… kekerasan terhadap pers, yang mengganggu kerja-kerja jurnalistik, muaranya akan membuat masyarakat tidak memperoleh haknya untuk mendapatkan informasi..
—
Sungguh menyedihkan membaca berita terus berulangnya kekerasan terhadap pers. Publik tentu sedih membaca berita pembunuhan wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group) Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa. Pembunuhan terhadap Prabangsa terkait pemberitaan yang pernah diturunkan korban tentang penyimpangan proyek atau kasus korupsi di Dinas Pendidikan Bangli (Jawa Pos, 26-27/5/2009).
Untuk kali kesekian, ini menjadi preseden buruk bagi dunia pers. Aksi tidak manusiawi terhadap Prabangsa tentu bukan satu-satunya. Memang, kehidupan pers di negeri ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan era Orde Baru yang penuh tekanan. Namun, kekerasan terhadap pers toh masih kerap terjadi.
Data Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH-Pers) menyebutkan, sepanjang 2008 terdapat 32 pengaduan kasus kekerasan terhadap pers. Angka tersebut meningkat dibanding posisi 2007 yang hanya terdapat 25 kasus. Kasus-kasus tersebut biasanya berupa penganiayaan, pemukulan, pelemparan, dan pengeroyokan.
Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) malah lebih besar. Sepanjang 2008, berdasarkan data AJI, terdapat 60 kasus kekerasan terhadap wartawan, yang terdiri atas serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus), dan penyanderaan (1 kasus). Secara kumulatif sejak Mei 1999 hingga 2007, AJI mencatat 453 kekerasan terhadap pers.
Fenomena kekerasan terhadap pers ini tidak hanya terjadi di dalam negeri. Di sejumlah negara, rezim yang berkuasa memulangkan para wartawan asing yang dicurigai terlalu turut campur dalam urusan dalam negeri mereka. Kasus pemulangan itu antara lain terjadi di Iran.
Di Sri Lanka, Lasantha Wickrematunga, editor The Sunday Leader, media yang kerap mengkritik kebijakan penguasa terkait tindakan terhadap oposan Macan Tamil, ditemukan tewas dengan luka tembak jarak dekat saat perjalanan menuju kantornya awal Januari lalu. Wickrematunga sudah mengirim “sinyal”, karena dia sempat menulis editorial untuk The Sunday Leader yang oleh berbagai kantor berita disebut sebagai “kata-kata terakhir”. Di editorial itu dia menulis, “When I am killed, it will be the government that kills me.”
***
Aksi-aksi kekerasan terhadap pers tentu patut kita sesalkan. Bagaimanapun, iklim demokratis yang kini kita nikmati tak lepas dari perjuangan insan pers. Lewat pers pula, kita bisa mengetahui berbagai peristiwa dan isu mutakhir. Fungsi pendidikan yang diemban insan pers telah banyak memberi kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan wacana kritis masyarakat.
Lewat dunia pers pula, kekuatan masyarakat sipil bisa ikut mengontrol kebijakan-kebijakan penguasa. Kehidupan publik yang saling mengingatkan mustahil ada tanpa kebebasan pers. Bahkan, bisa dikatakan bahwa cacat tidak termaafkan dalam sebuah negara demokratis adalah ketika kebebasan pers tidak dijalankan dengan penuh, termasuk jika masih ada kekerasan terhadap pers. Dengan demikian, kekerasan terhadap pers, yang mengganggu kerja-kerja jurnalistik, muaranya akan membuat masyarakat tidak memperoleh haknya untuk mendapatkan informasi-informasi penting.
UU Nomor 40/1999 tentang Pers sebenarnya sudah memberi landasan kuat perlindungan terhadap wartawan. Dalam pasal 8 disebutkan, “Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Disebutkan pula bahwa setiap orang yang menghambat pelaksanaan kegiatan jurnalistik bisa dijerat pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Namun, kekerasan terhadap pers yang berulang-ulang terjadi -terutama karena pemberitaan wartawan yang mengungkap tabir “kejahatan” pesohor dan pejabat daerah maupun nasional- mengindikasikan kalau negeri ini hanya setengah-setengah memberikan perlindungan terhadap wartawan untuk menyuarakan kebenaran pada masyarakat. Fenomen itu menggambarkan bahwa sebenarnya, keran kebebasan pers yang dibuka sejak reformasi bergulir hanya berlaku untuk berita yang “aman-aman” saja.
Indiarto Seno Adji (2003), pakar hukum yang juga konsen mengawal isu pers mengatakan, saat ini kebebasan pers belum sepenuhnya mendapat ruang. Kebebasan pers masih dibelenggu dengan pola pencegahan yang mengganggu kerja-kerja jurnalistik, termasuk di antaranya kekerasan terhadap wartawan. Pola pencegahan tersebut terjadi dalam bentuk political pressure maupun social pressure yang kadang berbentuk pengerahan massa, baik dalam skema political mass maupun public mass. Dalam tataran yang lebih luas, aksi kekerasan atau premanisme terhadap pers tidak saja menjurus pada kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk tekanan psikologis.
Melihat realita menyedihkan kekerasan terhadap wartawan tersebut, seharusnya berbagai elemen segera sadar akan pentingnya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, termasuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap wartawan. Ihwal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers ini pula yang disebut sebagai “hak asasi yang fundamental” dalam pasal 19 Universal Declaration of Human Rights.
Upaya menghentikan kekerasan terhadap pers memang tidak mudah. Perlu perjuangan dan penyadaran bersama. Apa yang diungkapkan Dirjen Unesco Koichiro Matsuura dalam peringatan World Press Freedom Day, 3 Mei lalu, bahwa “a free press is not a luxury that can wait until more peaceful times. It is, rather, part of the very process through which they may be achieved”, agaknya sangat relevan. Kesimpulannya, upaya mewujudkan kebebasan pers dan penghapusan kekerasan terhadap pers membutuhkan komitmen semua elemen masyarakat.
Namun, juga harus disadari bahwa kebebasan pers dan kemerdekaan berekspresi bukan berarti pers bisa bebas sebebas-bebasnya dalam menyajikan berita. Insan pers sendiri juga mesti mempunyai kesadaran akan pentingnya penyampaian berita yang berimbang, berkaidah jurnalistik, dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik wartawan harus benar-benar dijalankan, tidak hanya dijadikan “macan kertas” yang harus mengalah demi kepentingan pragmatis. Inilah makna hakiki kebebasan pers. Mari kita hentikan kekerasan terhadap pers!
*) Maya Susiani, mantan aktivis pers mahasiswa, periset sosial di LSKD Jember. Sumber Jawa Pos 29 Mei 2009
Minggu, Agustus 30, 2009
ANCAMAN PERS,KINI PREMNISME
Diposting oleh Muhamad Syaichu Hamid Di Minggu, Agustus 30, 2009
Label: Info
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar