Makkah. Ia berseru, “Siapa di antara kalian yang bersedia berpisah dengan ibunya, silakan hadang aku besok di lembah anu, besuk pagi saya akan hijrah.” Tidak seorang pun berani menghadang Umar.

Kedua

Setelah mengetahui kaum Muslimin yang hijrah ke Madinah itu disambut baik dan menda¬pat penghormatan yang memuaskan dari penduduk Yatsib, bermusyawarahlah kaum kafir Quraisy di Darun Nadwah. Mereka merumuskan cara yang diambil untuk membunuh Rasululah saw. yang diketahui belum berangkat bersama rombongan para sahabat. Rapat memutuskan untuk mengumpulkan seorang algojo dari setiap kabilah guna membunuh Nabi saw. bersama-sama. Pertimbangannya ialah, keluarga besar Nabi (Bani Manaf) tidak akan berani berperang melawan semua suku yang telah mengu¬tus algojonya masing-masing. Kelak satu-satunya pilihan yang mungkin ambil oleh Bani Manaf ialah rela menerima diat (denda pembunuhan) atas terbunuhnya Nabi. Keputusan bersama ini segera dilaksanakan dan para algojo telah berkumpul di sekeliling rumah Nabi saw. Mere¬ka mendapat instruksi: “Keluarkan Muhammad dan rumahnya dan langsung pengal tengkuknya dengan pedangmu!”

Ketiga

Pada malam pengepungan itu Nabi saw. tidak tidur. Kepada keponakannya, Ali r.a., beliau meme¬rintahkan dua hal: pertama, agar tidur (berbaring) di tempat tidur Nabi dan, kedua, menyerahkan kembali semua harta titipan penduduk Makkah yang ada di tangan Rasulullah saw. kepada para pemiliknya.

Nabi keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh satu orang pun dari para algojo yang mengepung rumahnya sejak senja hari. Nabi saw. pergi menuju rumah Abu Bakar yang sudah menyiapkan dua tunggangan (kendaraan) lalu segera berangkat. Abu Bakar menyewa Abdullah bin Uraiqith Ad-Daily untuk menunjukkan jalan yang tidak biasa menuju Madinah.

Keempat

Rasulullah dan Abu Bakar berangkat pada hari Kamis tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun kelima puluh tiga dari kelahiran Nabi saw. Hanya Ali dan keluarga Abu Bakar saja yang tahu keberangkatan Nabi saw. dan Abu Bakar malam itu menuju Yatsib. Sebelumnya dua anak Abu Bakar, Aisyah dan Asma, telah menyiapkan bekal secukupnya untuk perjalanan itu. Kemudian Nabi saw. ditemani Abu Bakar berangkat bersama penunjuk jalan menelusuri jalan Madinah-Yaman hingga sampai di Gua Tsur. Nabi dan Abu Bakar berhenti di situ dan penunjuk jalan disuruh kembali secepatniya guna menyampaikan pesan rahasia Abu Bakar kepada putranya, Abdullah.

Tiga malam lamanya Nabi saw. dan Abu Bakar bersembunyi di gua itu. Setiap malam mereka ditemani oleh Abdullah bin Abu Bakar yang ber¬tindak sebagai pengamat situasi dan pemberi informasi.

Kelima

Lolosnya Nabi saw. dari kepungan yang ketat itu membuat kalangan Quraisy hiruk pikuk mencari. Jalan Makkah-Madinah dilacak. Tetapi mereka gagal menemukan Nabi saw. Kemudian mereka menelusuri jalan Yaman-Madinah. Mereka menduga Nabi pasti bersembunyi di Gua Tsur. Setibanya tim pelacak itu di sana, alangkah bingungnya mereka ketika melihat mulut gua itu tertutup jaring laba-laba dan sarang bunung. Itu pertanda tidak ada orang yang masuk ke dalam gua itu. Mereka tidak dapat melihat apa yang ada dalam gua, tetapi orang yang di dalamnya dapat melihat jelas rom¬bongan yang berada di luar. Waktu itulah Abu Bakar merasa sangat khawatir akan keselamatan Nabi. Nabi berkata kepadanya, “Hai Abu Bakar, kita ini berdua dan Allah-lah yang ketiganya.”

Keenam

Kalangan kafir Quraisy mengumumkan kepada seluruh kabilah, “Siapa saja yang dapat menyerah¬kant Muhammad dan kawannya (Abu Bakar) kepada kami hidup atau mati, maka kepadanya akan diberikan hadiah yang bernilai besar.” Bangkitlah Suraqah bin Ja’syam mencari dan mengejar Nabi dengan harapan akan menjadi hartawan dalam waktu singkat.

Sungguhpun jarak antara Gua Tsur dengan rombongan Nabi sudah begitu jauh, namun Suraqah ternyata dapat menyusulnya. Tatkala sudah begitu dekat, tiba-tiba tersungkurlah kuda yang ditunggangi Suraqah, sementara pedang yang telah diayunkan ke arah Nabi tetap terhunus di tangannya. Tiga kali ia mengibaskan pedangnya ke arah tubuh Nabi, tetapi pada detik-detik itu pula kudanya tiga kali tersung¬kur sehingga tak terlaksanalah maksud jahatnya. Kemudian ia menyarungkan pedangnya dalam keadaan diliputi perasaan kagum dan yakin, dia benar-benar berhadapan dengan seorang Nabi yang menjadi Rasul Allah. Ia mohon kepada Nabi agar berkenan menolong mengangkat kudanya yang tak dapat bangun karena kakinya terperosok ke dalam pasir. Setelah ditolong oleh Nabi, ia memin¬ta agar Nabi berjanji akan memberinya hadiah berupa gelang kebesaran raja-raja. Nabi menjawab, “Baiklah.”

Kemudian kembalilah Suraqah ke Makkah dengan berpura-pura tak menemukan seseorang dan tak pernah mengalami kejadian apa pun.

Ketujuh

Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Kedatangan beliau telah dinanti-nantikan masyarakat Madinah. Pagi hari me¬reka berkerumun di jalanan, setelah tengah hari barulah mereka bubar. Begitulah penantian mereka beberapa hari sebelum kedatangan Nabi. Pada hari kedatangan Nabi dan Abu Bakar, masyarakat Madi¬nah sudah menunggu berjubel di jalan yang akan dilalui Nabi lengkap dengan regu genderang. Mereka mengelu-elukan Nabi dan genderang pun gemuruh diselingi nyanyian yang se¬ngaja digubah untuk keperluan penyambutan itu: “Bulan purnama telah muncul di tengah-tengah kita, dari celah-celah bebukitan. Wajiblah kita bersyukur, atas ajakannya kepada Allah. Wahai orang yang dibangkitkan untuk kami, kau datang membawa sesuatu yang ditaati.”

Kedelapan

Di tengah perjalanan menuju Madinah, Rasu¬lullah singgah di Quba’, sebuah desa yang terletak dua mil di selatan Madmnah. Di sana Beliau membangun sebuah Masjid dan merupakan Masjid pertama dalam sejarah Islam. Beliau singgah di sana selama empat hari untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Madinah. Pada Jum’at pagi beliau berangkat dari Quba’ dan tiba di perkampungan Bani Salim bin Auf persis pada waktu shalat Jum’at. Lalu shalatlah beliau di sana. Inilah Jum’at pertama dalam Islam, dan karena itu khutbahnya pun merupakan khutbah yang petama.

Kemudian Nabi berangkat meninggalkan Bani Salim. Program pertama beliau sesampainya di Madi¬nah ialah menentukan tempat di mana akan dibangun Masjid. Tempat itu ialah tempat di mana untanya berhenti setibanya di Madinah. Ternyata tanah yang dimaksud milik dua orang anak yatim. Untuk itu Nabi minta supaya keduanya sudi menjual tanah miliknya, namun mereka lebih suka menghadiah¬kannya. Tetapi beliau tetap ingin membayar harga tanah itu sebesar sepuluh dinar. Dengan senang hati Abu Bakar menyerahkan uang kepada mereka berdua.

Pembangunan Masjid segera dimulai dan seluruh kaum Muslimin ikut ambil bagman, sehingga berdiri sebuah Masjid berdinding bata, berkayu batang korma dan beratap daun korma.

Kesembilan

Kemudian Nabi mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dengan Anshar. Setiap orang Anshar mengakui orang Muhajirin sebagai saudara¬nya sendiri, mempersilakannya tinggal di rumah¬nya dan memanfaatkan segala fasilitasnya yang ada di rumah bersangkutan.

Kesepuluh

Selanjutnya Nabi saw. merumuskan piagam yang berlaku bagi seluruh kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi. Piagam inilah yang oleh Ibnu Hisyam disebut sebagai undang-undang dasar negara dan pemerintahan Islam yang pertama. Isinya mencakup tentang perikemanusiaan, keadilan sosial, toleransi beragama, gotong royong untuk kebaikan masyarakat, dan lain-lain. Saripatinya adalah sebagai berikut:

  1. Kesatuan umat Islam, tanpa mengenal perbe¬daan.
  2. Persamaan hak dan kewajiban.
  3. Gotong royong dalam segala hal yang tidak ter¬masuk kezaliman, dosa, dan permusuhan.
  4. Kompak dalam menentukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi umat.
  5. Membangun suatu masyarakat dalam suatu sis¬tern yang sebaik-baiknya, selurusnya dan sekokoh-kokohnya.
  6. Melawan orang-orang yang memusuhi negara dan membangkang, tanpa boleh memberikan bantuan kepada mereka.
  7. Melindungi setiap orang yang ingin hidup ber¬dampingan dengan kaum Muslimin dan tidak boleh berbuat zalim atau aniaya terhadapnya.
  8. Umat yang di luar Islam bebas melaksanakan agamanya. Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta bendanya.
  9. Umat yang di luar Islam harus ambil bagian dalam membiayai negara, sebagaimana umat Islam sendiri.
  10. Umat non Muslim harus membantu dan ikut memikul biaya negara dalam keadaan terancam.
  11. Umat yang di luar Islam, harus saling membantu dengan umat Islam dalam melindungi negara dan ancaman musuh.
  12. Negara melindungi semua warga negara, baik yang Muslim maupun bukan Muslim.
  13. Umat Islam dan bukan Islam tidak boleh melin¬dungi musuh negara dan orang-orang yang membantu musuh negara itu.
  14. Apabila suatu perdamaian akan membawa keba¬ikan bagi masyarakat, maka semua warga negara baik Muslim maupun bukan Muslim, harus rela menerima perdamaian.
  15. Seorang warga negara tidak dapat dihukum karena kesalahan orang lain. Hukuman yang mengenai seseorang yang dimaksud, hanya boleh dikenakan kepada diri pelaku sendiri dan keluarganya.
  16. Warga negara bebas keluar masuk wilayah ne¬gara sejauh tidak merugikan negara.
  17. Setiap warga negara tidak boleh melindungi orang yang berbuat salah atau berbuat zalim.
  18. Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan, tidak atas dosa dan permusuhan.
  19. Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuat¬an. Kekuatan spiritual yang meliputi keimanan seluruh anggota masyarakat kepada Allah, kei¬manan akan pengawasan dan penlindungan-Nya bagi orang yang baik dan konsekuen, dan Kekuatan material yaitu kepemimpinan negara yang ter¬cerminkan oleh Nabi Muhammad saw.

BEBERAPA PELAJARAN

Pertama

Seorang yang Mukmin yang percaya akan kemampuannya tentu tidak akan sembunyi-sem¬bunyi beramal. Sebaliknya ia berterus terang tanpa gentar sedikitpun terhadap musuh, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab sewaktu dia akan hijrah. Dalam kasus ini ada pelajaran, keberanian bisa membuat musuh merasa ngeri dan gentar. Seandainya orang-orang kafir Quraisy sepakat untuk membunuh Umar, tentulah mereka mampu melaku¬kan itu. Akan tetapi sikap Umar yang berani itulah yang membuat gentarnya kafir Quraisy, dan memang onang-orang jahat selalu merasa takut kehi¬langan hidup (nyawa).

Kedua

Ketika ajakan ke arah kebenaran dan perbaikan sudah dapat dibendung, apalagi pendukung-pendu¬kungnya sudah dapat menyelamatkan diri, tentulah orang-orang jahat berpikir untuk membunuh pemim¬pin dakwah itu. Mereka memperkirakan dengan terbunuhnya sang pemimpin, tamatlah riwayat dakwah yang dilakukannya. Pemikiran semacam ini selalu ada dalam benak orang-orang yang memusuhi kebaikan dari zaman dulu sampai sekarang.

Ketiga

Prajurit yang sungguh-sungguh ikhlas untuk menyerukan kebaikan tentulah bersedia menyela¬matkan pemimpinnya sekalipun dengan mengor¬bankan jiwanya sendiri. Sebab, selamatnya pemimpin berarti selamatnya dakwah. Apa yang telah dilakukan oleh Ali yang tidur di tempat Nabi merupakan pe¬ngorbanan jiwa raga guna menyelamatkan diri Nabi.

Pada malam itu sangat besar kemungkinan Ali terbunuh karena algojo-algojo yang melaku¬kan pengepungan itu tentu akan menduga Ali itulah Nabi. Akan tetapi hal itu tidak merisaukan diri Ali sama sekali. Seba, ia lebih mementingkan keselamatan Nabi Muhammad saw.

Keempat

Dititipkannya harta benda milik orang-orang Musyrik kepada Nabi saw. sementara mereka sendiri memusuhi dan berambisi untuk membunuh Nabi, adalah menunjukkan kepercayaan mereka akan kelurusan dan kesucian pribadi Nabi. Mereka juga mengerti benar bahwa Nabi jauh lebih hebat dan lebih bersih hatinya daripada diri mereka sendiri. Hanya kebodohan, ketidaktahuan, dan keterikatan mereka pada tradisi dan kepercayaan yang salah sajalah yang membuat mereka memusuhi, menghalangi dakwah Nabi, dan berusaha membunuh Nabi.

Kelima

Berpikirnya seorang pemimpin dakwah, kepala negara, atau pemimpin suatu pergerakan untuk menyelamatkan diri dari ancaman musuh, sehingga ia mengambil jalan lain, tidaklah dapat dianggap sebagai tindakan penakut atau tidak berkorban jiwa.

Keenam

Adanya partisipasi Abdullah bin Abu Bakar dalam penencanaan dan pelaksanaan hijrah Nabi, menunjukkan adanya peranan genenasi muda dalam mensukseskan dakwah. Mereka merupakan penun¬jang yang dapat diandalkan bagi mempercepat proses kesuksesan.

Pejuang-pejuang Islam yang pertama dahulu seluruhnya terdiri dari para pemuda. Rasulullah saw. berumur empat puluh tahun ketika dibangkitkan menjadi Nabi. Abu Bakar berumur tiga puluh tahun, semen¬tara Ali paling muda di antara mereka. Demikian pula Utsman, Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, Arqam bin Abu Arqam, Sa’id bin Zaid, Bilal bin Rabah, Amman bin Yasir, dan lain-lain, seluruhnya adalah para pemuda. Mereka sanggup memikul tanggung jawab dakwah dengan segala pengorbanan dan berbagai macam derita. Dan mereka mampu memenangkan Islam. Dengan kesungguhan¬nya beserta kaum Muslimin lainnya, berdirilah negara Islam, ditahlukkanlah berbagai negeri, dan sampailah Islam ke tangan generasi berikutnya, hingga kini.

Ketujuh

Partisipasi Aisyah dan Asma binti Abu Bakar dalam pelaksanaan hijrah Nabi saw. mengisyaratkan bahwa kaum wanita bukannya tidak diperlukan dalam suatu perjuangan. Kaum hawa yang berperasaan halus itu pun diberi kepercayaan. Mereka banyak sekali membantu sang suami mengurusi anak-anak dan keluarga.

Dalam pada itu perjuangan kaum wanita di zaman Rasulullah dahulu mengesankan kita sekarang, suatu gerakan Islamiyah akan berjalan seret dan kurang membekas di kalangan masyarakat manakala kaum wanita belum ikut ambil peranan. Bila sudah, maka itu berarti telah terben¬tuk suatu generasi wanita atas dasar keimanan, akhlak mulia, kesabaran, dan kesucian. Mereka akan lebih mudah menyebarkan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan oleh dunia dewasini ke dalam masyarnakatnya sesama kaum wanita, ketimbang kaum pria. Tetapi hal ini tidak berarti mereka boleh untuk tidak menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang baik.

Dalam rangka mendidik generasi muda, pada zaman Nabi, kaum wanita telah memberikan sumbangan yang tinggi nilainya. Merekalah yang banyak berbuat untuk menumbuhkan suatu generasi penerus yang berakhlak Islam, mencintal Islam, dan Rasulnya serta berjuang untuk Islam. Untuk ini dapatlah dikatakan, kaum wanita itu lebih berhasil membentuk sebaik-baik generasi penerus perjuangan Islam.

Kini kita harus belajar dan sejarah di atas, harus berusaha membawa kaum wanita dan ibu-ibu, guna mencetak mereka menjadi perancang panji-panji Is¬lam di tengah-tengah masyarakat, mengingat kuan¬titasnya melebihi separuh penduduk dunia. Hal itu menuntut kita untuk mendidik putri-putri dan sau¬dari-saudari di lembaga-lembaga pendidikan Islam guna mempelajari berbagai ajanan Islam. Banyaknya jumlah mereka yang paham akan agama Islam, hukum, sejarah, dan ilmu lainnya, dan banyak mere¬ka yang berakhlak seperti akhlak Nabi saw. dan isteri-isterinya, tentulah akan dapat lebih cepat lagi memacu perbaikan yang berdasarkan ajaran Islam dan menciptakan masyarakat yang mentaati seluruh ketentuan Allah swt.

Kedelapan

Tidak terlihatnya Nabi Saw. oleh mata orang-¬orang yang mengejarnya di Gua Tsur, dan adanya sarang laba-laba serta sarang burung yang sedang bertelur seperti dalam kisah, kedua-duanya merupakan contoh adanya pertolongan Ilahi kepada Rasul-Nya dan para pembela agama-Nya. Allah swt. tidak membiarkan cita-cita dakwah gagal di tangan orang-orang musyrik. Allah swt. selalu memberi jalan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas dalam menegakkan risalahNya. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami pasti menolong Rasul-rasul Kami dan onang-onang yang beriman, di duniini dan di akhinat nanti.” (QS. Ghafir: 51).

Kesembilan

Kekhawatiran Abu Bakar r.a. kalau musuh meli¬hat mereka yang bersembunyi di dalam gua adalah menunjukkan betapa sayangnya sang pengawal kepada pimpinannya yang sedang terancam bahaya, melebihi rasa sayang terhadap dirinya sendiri. Sean¬dainya ia mementingkan diri sendiri, tentulah dia tidak bersedia menemani Rasulullah dalam suatu perjalanan yang penuh bahaya itu. Ia bukannya tidak tahu, jika Nabi saw. tertangkap dan dibunuh, maka dia pun akan dibunuh.

Kesepuluh

Jawaban Rasulullah yang bermaksud menenang¬kan Abu Bakar pada saat itu merupakan kata-kata yang menunjukan betapa yakin-Nya Nabi kepada Allah yang pasti menolong hamba-Nya dan betapa tulusnya beliau bertawakkal kepada-Nya. Dan meru¬pakan bukti nyata kebenaran dakwah kenabiannya. Betapapun beliau dalam keadaan sangat sulit dan terjepit, namun beliau yakin, Allah swt. tidak pernah melepaskannya sesaat pun, karena dirinya itu diutus¬Nya untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Di sinilah beda Nabi dengan orang yang se¬tengah-setengah dalam menyeru manusia ke jalan Allah, dan juga dengan orang yang berpura-pura.

Kesebelas

Apa yang telah terjadi atas diri Suraqah yang gagal total membunuh Nabi saw. juga merupakan bukti kenabian Nabi saw. Setiap kali Suraqah mengarahkan pedangnya ke arah tubuh Nabi, terjerembablah kudanya. Kaki kuda itu tenggelam ditelan pasir. Tapi jika diputar haluan, kembalilah kuda itu bangun dan berjalan seperti biasa. Bukankah ini pertolongan Allah swt. kepada Rasul-Nya? Ambisi Suraqah untuk memperoleh hadiah yang melimpah sebagaimana yang dijanjikan pemimpin-pemimpin kafir Qunaisy ternyata tidak dapat mengalahkan kekuasaan Allah yang menghendaki keselamatan Rasul-Nya. Oleh karena usahanya mengejar Nabi itu demi harta benda, maka ia pun merasa puas dengan janji Nabi untuk menghadiahkan sesuatu kepadanya.

Kedua belas

Janji Rasulullah akan menghadiahkan kepadanya pakaian kebesaran kaisar, setelah kegagalan Suraqah itu adalah juga suatu mukjizat yang dimiliki Nabi. Seorang manusia biasa yang sedang lari dan kepungan musuhnya tentulah tidak lagi sempat membayangkan dia akan mampu menaklukkan dan menampas mahkota raja. Tetapi karena beliau memang benar-benar seorang Nabi, masih segarlah dalam benaknya, pada akhirnya beliau akan dapat meraih mahkota raja-raja, dan apa yang dijanjikannya kepada Suraqah niscaya akan benar-¬benar terlaksana.

Dalam suatu peperangan yang dimenangkan oleh umat Islam berikut harta rampasan yang tertimbun, terlihatlah oleh Suraqah sepasang gelang raja. Lalu ia minta kepada Umar bin Khattab agar gelang itu diberikan kepadanya sebagai realisasi janji Rasulullah kepadanya dulu. Umar pun meme¬nuhi permintaan itu dengan disaksikan oleh sahabat¬-sahabat Nabi lainnya.

Ketiga belas

Kegembiraan peduduk Madinah atas keda¬tangan Rasulullah saw. merupakan kegembinaan yang sesungguhnya bagi kaum Muhajinin dan Anshar, tetapi semu bagi kaum Yahudi. Mereka turut bergembira di lahirnya, tapi dengki di dalam batin¬nya, karena orang yang mereka sambut itulah yang akan mengambil alih kepemimpinan dan kewibawa¬an yang selama itu ada di tangan mereka. Bagi orang-¬orang Yahudi Madinah, kedatangan Rasulullah itu akan membuat mereka tidak lagi bisa berbuat seenaknya terhadap jiwa dan harta benda rakyat.

Sungguhpun kedengkian dan keengganan tunduk untuk kepada hukum pada mulanya berhasil mere¬ka tutup-tutupi, namun akhirnya terbuka juga. Isi piagam persaudaraan yang telah mereka sepakati di hadapan Nabi dan kaum Muslimin dulu mulai diingkarinya satu persatu. Ini berarti mereka tidak rela dan tidak suka hidup damai. Memang mereka sejak dulu selalu ingin mengobarkan api peperangan. Akan tetapi api yang dikobarkannya itu akan selalu dapat dipadamkan, sebagaimana dijanjikan Allah swt. dalam firman-Nya, “Setiap kali meneka mengobankan api pepenangan, maka setiap kali itu pula Allah memadamkannya.” (Al-¬Maidah: 64)

Keempat belas

Dari peristiwa hijrah ke Madinah, nyatalah yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah ialah mem¬bangun Masjid. Selama empat hari bermalam di Quba’, Rasulullah saw. membangun Masjid Quba’. Selanjutnya beliau membangun sebuah Masjid di perkampungan Bani Salim, yang terletak antana Quba dan Madinah. Begitu pula di Madinah sendiri. Yang pertama kali dilakukan Nabi ialah membangun Masjid Madinah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Masjid dalam Islam.

Semua ibadat yang terdapat dalam Islam bertujuan untuk mensucikan jiwa, meningkatkan akhlak, memperkuat persaudaraan dan kegotong¬royongan antara sesama Muslim. Shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat dua hari raya adalah cen¬minan persaudaraan sosial, persatuan kata dan tuju¬an dengan demikian tidaklah teringkari lagi Masjid itu membawa misi sosial kemasyarakatan dan kerohaniaan yang sangat besar maknanya bagi masyarakat Islam.

Sejarah menyatakan dari Masjidlah tentara Islam berangkat untuk menyebarluaskan hidayah Allah (agama Islam) ke seluruh penjuru dunia. Dan di Masjidlah diolah dan dikembangkan kebudayaan Islam. Abu Bakar, Umar, Ali, Khalid, Said, Abu Ubadah dan para pembesar lainnya dalam sejarah Islam adalah tamatan madrasah Islamiyah yang berpusat di Masjid.

Hal lain yang perlu dicatat ialah Masjid meru¬pakan sarana pendidikan Islam yang bersifat masal dan pekanan. Setiap ekan (yaitu pada hari Jum’at) dicanangkan seruan untuk mengikis habis kemungkaran di samping perintah untuk menegak¬kan kebenaran dan keadilan. Dan dalam Masjid itu diberikan pula peringatan bagi orang yang lupa pada Islam, diserukan persatuan umat, diprotes segala bentuk kezaliman berikut pelaku-pelakunya. Bukan¬kah dulu dari Masjidlah digalang persatuan dan semangat juang umat Islam untuk mengenyahkan penjajah, baik yang bernama imperialisme Perancis, Inggris, Belanda dan konco-konconya, maupun yang bernama Zeonisme Yahudi? Jika dewasa ini Masjid tidak difungsikan sebagaimana mestinya lagi, maka itulah kesalahan khatib-khatib yang rela membelok¬kan ajaran agama, hanya karena keselamatan pribadi dan kepentingan perut dan kedudukannya.

Sangat beruntung jika dalam keadaan tidak berfungsinya Masjid-masjid dewasa ini bangkit ulama yang ikhlas demi Allah. Mereka menyerukan agar kembali menjadikan Masjid sebagai sentral dakwah Islamiyah. Dari sanalah kita bina masyarakat Islam, kita bina dan cetak kader-kader, dan kita siapkan pahlawan-pahlawan agama. Dari sanalah kita pernangi kejahatan dan kemungkaran, guna memudah¬kan terbentuknya masyarakat Islam yang diidam¬-idamkan. Kemudian pendirian seperti ini disadani dan dilanjutkan oleh generasi muda Islam yang su¬dah berilmu dan berakhlak bagaikan akhlaknya Rasulullah saw.

Kelima belas

Persaudaraan yang dibina Rasulullah antana kaum Muhajirin dan Anshar adalah juga merupakan kenyataan dan keadilan Islam yang berperikemanu¬siaan, bermoral, dan konstruktif. Kaum Muhajirin telah meninggalkan negeri kelahirannya dengan tidak membawa harta benda, sedangkan kaum Anshae rata-rata merupakan orang-orang kaya dengan hasil pertanian dan industri.

Oleh karena itu pantaslah jika mereka turun tangan mengatasi kesulitan-kesulitan yang diderita oleh saudara-saudaranya yang Muhajirin. Sungguh ini adalah perbuatan yang melebihi ajaran keadilan sosial yang didengung-dengungkan faham sosialisme dewasa ini?

Atas dasar di atas dapatlah dikatakan, orang-¬orang yang mengingkari adanya keadilan sosial dalam Islam adalah orang yang memutarbalikkan fakta, setidak-tidaknya bermaksud agar ajaran ini ditinggalkan sedikit demi sedikit, atau agar orang yang belum memeluknya sama sekali menjadi tidak senang kepadanya. Kalau orang yang mengingkari¬nya itu adalah onang Islam sendiri, maka pastilah mereka itu orang yang jumud (tidak mengerti) yang tidak suka akan kata “keadilan sosial” itu saja. Sejarah telah membuktikan hal ini, Nabi saw. sendiri telah menegakkannya dan sekaligus menjadikannya landasan bagi berdirinya masyarakat dan negara Islam yang dipimpinnya sendiri.

Keenam belas

Dalam piagam persaudaraan antara kaum Muhajinin dan kaum Anshar, di satu pihak, dan piagam kerjasama antara kaum Muslimin dengan non Muslim di lain pihak, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan Daulah Islamiyah itu ditegakkan di atas prinsip keadilan, asas hubungan antara Muslimin dan non Muslimin adalah perdamaian. Dalam piagam tersebut ditegaskan pula kebenaran, keadilan, gotong royong dalam kebaikan dan dalam mengikis segala akibat yang ditimbulkan oleh ke¬mungkaran, yang telah melanda masyarakat meru¬pakan tema-tema yang selalu dibawa oleh agama Islam. Daulah Islamiyah itu, di mana dan kapan pun adanya, haruslah ditegakkan di atas pninsip-prinsip yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Prinsip¬-prinsip dimaksud tentulah yang terbaik di antana prinsip-prinsip kenegaraan yang ada dan dipraktek¬kan dewasa ini. Usaha-usaha masyarakat Islam ada¬lah sangat relevan dengan perkembangan pemikiran manusia tentang kenegaraan, hal mana masyarakat Islam sendiri harus mencontoh ajaran Islam sendiri.

Di negeri Islam, kaum Muslimin tetap dilarang mengganggu kawan-kawannya yang non Muslim. Dilarang menganggu keyakinan mereka dan dilarang memperkosa hak-hak mereka. Mengapa orang-orang masih tidak setuju memberlakukan hukum Islam di negerinya masing-masing, padahal hukum Islam ini cukup adil, benar, kokoh, memen¬tingkan keadilan sosial yang berasaskan persau¬daraan, cinta mencintai, dan tolong menolong?

Kepada seluruh umat Muslimin patutlah diperingatkan, penjajahan, dalam segala bentuk dan manifestasinya, tidaklah akan terkikis habis, melain¬kan dengan cara menerapkan Islam. Inilah inti perjuangan dakwah dewasa ini. Perhatikan firman Allah berikut, “Sekiranya penduduk negeri sudah beriman dan bertakwa, pastilah akan Kami limpahkan kepadanya keberkahan dan langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)

“Dan yang Kami perintahkan ini adalah jalan yang lurus, maka turutilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan yang lain itu mencerai-beraikan kamu dan membelokkan dan jalan¬Nya.” (Al-An’am: 153)

“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan kelua dan memberinya rezeki dari jalan yang tiada disangka-sangka, dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Ia akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (At-Thalaq: 2-3)

“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (At-Thalaq: 4)

“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (At-Thalaq: 5)

Hijrah & Pembentukan Masyarakat Madani

Hijrah dalam kamus-kamus bahasa Arab berakar pada huruf ha-ja-ra, yang berarti pisah, pindah dari satu negeri ke negeri lain, berjalan di waktu tengah hari, igauan dan mimpi. Namun, dalam terminologi Islam, hijrah sering diartikan dengan meninggalkan negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman demi keselamatan dalam menjalankan agama.

Dalam sejarah perjalanan dakwah, hampir semua para nabi, khususnya ulul azmi, pernah melakukan hijrah. Hijrah secara fisik yang dikenal dalam Islam adalah hijrah sebagian sahabat, yang terbanyak dari kalangan mustad’afin (orang-orang yang lemah secara politik dan ekonomi), ke negeri Habasyah sebanyak dua kali.

Hijrah pertama ini diikuti hanya oleh dua puluh orang. Di dalam rombongan ini terdapat Ruqayyah binti Muhammad (putri Rasulullah saw.) dan suaminya Utsman bin Affan. Mereka berlayar secara diam-diam menuju Habasyah dengan menggunakan kapal dagang. Kaum musyrik Mekah kemudian mengirim pasukan untuk mengejar mereka. Namun, kaum muslim telah berlayar setibanya pasukan di tepi laut. Peristiwa ini terjadi di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Hijrah ke Habasyah ini dilakukan kaum muslim karena semakin meningkatnya intimidasi kaum Qurisy pada mereka. Setelah dua bulan tinggal di Habasyah, mereka kembali ke Mekah karena mengira intimidasi kaum Quraisy sudah jauh berkurang.

Namun, perkiraan itu salah. Sebab, pada kenyataannya kaum musyrik Mekah malah meningkatkan intimidasinya terhadap kaum muslim. Nabi Muhammad saw. kemudian menyarankan para sahabatnya untuk hijrah kembali ke Habasyah. Rencana hijrah kedua ini lebih berat karena pihak musuh sudah mencium rencana tersebut. Hal ini menyebabkan kaum muslim bergerak lebih cepat. Rombongan ini dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan sebanyak delapan puluh tiga pria dan tiga belas wanita berhasil berangkat hijrah ke Habasyah. Mereka tiba dengan selamat. Tetapi, tidak lama kemudian datang utusan dari Mekah yang dipimpin oleh ‘Amr bin al-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka bermaksud meminta kaum muslim, sambil membawa banyak hadiah untuk Raja Najasyi. Terjadilah dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan utusan dari kaum musyrik Mekah dihadapan Raja Najasyi. Namun, pada akhirnya kaum muslim berhasil meyakinkan Raja Najasyi akan kebenaran hijrah mereka, dan utusan kaum musyrik pun kembali ke Mekah tanpa hasil.

Rasulullah saw kemudian mengirim surat kepada Raja Najasyi dan menyerunya untuk masuk Islam. Raja Najasyi menerima seruan tersebut. Dan tatkala raja Najasyi ini meninggal dunia, Rasulullah sawpun melakukan shalat gaib untuknya.

Semakin lama tekanan dan intimidasi yang dialami oleh Rasulullah saw. dan kaum muslim semakin dahsyat. Hal inilah yang menyebabkan mereka hijrah Madinah. Jika hijrah ke Habasyah dilakukan secara kecil-kecilan oleh sejumlah sahabat, maka hijrah ke Madinah ini dilakukan dengan perbekalan dan persiapan yang matang dan memadai.

Namun, peristiwa yang sangat menentukan kesuksesan dakwah Islam, dan menjadi titik peralihan menuju kemenangan adalah ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya berhasil hijrah ke Madinah dengan selamat. Keberhasilan hijrah ini tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya, yaitu proses sumpah setia atau bai’ah oleh beberapa orang dari Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’atul ‘Aqabah al Ula wa Tsaniyah.

Bai’ah yang pertama dilakukan oleh sepuluh orang dari suku Khazraj dan dua orang dari suku Aus kepada Rasulullah saw. Bai’ah ini dilakukan ketika mereka ziarah ke Masjidil Haram. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-12 kenabian (tahun 621 M di bulan Juli) di Aqabah, Mina. Adapun teks bai’ahnya: “Kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan apapun juga, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berdusta dengan menutup-nutupi apa yang ada di depan dan di belakang kami, dan tidak akan membantah perintah nabi dalam hal kebajikan” (HR. al-Bukhari)

Sedangkan bai’ah yang kedua terjadi pada musim haji tahun ke-13 kenabian (tahun 622, bulan Juni) di tempat yang sama. Adapun isinya adalah, “Kalian membai’atku dengan berjanji untuk patuh dan setia kepadaku, baik dalam keadaan sibuk maupun senggang, memberi infak baik dalam keadaan lapang rezeki maupun sempit, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, teguh membela agama Allah tanpa memperhatikan perbedaan ras, tidak takut dicela orang lain, tetap membantu dan membelaku ketika aku berada di tengah-tengah kalian sebagaimana kalian membela diri dan anak isteri kalian. Jika kalian melaksanakan semua ini, kalian akan memdapatkan surga.” (HR. Ahmad bin Hanbal)

Peristiwa yang lainnya adalah kesepakatan para pemuka suku Quraiys untuk menghabisi kaum muslim dan Rasulullah saw. di Darun Nadwah. Namun, kesepakatan ini diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu yang turun kepadanya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (al-Anfal: 30)

Rasulullah saw. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah setelah turunnya ayat ini. Para sahabat mulai meninggalkan Mekah secara bergelombang. Rasulullah saw. sendiri adalah orang yang terakhir pergi ke Madinah.

Rasulullah saw. menyiapkan hijrah ini secara matang. Sebab, target utama kaum musyrik Mekah adalah mengagalkan hijrah kaum muslimin. Rasulullah saw. menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi, dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq menemaninya, dan seorang pemandu jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqit.

Rasulullah saw. meninggalkan rumah pada malam hari tanggal 27 bulan Shafar tahun ke-13 kenabian atau bertepatan dengan tanggal 12 atau 13 September tahun 622 M. Perjalanan awal keluar Mekah jusru menempuh jalan yang berlawanan dengan jalan menuju Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh para pengejar. Gua Tsur adalah tempat tujuan mereka. Di gua ini mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar, tetapi keberadaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar di dalam gua tidak diketahui mereka.

Setelah berhasil lolos dari pengejaran kaum musyrik Mekah, perjalanan dilanjutkan kembali. Tetapi ternyata, para pemburu bayaran yang diiming-imingi hadiah besar oleh pihak Mekah terus mengintai mereka. Salah satu dari mereka adalah Suraqah bin Malik. Ia berhasil mengejar dan mendekati Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Namun, setelah melihat mukzijat kenabian dari Rasulullah saw., Suraqah akhirnya tunduk.

Rasulullah saw. akhirnya tiba di Yatsrib (Madinah) pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun yang sama. Beliau disambut penduduk Madinah dengan meriah. Al-Barra bin ‘Azib seorang sahabat dari kaum Anshor mengatakan, “Orang pertama dari para sahabat yang datang ke Yatsrib ialah Mus’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang inilah yangmengajarkan Al Qur’an kepada kami. Kemudian menyusul Ammar bin Yasir, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Umar bin al-Khaththab bersama kafilah yang terdiri dari dua puluh orang. Setelah itu, barulah Rasulullah saw datang menyusul. Saya belum pernah melihat banyak orang bergembira seperti saat mereka menyambut kedatangan beliau, sehingga kaum wanita, anak-anak, dan para hamba sahaya perempuan bersorak-sorai meneriakkan, “Itulah dia, Rasulullah saw telah datang.” (HR. al-Bukhari).

Kedatangan Rasulullah saw di kota Yatsrib ternyata membawa perubahan yang sangat besar bagi perkembangan Islam. Paling tidak, beliau berhasil menjadi juru damai bagi dua suku asli penduduk Yatsrib, yaitu suku Aus dan Khzaraj. Rasulullah saw. mempersaudarakan, menyatukan, dan mendamaikan mereka dengan ikatan iman dan Islam serta persaudaraan Islamiyah. Sehingga terhapuslah di hati mereka militansi kesukuan yang sempit. Sementara itu, para pendatang Muhajirin juga mulai mewarnai aktivitas di kota itu dengan perdagangan. Tak lama kemudian, kaum Muhajirin mampu menggeser dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi.

Rasulullah saw. emudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak pembentukan masyarakat baru, yaitu:

1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun masjid;

2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum Anshor;

3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian perdamaian.

Melalui tiga hal di atas, Rasulullah saw. berhasil membangun masyarakat ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah, artinya “kota” atau “tempat peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah saw. secara bertahap menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan yang damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu, banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk Islam.

Setelah terbentuknya negara Madinah, Islam mulai menguatkan eksistensinya di wilayah sekitar kota Madinah, sampai kota Mekah pun dapat dibebaskan. Dengan dibebaskannya Mekah tidak ada lagi hijrah ke Madinah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Tidak ada hijrah setelah pembebasan (Mekah).” (HR. al-Bukhari)

Tetapi, menurut Munawar Khalil, hijrah dalam pengertian meninggalkan sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang baik atau hijrah secara maknawiyah spiritual merupakan kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hidupnya. Hijrah maknawiyah ini terus berlaku sepanjang masa. Dan mengingat pentingnya peristiwa hijrah ini, Umar ibnul Khaththab, berdasarkan usul Ali bin Abi Thalib, menetapkan peristiwa hijrah ini sebagai awal tahun penanggalan Islam.

Setelah mengalami perjalanan hijrah yang cukup melelahkan dan penuh ketegangan, Rasulullah saw. dan Abu Bakar akhirnya sampai di kota tujuan, Yatsrib. Kaum muslim yang menantikan mereka dengan cemas akhirnya merasa lega. Mereka menyambut Rasulullah saw. dan Abu Bakar dengan penuh suka cita. Mereka bahkan bersenandung, bernyanyi, dan bersyukur akan kedatangan Rasullah saw. dan Abu Bakar yang selamat dan tidak kurang suatu apapun jua.

Rasulullah saw. kemudian mengganti nama kota Yastrib dengan nama al-Madinah al-Munawarah atau lebih dikenal dengan Madinah. Kota ini kemudian menjadi tanah suci karena disucikan oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalam sabdanya, “Rasulullah saw. telah mensucikan tanah antara dua laba (tanah berbatu hitam antara timur dan barat) Madinah.” (HR. Muslim). Kota ini terletak kurang lebih 350 km di utara kota Mekah.

Rasulullah saw. tiba pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H atau 27 September 622 M di perkampungan Bani Najjar di Madinah. Beliau turun dari untanya di depan rumah Abu Ayub, seraya berkata, “Di rumah inilah, insya Allah”. Beliau kemudian masuk ke rumah Abu Ayub dan tinggal untuk sementara waktu.

Sebelum masuk kota Madinah, Rasullah saw. singgah di pemukiman Bani ‘Amr bin ‘Auf selama empat belas hari. Dalam waktu yang singkat tersebut beliau membangun masjid Quba. Masjid itu adalah menjadi masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam. Mengenai masjid tersebut, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at- Taubah: 108)

Setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw. mulai membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Ada dua hal utama yang dikerjakan Rasulullah saw, yaitu: Pertama, menguatkan hubungan vertikal kaum muslim dengan Allah swt., melalui sarana masjid; Kedua, menguatkan hubungan horizontal sesama muslim melalui proses ta-akhi (persaudaraan), dan antara umat Islam dengan non Islam dengan Mii-tsaqul Madinah (Piagam Madinah).

Di dalam hadits dijelaskan, pekerjaan pertama yang dilakukan Rasululah saw. di Madinah adalah membangun masjid. Tempat yang dipilih adalah sebidang tanah milik dua orang anak asuh As’ad bin Zararah di Mirbad. Mereka sebenarnya ingin memberikan tanah itu secara cuma-cuma, tetapi Rasulullah saw. tetap membayarnya. Tanah itu sebelumnya ditumbuhi beberapa pohon kurma liar dan beberapa buah kuburan orang-orang musyrik.

Masjid itu berukuran kurang lebih seratus hasta, terdiri dari sebidang tanah segi empat sama sisi, dibatasi oleh bekas pelepah-pelepah kurma, dengan kiblat masih menghadap ke Masjidil Aqsha. Lantainya terdiri dari pasir dan kerikil, sedangkan tiang dan atapnya dari batang dan pelepah daun kurma. Rasulullah saw. ikut turun tangan membangun masjid bersama para sahabatnya. Mereka mengerjakannya sambil bersyair dan bersenandung.

Mengapa masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah saw. dan bukan yang lainnya? Sebab, Rasulullah mengetahui bahwa imanlah sesungguhnya inti kekuatan dari masyarakat madani yang hendak dibangun. Maka, masjid adalah sarana yang tepat untuk memelihara iman agar tetap kokoh dan mantap. Masjid akan melahirkan keimanan yang produktif, yang hidup dan menghidupkan, dan memberi manfaat bagi kehidupan seluruh alam. Adanya masjid menempa para sahabat untuk berjuang lebih lanjut, karena memang tantangan dakwah Islam selanjutnya akan lebih berat. Karena itu, mereka harus memiliki iman kokoh yang tidak melahirkan rasa takut dan gentar kecuali kepada Allah swt., “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap meadirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah.” (at-Taubah: 18)

Selain itu, masjid ini juga diharapkan menjadi tempat pembinaan umat secara keseluruhan, baik dalam rangka menyusun strategi dakwah maupun taktik lainnya. Dari masjid inilah lahir masyarakat baru yang dikenal dengan nama masyarakat madinah, nama itu menjadi acuan bagi peristilahan masyarakat madani (civil societ) yang sekarang ini sedang ngetrend.

Masyarakat madani adalah masyarakat yang harmonis dan seimbang, baik secara lahir maupun batin, juga dalam hubungan vertikal kepada Al-Kholik dan horizontal sesama makhluk, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)

Masjid secara vertikal menguatkan hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, dan secara horizontal menguatkan hubungan antar anggota masyarakat muslim. Proses ini berjalan secara paralel, yaitu seiring adanya pertemuan intens dalam sholat fardhu sehari semalam sebanyak lima kali dan sholat Jum’at sekali seminggu. Hal ini melahirkan barisan kaum muslimin yang kokoh dan kuat yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Barisan ini kemudian menjadi pasukan yang mampu menaklukkan kekuatan pasukan kaum musyrik Mekah di berbagai peperangan. Barisan ini juga ditakuti oleh kabilah-kabilah di pedalaman, dan pada akhirnya mampu membalikkan kenyataan: mengusir tentara Romawi dan berhadapan dengan pasukan Rustum (seorang jenderal Persia). Beberapa saat sebelumnya, tidak terbersit sedikitpun di dalam benak kaum muslim bahwa mereka akan mampu melakukannya. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff: 4)

Hal kedua yang Rasulullah saw. lakukan adalah melaksanakan strategi ‘ta-akhi bainal muhaajiriina wal anshaari’ (persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor) yang dimaksudkan untuk menguatkan kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslim. Tujuan lain dari hal ini adalah untuk menguatkan hubungan antara pendatang dan penduduk asli, memusnahkan fanatisme kesukuan ala jahiliyah, dan menumbuhkan semangat pengabdian yang ditujukan hanya untuk Islam. Karena secara historis, orang-orang Anshar yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khajraz pernah saling bermusuhan. Darah yang belum kering, dendam yang belum padam, sirna dihapus oleh jiwa baru persaudaraan Islam.

Melalui persaudaraan ini, Rasulullah saw. berhasil menyatukan kaum muslimin tidak hanya pada tataran teoritis, namun juga pada tataran aplikasi. Pada kenyataannya, persaudaraan ini mengikat serta mempersatukan tidak hanya jiwa namun juga harta mereka. Mengenai hal ini al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut, “Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan antara Abdur Rahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Ketika itu, Sa’ad berkata kepadanya, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta kekayaan. Harta kekayaanku ini akan aku bagi dua, separuh untukmu dan separuh untukku. Aku juga mempunyai dua orang isteri, lihat mana yang paling baik untuk anda. Sebutkan namanya, maka ia akan segera kuceraikan, dan sehabis masa iddahnya kupersilahkan engkau menikah dengannya.” Mendengar hal itu, Abdur Rahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan anda. Tunjukan saja kepadaku, dimanakah pasar kota kalian?” Abdur Rahman kemudian ditunjukkan pasar milik Bani Qainuqo. Maka mulailah Abdur Rahman berkerja, dan ketika pulang ia membawa gandum dan samin. Setiap pagi dia melakukan hal itu. Sampai pada satu hari beliau mendatangi Rasulullah saw. dengan pakaian yang bagus dan rapi. Rasulullah saw. pun berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah mempunyai penghasilan?” Jawabnya, “Saya sudah menikah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Berapa mas kawin yang engkau berikan kepada isterimu?” Ia menjawab lagi, “Setail uang emas.” (HR. al-Bukhari)

Sesungguhnya dialog yang terjadi antara Abdur Rahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Rabi’ melebihi dialog antar dua insan bersaudara. Akan tetapi, sesungguhnya ia merupakan dialog iman. Dari dialog ini terlihat sikap itsar atau rela berkorban, membagi, dan solidaritas, namun juga diimbangi dengan sikap ta’affuf atau harga diri yang tinggi, pantang menyerah, dan putus harapan. Antara itsar dan ta’affuf, antara membagi dan dan tidak putus asa adalah sinergi yang melahirkan dinamika dan produktivitas hidup. Hal ini melahirkan energi kuat yang menjadi penggerak kemenangan kaum muslim saat itu.

Namun, dua jiwa itu seakan hilang saat ini. Tidak ada lagi itsar dan ta’affuf. Kalaupun ada itsar namun ta’affuf mati, seakan-akan memberi makan orang kuat namun pemalas. Akibatnya, umat Islam dewasa ini menjadi mandul, kurang produktivitas, dan hina di mata musuhnya. Akan tetapi, generasi awal umat ini tidaklah demikian, sebagaimana Abdur Rahman bin ‘Auf yang mempunyai jiwa pantang menyerah. Hanya dalam waktu singkat ia sudah mampu menikah lagi dengan mahar yang cukup mahal. Abdur Rahman bin ‘Auf bersama Ustman bin Affan serta sahabat lainnya merupakan pebisnis ulung, yang pada akhirnya mampu menggusur dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi di Madinah. Karena itu, memepertahankan martabat dan harga diri, tingginya solidaritas, dan kesiapan berkorban menjadi penentu bagi kemuliaan Islam dan umatnya. Di sisi lain, amat tercela bagi sebagian orang yang memeluk Islam sekaligus menelan Islam, yaitu orang-orang yang mencari makan atas nama Islam sehingga mengakibatkan hancurnya martabat dan kehormatan Islam di dunia ini.

Sesungguhnya Islam dibangun atas landasan persaudaraan sejati yang merupakan buah dari keimanan yang tinggi. Jika kita mengambil contoh dari Rasulullah saw. dan para sahabat, maka persaudaraan sejati semacam itu hanya terdapat pada manusia-manusia yang berjiwa bersih dan berakhlak mulia. Persaudaraan ini melahirkan cinta kasih, ibarat mata air yang memancar keluar dan mengalir dengan sendirinya. Hal ini tidak bisa dipaksakan dengan peraturan atau undang-undang apapun juga. Persaudaraan ini akan berkembang di dalam hati dan membebaskan fikiran manusia dari cengkeraman egoisme, kekikiran, serta akhlak dan budi pekerti yang rendah.

Inilah dia sesungguhnya gambaran masyarakat madani itu, satu tipe alternatif yang dicita-citakan masyarakat manusia sekarang ini. Masyarakat yang harmonis, penuh kasih sayang dan toleransi, serta rahmat bagi semua. Karena itulah, mengawali keberadaannya di kota Madinah, Rasulullah saw. mensosialisasikan slogan-slogannya, yaitu keselamatan, kesejahteraan, keamanan, kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan.

Abdullah bin Salam, seorang rahib Yahudi yang masuk Islam, mengatakan, “Aku mendatangi Rasulullah saw. saat ia tiba di Madinah. Jelaslah bagiku wajahnya, dan tidak tampak padanya wajah seorang pendusta. Hal yang pertama kali aku dengar dari ucapan-ucapannya adalah:

“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah persaudaraan, dan sholatlah di waktu malam sementara manusia tidur, maka kalian akan masuk surga Tuhanmu dengan sejahtera.” (HR.at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan ad-Daarimi)

“Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak tenteram dari gangguan-gangguannya.” (HR. Muslim)

“Seorang muslim adalah orang yang membuat muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

“Tidak beriman seseorang daripadamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)

“Orang-orang beriman seperti satu tubuh, apabila matanya sakit, sakit pulalah seluruh badannya, dan apabila kepalanya sakit, sakit pulalah seluruh tubuhnya.” (HR.Muslim)

“Janganlah kalian saling membenci, saling hasad, dan saling bertengkar. Tetapi, jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan (memusuhi) saudaranya melebihi tiga hari.” (HR. Bukhari)

Saat-saat Menjelang Hijrah Ke Madinah

BEBERAPA FAKTA SEJARAH

Pertama

Abu Thalib wafat pada tahun kesepuluh kenabian Muhammad saw. Selama hayatnya, Abu Thalib merupakan pembela Nabi yang gigih, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak berani mengganggu atau menyakiti Nabi secara langsung. Abu Thalib adalah seorang yang terhormat di kalangan mereka. Setelah dia wafat, mulailah orang-orang Quraisy menghalangi dan mengganggu Nabi secara langsung. Nabi sangat berduka dengan kematian pamannya itu.

Meski membela Nabi, Abu Thalib hingga saat menghembuskan nafas terakhir tetap tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini karena ia ingin mempertahankan wibawa Bani Muthal­lib di mata masyarakat Quraisy secara keseluruhan.

Kedua

Pada tahun yang sama wafat pula isteri Nabi, Khadijah. Dia adalah srikandi yang mampu meringankan penderitaan Nabi yang disebabkan oleh tindakan kasar orang-orang kafir Quraisy. Tentu wafatnya Khadijah menimbulkan rasa sedih di hati Nabi Muhammad saw.

Tahun kesepuluh kenabian ini, karena terjadi peristiwa wafatnya dua orang pembela dakwah Nabi—Abu Thalib dan Khadijah—oleh para sejarahwan disebut sebagai amul hazni (tahun duka cita).

Ketiga

Dengan makin meningkatnya gangguan dan teror serta siksaan kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin, maka hijrahlah Nabi ke Thaif dengan harapan akan memperoleh pertolongan serta peneri­maan yang sebaik-baiknya dari orang-orang Bani Tsaqif di sana.

Akan tetapi Nabi mendapati kenyataan yang sebaliknya. Orang-­orang Bani Tsaqif mengerahkan anak-anak mereka untuk melempari­ Nabi dengan batu. Nabi menderita luka-­luka. Melihat keadaan itu, Nabi pun berlindung di dalam sebuah kebun dan berdoa kepada Allah swt.

Doa dimaksud berbunyi:

“Wahai Tuhanku, kepada-Mu hamba mengadukan lemahnya kekuatanku, sempitnya upayaku, dan hinanya aku di mata manusia.

Wahai Tuhan, Engkaulah yang lebih pengasih dari semua pengasih, Engkaulah pelindung orang-orang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku.

Kepada siapakah Engkau akan menyerahkan diri hamba ini? Kepada yang jauh dan menghadapiku dengan muka masamkah, atau kepada musuh yang membenciku?

Kalau Engkau tiada memurkaiku, tiadalah mengapa. Tetapi maafmulah yang sangat kudambakan.

Aku berlindung di bawah nur-Mu yang menerangi semua kegelapan, dan atasnyalah urusan dunia dan akhirat akan menjadi baik, agar janganlah kiranya Engkau turunkan murka-Mu kepadaku.

Untukmulah aku rela dihinakan, asal saja Engkau masih mencintaiku.

Dan tiada daya dan upaya, tiada kekuatan, kecuali dari-Mu.”

Keempat

Pada suatu malam, atas kekuasaan Allah swt. Rasulullah saw. melakukan perjalanan ke Isra’ Mi’raj. Dari Makkah ke Yerusalem. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Setelah itu Mi’raj ke Shidratul Muntaha.

Saat Mi’raj ke Shidratul Muntaha, Rasulullah saw. mendapat perintah langsung dari Allah swt. untuk menunaikan sholat lima waktu. Rasulullah saw. juga bertemu dengan para nabi-nabi terdahulu.

Kelima

Di musim haji Rasulullah saw. datang menemui setiap kafilah haji yang datang. Beliau mendakwahi dan mengajak mereka beriman kepada Allah swt. Rasulullah saw. bertemu dengan rombongan haji dari Yatsrib di Aqabah. Tujuh orang rombongan haji dari Yatsrib ini bersyahadat dan berbai’at kepada Rasulullah saw.

BEBERAPA PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL

Pertama

Seorang dai boleh saja mengangkat salah seorang anggota keluarganya sebagai pelindung, manakala ia bersedia membela pribadi sang dai, walaupun dia belum mau menerima isi dakwahnya sendiri. Fanatisme kesukuan atau kekeluargaan boleh saja dimanfaatkan sejauh tidak menggerogoti dai dan ajaran-ajaran yang didakwahkannya. Dengan kata lain, sejauh tidak menimbulkan kemungkaran-­kemungkaran.

Kedua

Isteri yang shalihah dan yakin akan kebenaran apa yang didakwahkan suaminya, akan dapat meringan­kan kesulitan-kesulitan yang menghalangi dakwah, kalau saja dia terlibat dalam cita-cita dakwah itu. Hal ini akan membantu mengatasi kesulitan­kesulitan yang melanda sang suami, sang dai itu, sehingga dia semakin berketetapan hati untuk meneruskan cita-cita dakwahnya. Apa yang telah dilaku­kan oleh Sayyidatina Khadijah terhadap Rasulullah saw. tidak lain adalah keteladan tentang bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh isteri dalam membela dakwah untuk kebenaran dan kebaikan. Peran yang diambil oleh sang isteri itu tentulah menunjang kesuksesan sang dai di satu pihak, dan membuatnya bersemangat untuk terus menjalankan dakwahnya di lain pihak.

Ketiga

Sedih karena ditinggal pembela dakwah beta­papun sang pembela itu belum beriman terhadap kebenaran isi dakwah, dan sedih karena ditinggalkan sang isteri yang sudah beriman dan ikut bertanggung jawab terhadap kesuksesan dakwah, tentulah merupakan kesedihan yang timbul dari sikap ikhlas dan tulus dalam menjalankan dakwah, serta merupakan tanda penghargaan sang dai untuk sang isteri yang sanggup berkorban demi kepentingan yang sama. Inilah dasarnya mengapa Nabi Muhammad saw. selalu mendoakan Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan belum mengikrarkan dua kalimat syahadat. Tersebutlah dalam suatu riwayat, Nabi mengucapkan kata-kata sebagai berikut, “Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat dan ampunan-Nya bagimu (Abu Thalib). Aku akan selalu memintakan ampun untukmu, hingga Allah mencegahku.”

Hadits inipada masa selanjutnya dijadikan sebagai dasar hukum oleh kaum Muslimin tentang bolehnya mendoakan nenek moyangnya yang sudah meninggal, tapi belum masuk Islam. Akan tetapi kebiasaan seperti ini dilarang oleh Allah swt. melalui firman-Nya, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan onang-onang yang beniman memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang syirik, walaupun mereka itu kaum kerabatnya sendiri, sesudah jelas bagi mereka, orang-­orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS. At-Taubah (9): 113]

Dapat dimaklumi jika Rasulullah saw. selama hayatnya senantiasa mengenang jasa-jasa Khadijah, selalu memperlihatkan kasih sayang, dan selalu baik kepada sahabat-sahabat Khadijah di semasa hidupnya. Siti Aisyah sendiri merasa cemburu lantaran seringnya Nabi menyanjung-nyanjung Khadijah. Imam Bukhari meriwayatkan pertanyaan Aisyah itu sebagai benikut.

Aisyah mengatakan, “Cemburuku kepada isteri-­isteri Rasulullah yang lain tidaklah sebesar cemburuku kepada Siti Khadijah. Memang aku tidak sempat bertemu muka dengannya, tetapi Nabi sering menyebutnya. Beliau pernah memotong kambing, dan setelah dipotong-potong dibagikannyalah daging itu kepada sahabat-sahabat Khadijah. Pernah aku mengatakan kepadanya agaknya beliau (Khadijah) itu merupakan satu-satunya wanita di dunia ini, ya Rasulullah. Nabi menjawab celotehku itu dengan mengatakan Khadijah adalah seorang wanita yang demikian demikian demikian, dan saya dikaruniai keturunan darinya.”

Keempat

Hijrah Rasulullah ke Thaif, setelah penduduk Makkah tak berkenan kepadanya, menandakan kesungguhan dan kemauan keras Nabi untuk meneruskan dakwahnya dan menyatakan beliau tidak mengenal putus asa serta tidak kehilangan akal untuk mencari lapangan (medan) dakwah yang baru. Sedangkan arti yang terkandung dalam peristiwa pengerahan anak-anak oleh Bani Tsaqif untuk menghajar Nabi ketika berada di Thaif adalah kejahatan selalu dilakukan dengan menunggangi orang-orang yang tidak mengerti apa-apa.

Dan darah yang mengalir dari luka-luka di kaki Nabi saw. akibat lemparan batu Bani Tsaqif merupakan peristiwa yang mengingatkan para da’i akan perlunya ketangguhan mental dalam melaksanakan dakwah. Sebab, berdakwah adalah tugas yang selalu akan dihadapkan pada tantangan dan gang­guan fisik.

Begitulah kesungguhan Rasulullah saw. dalam mengemban misi suci dari Allah swt. Di tengah-­tengah situasi yang sulit, keseriusan Rasulullah saw. dalam berdakwah tercermin dalam doa beliau ketika menyelamat­kan diri di dalam kebun. Rasulullah tidak berkebera­tan terhadap segala siksaan yang diterimanya, tetapi justru kemurkaan Allah sajalah yang beliau takuti. Beliau hanya berkepentingan untuk memperoleh ridha Allah, bukan ridhanya para pemimpin dan pembesar negara atau kerajaan, bukan juga keridhaan ma­syarakat umum dan orang-orang yang degil.

Kelima

Mukjizat Isra’ Mi’raj itu mengandung beberapa rahasia. Tetapi di sini akan kita lihat tiga saja, yaitu:

1. Masalah Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya (Pa­lestina) berkaitan dengan persoalan dunia Is­lam. Oleh karena Makkah telah menjadi pusat dunia Islam dan merupakan lambang persatuan, dan membela Palestina adalah juga berarti membela Is­lam, maka setiap Muslim wajib melakukan pembela­an itu. Sebaliknya melalaikan pembelaan, berarti mengenyampingkan Islam, yang dengan sendirinya akan merupakan dosa yang akan mengundang murka Allah kepada kaum Mukminin seluruh dunia.

2. Mu’jizat Isra’dan Mi’raj ini menandakan keting­gian martabat kaum Muslimin dan wajibnya mengutamakan Islam daripada tuntutan hawa nafsu duniawi. Isra’ Mi’raj juga menegaskan bahwa ketinggian kedudu­kan dan martabat serta cita-cita Islam itu merupakan monopoli kaum Muslimin.

3. Mengisyaratkan mungkinnya dilakukan penje­lajahan ke luar angkasa sepanjang sejarah. Disamping itu diisyaratkan pula mungkinnya kembali dari penjelajahan angkasa luar ke planet bumi ini dalam keadaan selamat. Kalau Rasulullah saw. dulu mengalami hal itu dengan mu’jizatnya, maka bagi manusia biasa hal tersebut hanya mungkin dengan ilmu dan pemikiran.

Keenam

Diwajibkannya shalat pada waktu Isra’ Mi’raj mengandung hikmah, shalat itu merupakan Mi’raj bagi orang yang beriman. Seakan Allah hendak me­ngatakan kepada manusia, kalau Mi’rajnya Rasu­lullah dijalaninya dengan jasad dan rohnya, maka kamu (kaum Muslimin) hendaknya menjadikan shalat lima waktu sehari semalam itu sebagai Mi’raj­mu, dengan roh dan kalbumu naik kepada-Ku. Dan hendaklah pendakian spiritualmu itu merupakan usaha melampaui nafsu syahwat dan penyaksian sebagian tanda-tanda keagungan, kekuasaan, dan keesaan-Ku. Sebab dengan cara itu sajalah kamu sekalian dimungkinkan menjadi pengendali segala sesuatu yang ada di bumi ini. Tidak dengan jalan perbudakan, paksaan, ataupun peperangan, melain­kan dengan jalan yang baik dan mulia.

Ketujuh

Kontak yang dilakukan Rasulullah dengan jamaah haji setiap tahun itu menandakan seorang dai tidak sepantasnya membatasi sasaran dan ling­kup dakwahnya sekitar orang-orang yang ada di sekelilingnya saja. Sebaliknya ia harus menjangkau tempat-tempat orang-orang berkumpul atau mungkin berkumpul di situ. Juga tidak pantas kalau ia cepat putus asa, karena orang-orang enggan mene­rima ajakannya. Sebab Allah telah mempersiapkan pengikut-pengikut setia yang tidak terduga sebelum­nya. Dan seringkali sekelompok kecil orang justru berperan besar dalam mensukseskan dakwah dan memerangi kejahatan, berikut pecinta-pecintanya.

Berimannya tujuh orang yang dijumpai Nabi di Aqabah misalnya, ternyata merupakan cikal bakal kaum Anshar, yang di samping menjadi penolong kalangan Muhajirin, juga menjadi landasan yang kokoh bagi berdirinya negara yang memprogramkan penghapusan syinik dan musyrik, untuk selanjutnya membangun kekuasaan iman yang kekal abadi.

Sejak Pengangkatan Hingga Hijrah Ke Habsyah

Beberapa Fakta Sejarah

Pertama

Wahyu pertama turun kepada Rasulullah saw. ketika usia beliau genap empat puluh tahun, tepat pada tanggal 17 Ramadhan. Dalam buku Shahih Bukhari, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah r.a., “Mulanya Nabi saw. sering bermimpi melihat sinar, persis seperti sinar di waktu subuh. Kemudian mulailah beliau suka menyepi untuk beribadat, lalu menyendirilah beliau di Gua Hira’ beberapa waktu lamanya. Untuk itu beliau membawa bekal secukupnya. Setelah habis, beliau pun kembali ke rumah untuk mengambil tambahan. Demikianlah perbuatan itu berjalan sedemikian rupa, sehingga beliau menemukan kebenaran dan menerima kedatangan Malaikat Jibril yang mengatakan: Bacalah! Aku tidak bisa membaca, jawab Nabi. Kemudian Malaikat memeluknya erat-erat dan setelah melepaskannya berkatalah dia: Bacalah! Aku tidak bisa membaca, jawab Nabi untuk yang kedua kalinya. Malaikat kembali berbuat seperti semula. Setelah lepas, kembalilah dia mengatakan: Bacalah! Aku tidak dapat membaca, jawab Nabi untuk yang ketiga kalinya. Malaikat kembali lagi memeluknya erat-enat, kemudian melepaskannya lalu mengatakan: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dan segumpal darah. Bacalah nama Tuhanmu Yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq: 1-50)

Setelah itu Nabi pun segera pulang ke rumah dengan perasaan khawatir dan badan gemetar, me­nemui isterinya, Khadijah binti khuailid. Sesampai­nya di rumah berkatalah beliau, “Selimuti aku!” Berulang kali kata-kata ini diucapkannya, sehingga beliau diselimuti oleh isterinya. Ia diam beberapa saat, dan sementara itu rasa takutnya sudah hilang. Diceritakannyalah pada Khadijah peristiwa yang telah terjadi atas dirinya di Gua Hira’. “Sungguh aku khawatir,” ujarnya.

Khadijah berkata, “Tidak usah khawatir, sekali-kali tidak usah khawatir. Demi Tuhan, Ia tidak akan menghina­kanmu selama-lamanya. Sebab engkau adalah orang yang selalu memelihara silaturrahmi, membantu orang yang tidak punya, menghormati tetamu dan menolong orang yang menderita dalam membela kebenaran.”

Kemudian diajaknya Nabi pergi menemui pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang yang beragama Nasrani dan pernah menyalin kitab Injil berbahasa Ibrani. Beliau sudah tua dan tidak dapat melihat lagi. “Wahai Paman, dengarkan kemenakan­mu bercerita,” ujar Khadijah. “Wahai anak sauda­raku, apakah gerangan yang telah menimpa dirimu,” katanya balik bertanya yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Nabi pun bercerita. Dan setelah Nabi bercerita, Waraqah berkata, “Itu malaikat yang pennah turun kepada Nabi Musa. Seandainya aku masih hidup dan masih kuat, pastilah aku akan menolong­mu, karena engkau akan diusir oleh kaummu nanti.”

Rasulullah saw. kemudian bertanya heran. “Akankah mereka mengusirku?” tanyanya. “Ya,” jawab Waraqah singkat. “Tak seorang pun yang mengalami apa yang kau alami ini, kecuali dimusuhi oleh orang­-orang jahil. Dan kalau saja aku ini masih hidup pada waktu engkau diusir nanti, pastilah aku menolongmu,” katanya meyakinkan.

Tidak berapa lama berselang, berpulanglah Waraqah ke hadirat Allah Swt. Sementara Nabi saw. menanti-nanti wahyu yang ternyata terputus beberapa lama.

Menurut riwayat Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishak dikatakan, “Jibril mendatangi Nabi yang sedang tidur di Gua Hira’. Ia membawa sehelai kain sutera yang bertuliskan, lalu menyuruh Nabi membaca. “Maka saya pun membacanya,” kata Nabi, dan Jibril pun segera berlalu dan aku sendiri terba­ngun dari tidurku. “Apa yang saya baca sewaktu tidur tadi itu seakan-akan tertulis pula dalam hatiku,” kata Rasulullah saw. Selanjutnya aku keluar dan gua itu dan berjalan di atas gunung di mana gua itu terdapat. Tiba-tiba aku mendengar suara dari langit yang mengatakan, “Hai Muhammad, lihatlah ke angkasa, dan terlihatlah olehku Malaikat Jibril dalam rupa seorang laki-laki, dua kakinya bertengger di atas langit sambil menyerukan, Hai Muhammad, engkau adalah Rasulullah dan aku adalah Jibril.” Saya coba memalingkan wajah pandangan ke arah lain, tapi ke mana mataku memaٌndang maka di sana terlihat lagi Jibril. Aku tetap tidak berjalan maju atau mundur. Tiba-tiba aku sadar di sisiku hadir beberapa orang yang sengaja diutus Khadijah untuk mendapatkanku.”

Kedua

Orang yang pertama sekali beriman dan meme­luk agama Islam ialah isteri Nabi sendiri, Khadijah. Kemudian masuk Islam pula Ali, yang baru berumur sepuluh tahun. Seterusnya disusul oleh Zaid bin Haritsah (pembantu rumah tangga Nabi) dan Abu Bakar r.a. Dari kalangan hamba, yang pertama sekali memeluk Islam ialah Bilal bin Rabah Al-­Habsyi. Dengan urut-urutan di atas teranglah, Khadijah merupakan orang pertama mengimani dan memeluk agama Islam. Rasulullah mengerjakan shalat pertama kali pada hari Senin, berjamaah dengan Khadijah. Waktu itu shalat baru dua waktu, yaitu pagi dan petang dengan dua rakaat untuk masing-masing waktu.

Ketiga

Setelah yang pertama, terputuslah penurunan wahyu beberapa waktu. Dalam kaitan ini terdapat perbedaan pendapat tentang berapa lamanya masa kosong tersebut. Namun demikian kita berkesim­pulan, lama masa kosong itu maksimum tiga tahun dan minimum enam bulan. Yang terakhir inilah agak­nya yang lebih benar. Keterputusan wahyu menimbulkan kesedihan dan kegelisahan jiwa Nabi, karena ia menduga wahyu yang akan diturunkan kepadanya sudah habis, yang berarti pedoman hidup manusia hanya terdiri dari beberapa ayat saja, yaitu yang telah diturunkan kepadanya di Gua Hira’ saja. Akan tetapi kesedihan itu terobati dengan turunnya wahyu selanjutnya, sebagaimana diceritakan oleh Nabi sendiri dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari..

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Nabi bersabda, “Ketika aku berjalan-jalan, terdengar olehku suara dari langit lalu aku memandang ke arahnya. Aku melihat Malaikat Jibril yang pernah datang kepadaku di Gua Hira’. Ia duduk di atas Kursi antara bumi dan langit. Karena timbul rasa takut, aku pulang ke rumah dan kembali minta diselimuti kepada Khadijah. Ketika itulah Allah menurunkan wahyu-Nya. Wahai orang yang benselimut, bangunlah dan berikan kabar peningatan. Dan Tuhanmu, agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkan, dan perbuatan dosa tingalkan.”

Keempat

Setelah turun wahyu kedua mulailah Nabi me­ngajak orang memeluk agama Islam dengan caranya sendiri, selama tiga tahun penuh. Hasilnya ialah masuk Islamnya beberapa orang pria dan wanita yang dikenal sebagai orang-orang yang berpikiran waras dan berjiwa bersih.

Kelima

Allah swt. memerintahkan agar Nabi, dengan pengikut-pengikut yang sudah berjumlah tiga pulu­han, melakukan dakwah secara terang-terangan. Perintah ini diturunkan melalui wahyu Ilahi yang berbunyi, “Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa-­apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (Al-Hijr: 94)

Keenam

Dengan demikian mulailah Nabi dan sahabat-­sahabatnya memasuki masa yang penuh rintangan, bahkan tekanan-tekanan. Sebabnya ialah karena kaum Musyrikin khawatir kalau Rasulullah saw. membongkar kebodohan-kebodohan mereka dan merendahkan Tuhan-tuhan mereka seraya mengajarkan agama baru yang menyerukan agar manusia mem­pertuhankan Allah Yang Esa.

Ketujuh

Dalam fase dakwah terang-terangan ini, Rasu­lullah saw. selalu mengadakan pertemuan rahasia dengan sahabat-sahabatnya. Pertemuan itu bertempat di rumah Al-Arqam bin Abu Arqam. Di forum itulah Nabi membacakan dan mengajarkan wahyu secara terpe­rinci sejauh yang telah diturunkan Allah swt.

Kedelapan

Pada saat itu Nabi juga diperintahkan untuk menyeru keluarga dekatnya sendiri, yang merupa­kan pentolan-pentolan suku Quraisy. Mereka diminta oleh Nabi untuk berkumpul lalu dinyatakan ajakan­ agar mereka masuk ke dalam agama Islam dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-­berhala. Nabi menawarkan kepada mereka kabar tentang surga dan memperingatkan mereka akan ancaman neraka. Ini membuat marah Abu Lahab. Ia melontarkan kecaman, “Celaka engkau, hai Muhammad, untuk keperluan inikah engkau mengumpulkan kami di sini?”

Kesembilan

Orang-orang Quraisy berkeinginan sekali untuk menangkap Nabi, tetapi Abu Thalib selalu menghala­ngi dan tidak mau menyerahkan Nabi kepada mereka. Karena keadaan itu, maka Abu Thalib minta agar Nabi mengurangi intensitas dakwahnya. Nabi mengira pamannya sudah tidak sungguh-sungguh lagi membelanya, sehingga beliau mengemukakan, “Demi Allah, sekalipun mereka letakkan matahari di pundak kananku dan bulan di pundak kiriku agar aku tinggalkan dakwah ini, niscayalah aku tidak akan mening­galkannya, hingga agama ini tegak atau aku mati kane­nanya.”

Kesepuluh

Gangguan dan penyiksaan dari pihak Quraisy menjadi semakin meningkat, baik kepada pribadi Nabi sendiri maupun kepada para sahabatnya. Ada di antara mereka yang mati dan banyak pula yang di aniaya.

Kesebelas

Karena melihat keteguhan para sahabat Nabi memegang akidahnya, pihak Quraisy berusaha agar Nabi sendiri bersedia menerima tebusan harta berlimpah atau kedudukan yang tinggi untuk menghentikan dakwahnya. Tetapi taktik ini pun kandas lagi di hadapan Nabi.

Keduabelas

Karena siksaan yang diderita para sahabat semakin berat, maka Nabi pun memerintahkan mereka hijrah. “Kalau kalian hijrah ke Habasyah, tentulah siksaan ini terhindar. Di sana ada penguasa yang mau melindungi (memberi suaka). Lakukanlah langkah ini, hingga Allah memberi kela­pangan dan jalan keluar dari keadaan yang ada sekarang.”

Terjadilah hijrah yang pertama dengan dua belas orang pria dan empat orang wanita. Setelah mende­ngar masuk Islamnya Umar bin Khattab, mereka yang hijrah ke Habasyah kembali ke Makkah bersama-sama dengan orang-­orang yang sempat di Islamkan selama mengungsi itu. Taktik hijrah ke Habasyah ini agaknya berhasil baik dengan rombongan yang terdiri dari delapan puluh tiga orang pria dan sebelas orang wanita.

Ketigabelas

Orang-orang musyrik melakukan pemutusan hubungan dengan Nabi, Bani Hasyim, dan Bani Muthalib, baik hubungan ekonomi dan perdagangan maupun hubungan pergaulan dan pernikahan. Hal ini berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentu­kan. Dua tahun lebih Nabi, para sahabat, dan kelu­arga besarnya mengalami kesulitan akibat tindakan kalangan musyrikin itu. Namun keadaan ini berakhir juga berkat pertimbangan dan perembukan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir Quraisy sendiri.

Beberapa Pelajaran

Pertama

Seorang yang ditakdirkan untuk menjadi penyeru kebaikan tentulah terlebih dahulu tumbuh di hatinya rasa tidak senang terhadap kesesatan dan kerusakan yang dibuat oleh masyarakatnya.

Kedua

Pada mulanya Nabi Muhammad saw. tidak per­nah mendambakan dan memimpikan akan menjadi Nabi, tetapi Allah menghendaki hal itu. Kesimpulan ini dibuktikan oleh keterkejutan beliau dengan turun­nya wahyu pertama, konsultasinya dengan Khadijah mengenai rahasia peristiwa yang dialaminya di Gua Hira, pendapat Waraqah bin Naufal, dan pernyataan Jibril tentang Nabi diangkat menjadi Rasulullah.

Ketiga

Mendakwahkan sesuatu yang asing dan belum terpikirkan oleh publik, haruslah terlebih dahulu dengan cara diam-diam (tatap muka) hingga menda­patkan pendukung yang bersedia berkorban sega­lanya untuk itu. Jika pemimpin dakwah mendapat rintangan, diambilalihlah tugas itu oleh pengikut-­pengikut setianya. Dengan demikian dapat terjamin keberlangsungan dakwah.

Keempat

Seruan Nabi saw. mengagetkan masyara­kat. Karena itu mereka bereaksi dan menentangnya mati-matian. Targetnya ialah menghabisi diri Nabi dan sahabat-sahabatnya. Hal ini merupakan sang­gahan historis terhadap propaganda kalangan nasionalis yang mengatakan, risalah (misi) Muhammad merupakan manifestasi citra dan cita bangsa Arab zaman itu. Pendapat serupa memang menggeli­kan dan hanya di dasarkan atas kegilaan akan ide nasionalis, sehingga menempatkan Islam sebagai sesuatu yang tumbuh dan kepribadian dan pemi­kiran bangsa Arab semata. Nyata sekali pandangan nasionalis oriented ini mengingkari kenabian Rasu­lullah dan menolak mentah-mentah risalah Islam, walaupun kebenarannya telah disanggah dan diba­talkan oleh fakta sejarah.

Kelima

Ketetapan dan keyakinan orang-orang yang telah beriman, walaupun mereka harus merasakan bermacam-macam siksaan, semua itu merupakan bukti kebenaran iman dan ketulusan hati mereka untuk memegang teguh aqidah dengan kebesaran jiwanya. Dalam keyakinan itu mereka menemukan kesenangan, kejernihan jiwa dan akal yang jauh lebih hebat ketimbang azab dan siksa yang ditujukan kepadanya.

Bagi orang mukmin yang benar-benar beriman dan bagi dai yang betul-betul ikhlas, rohanilah yang lebih diutamakan ketimbang jasad. Mereka lebih mementingkan tuntutan-tuntutan rohaniahnya daripada kesenangan dan kenikmatan fisik mate­rial. Inilah rahasia suksesnya dakwah kaum mukminin itu. Dan, dengan itul pulalah mereka berhasil membebaskan masyarakat manusia dari kegelapan dan kebodohan.

Keenam

Pernyataan Nabi yang disampaikan melalui pamannya dan penolakan terhadap tawaran harta dan kedudukan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh Quraisy, kedua-duanya mengandung arti dan bukti kebenaran risalah dan kesungguhan Nabi memenuhi keperluan manusia. Oleh karena itu seharusnya seorang dai bersungguh-sungguh untuk tetap men­jalankan dakwahnya, sekalipun ia dimusuhi oleh pecinta-pecinta kebatilan dan dibujuk rayu oleh mereka itu dengan harta benda, pangkat, serta kedudukan. Bagi sang dai, penderitaan dalam dakwah haruslah dianggap sebagai kenikmatan dan pelajaran. Ridha Ilahi janganlah ditukarkan dengan kemegahan duniawi.

Ketujuh

Seorang pemimpin dakwah seyogyanya selalu mengadakan pertemuan rutin dengan pengikut­-pengikutnya. Kalau bisa dilakukan secara terbuka, terbukalah. Jika tidak bisa, maka lakukanlah pertemuan dengan tertutup. Isi setiap pertemuan itu dengan pelajaran-pelajaran yang menambah keyakinan mereka akan dakwahnya. Ajarkan kepada­nya taktik, strategi, dan etika dakwah.

Kedelapan

Seorang dai harus memperhatikan karib kerabatnya dengan menyampaikan ajakan-ajakan untuk perbaikan. Jika mereka menolak, maka serah­kanlah kepada Allah. Sebab, orang lain pun akan tahu buruk atau baiknya mereka yang menolak itu.

Kesembilan

Seorang dai haruslah membela jiwa, kepen­tingan, dan akidah para pengikutnya. Ia harus memberikan alternatif yang tepat guna menyelamat­kan mereka. Sebab keselamatan pengikut-pengikut itu berarti jaminan keberlangsungan dakwah itu sendiri.

Kesepuluh

Dipilihnya tempat hijrah pertama dan kedua, negeri Habasyah, menunjukkan adanya kaitan antara agama dan penganut agama. Kaitan itu jauh lebih kuat ketimbang kaitannya dengan masyarakat yang tidak beragama atau yang mengabdikan diri kepada benda (berhala). Agama-agama samawi itu sebe­narnya bersatu tujuan, terutama tujuan sosialnya, dan bersamaan pula keamanannya, yakni iman kepa­da Allah, Rasul-rasul dan Hari Akhirat. Inilah yang membuat jaringan keakraban antara sesama penga­nut agama samawi yang asli itu jauh lebih kuat, ketimbang ikatan atau hubungan kefamilian, darah, atau daerah antara mereka dengan penganut-penga­nut ajaran keberhalaan dan dengan orang-orang yang kufur terhadap ajaran Allah swt.

Kesebelas

Pecinta-pecinta kebathilan tidak akan mudah menyerah di hadapan pembela-pembela kebenaran (haq). Jika mereka itu gagal dengan satu cara untuk melawan dan melenyapkan dakwah yang haq, akan dicari cara-cara yang lain. Ini memang sudah menjadi hukum kehidupan dan merupakan ujian apakah pembela-pembela kebenaran itu cukup mampu dan tangguh untuk mengunggulkan yang haq dan memusnahkan yang bathil.

0 komentar: