SEJARAH PERKEMBANGAN SYI'AH
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat dan apabila sebagian besar sahabat Nabi menyetujui dan berbaiat kepada Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama terdapat sejumlah sahabat yang berpendirian bahwa yang lebih berhak menjadi khalifah adalah Ali bin Abu Thalib, saudara sepupu dan juga menantu Nabi, suami Fatimah, putri tunggal Nabi. Itulah titik awal dari lahirnya syi'ah atau golongan pengikut dan pendukung Ali. Golongan ini semakin berkembang pada tahun-tahun terakhir dari pemerintahan Usman karena ketidakmampuan khalifah ketiga ini mengelola Negara, dan golongan itu pun naik daun ketika Ali bin Abu Thalib menjabat sebagai khalifah keempat. Jadi, Syi'ah adalah pengikut-pengikut yang setia dari Ali bin Abu Thalib dan berkeyakinan bahwa Ali-lah sebenarnya yang harus menggantikan Nabi Muhammad untuk menjadi khalifah umat Islam.
Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa munculnya kelompok ini bermula dari peperangan Siffin di Irak antara pasukan Muawiyah dan pasukan Ali bn Abu Thalib. Dalam peperangan itu pasukan Muawiyah terdesak dan dengan kelicikannya mengajukan damai. Namun, arbitrase yang diadakan ternyata merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Muawiyah, lagi-lagi dengan kelicikan. Dari awal memang, sebagian tentara Ali pun tidak setuju dengan diadakannya arbitrase ini, sehingga mereka ini tentu lebih kecewa lagi dan akhirnya mengasingkan diri dan keluar dari barisan Ali. Mereka ini terkenal dengan nama khawarij (orang-orang yang keluar) di mana selanjutnya mereka juga menentang Ali. Jadi, pada masa ini telah timbul tiga golongan politik, yaitu golongan yang setia kepada Ali yang kemudian disebut Syi'ah, golongan yang keluar dari barisan Ali yaitu kaum khawarij, dan ketiga golongan Muawiyah.
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib banyak orang menggabungkan diri, terdorong oleh simpati mereka kepada keluarga Ali yang teraniaya semasa kekuasaan Umawiyah dan Abbasiyah. Banyak juga orang Islam bukan Arab yang mendukung golongan Syi'ah karena oleh penguasa-penguasa Umawiyah yang Arab sentris itu mereka diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Akan tetapi, perkembangan Syi'ah yang paling pesat dan luas adalah di kalangan orang-orang Persia. Budaya mendewa-dewakan raja dan menganggapnya sebagai orang suci masih sangat kuat berakar di kalangan bangsa Persia waktu mereka menerima Islam. Dengan latarbelakang budaya tersebut mereka memperlakukan Nabi Muhammad dan keluarganya sama dengan perlakuan mereka terhadap Kisra (raja) dan keluarganya dahulu. Dan sebagaimana pola dan tradisi yang mereka kenal sejak zaman purba, mereka berpendirian bahwa sepeninggal Nabi maka penggantinya harus dari keturunan atau keluarga Nabi. Sementara itu terdapat sebab lain mengapa orang-orang Persia cenderung bersimpati kepada keluarga/keturunan Ali. Menurut suatu riwayat, konon Husen bin Ali telah memperistri seorang putri dari raja terakhir Persia sebelum bangsa Persia masuk Islam.
AKIDAH SYI'AH
Sebagaimana orang Islam lainnya, tentu Syi'ah pun menyatakan bahwa Al-Quran adalah sumber utama ajarannya demikian pula dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, dalam pembahasan teologi Islam akan ditemui perbedaan antara Syi'ah dengan kelompok Islam lainnya (Sunni). Bahkan, di dalam kelompok Syi'ah itu sendiri terdapat perbedaan. Disebutkan bahwa Syi'ah terpecah dalam berpuluh-puluh kelompok di mana perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya karena perbedaan prinsip dan ajaran yang berakibat timbulnya kelompok yang ekstrim dan kelompok moderat, karena perbedaan pendirian tentang siapa yang harus menjadi imam sepeninggal Husen bin Ali, imam ketiga sesudah Ali Zainal Abidin, imam keempat, dan sesudah Ja'far Shadiq, imam keenam. Dari kelompok-kelompok tersebut yang paling terkenal adalah kelompok Zaidiyah, Ismailiyah dan Itsna Asyariyah.
Perpecahan yang terjadi sepeninggal Husen, imam ketiga, disebabkan oleh perselisihan tentang siapa pengganti Husen. Sekelompok pengikut Husen berpendirian bahwa yang berhak diangkat sebagai imam adalah Muhammad bin Hanafiah, seorang putra Ali dari istri bukan Fatimah. Kelompok itu dikenal dengan nama Kaisaniyah. Sedangkan kelompok lain berpendirian bahwa yang berhak menjadi imam adalah seorang putra laki-laki Husen yang bernama Ali Zainal Abidin.
Ketika Ali Zainal Abidin, imam keempat, wafat timbul perpecahan kedua. Sekelompok Syi'ah berpendirian bahwa yang berhak menjadi imam adalah seorang putra almarhum bernama Zaid. Kelompok itu kemudian dikenal dengan sebutan Zaidiyah.
Sementara itu kelompok lain mengaku Abu Ja'far Muhammad Al-Baqir, juga seorang putra almarhum, sebagai imam baru. Kelompok yang terkahir ini dikenal dengan sebutan Imamiyah.
Kemudian perpecahan terjadi di kalangan Imamiyah setelah Abu Abdullah Ja'far Shidiq, imam keenam, meninggal. Sekelompok pengkut Imamiyah mengakui bahwa putra almarhum bernama Ismail sebagai imam, sedangkan kelompok yang lain mengakui putra almarhum yang lain, Musa Al-Kazim, sebagai imam. Kelompok yang pertama dikenal dengan sebutan Ismailiyah, sedangkan kelompok kedua dengan sebutan Imamiyah Itsna Asyariyah. Ismailiyah juga disebut Sab'iyah karena bagi kalangan itu jumlah imam sampai imam yang ketujuh, dengan Ismail sebagai Imam ketujuh. Kelompok lainnya disebut Imamiyah Itsna Asyariyah karena mereka percaya bahwa jumlah imam seluruhnya dua belas, dan sebagai imam terakhir adalah Muhammad bin Abu Muhammad Hasan Al-Askari, yang menghilang pada usia empat atau lima tahun dalam tahun 260 H, dan yang kemudian dikenal dengan sebutan Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazar. Tentang perpecahan yang terakhir ini dapat dikemukakan bahwa memang benar Abu Abdullah Ja'far Shidiq telah menunjuk putranya, Ismail, sebagai (calon) penggantinya, tetapi kemudian ternyata Ismail meninggal mendahului ayahnya.
Di antara kelompok Syi'ah yang ekstrim adalah Al-Sabaiyah yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Pemimpin kelompok ini adalah Abdullah bin Saba. Ada pula kelompok yang berkeyakinan bahwa Jibril telah berbuat salah memberikan wahyu kepada Muhammad. Seharusnya wahyu diberikan kepada Ali. Dua kelompok ini dianggap telah keluar dari Islam.
Kelompok Syi'ah yang dianggap besar adalah kelompok Zaidiyah dan Imamiyah Itsna Asyariah. Kelompok Zaidiyah ini pernah lama kerkuasa di Yaman dan pandangannya paling dekat dengan Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni). Di antara pokok-pokok pendirian kelompok Zaidiyah ini adalah:
1. Imam seharusnya dari keturunan Ali-Fatimah, tetapi tidak menolak jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat. Oleh karenanya mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar meskipun menurut urutan prioritas seharusnya Ali yang menjadi khalifah.
2. Imam tidak maksum. Dia dapat saja berbuat salah dan dosa seperti manusia yang lain.
3. Tidak ada imam dalam kegelapan/persembunyian yang diliputi oleh berbagai misteri.
Bagi Ismailiyah, setelah Ismail sebagai imam ketujuh, maka datang silih berganti imam-imam yang bersembunyi. Menurut merka imam boleh bersembunyi bila dia merasa tidak kuat menentang lawan. Ketika imam mereka kuat, Ubaidillah Al-Mahdi, menampakkan diri dan mendirikan Kerajaan Fatimiyah di Mesir, Tunis dan Maroko pada tahun 969 M. Kelompok Ismailiyah biasa dinamakan Bathiniyah karena banyak imam mereka yang bersembunyi. Penganut Ismailiyah sekarang banyak terdapat di India, Pakistan dan Afrika Timur.
Imamiyah Itsna Asyariah kiranya merupakan kelompok Syi'ah terbesar pengikutnya. Golongan Syi'ah yang berada di Irak, Iran dan sekitar teluk itu hampir seluruhnya dari Itsna Asyariah. Sejak awal abad ke-16 M, sewaktu Ismail Safawi berkuasa di Iran, Islam Syi'ah Istna Asyariyah dijadikan agama resmi negara. Adapun pokok-pokok pendirian dari Syi'ah kelompok ini adalah:
1. Abu Bakar dan Umar telah merampas jabatan khalifah dari pemiliknya, Ali.
2. Kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggi daripada manusia biasa, dan dia merupakan perantara antara manusia dan Tuhan.
3. Imam itu maksum, terjaga dari segala kesalahan, baik besar maupun kecil.
4. Ijma atau kesepakatan ulama Islam baru dapat dianggap sebagai salah satu dasar hukum Islam apabila direstui oleh imam.
5. Imam mereka yang kedua belas, yang menghilang pada usia empat atau lima tahun sebelas setengah abad yang lalu nanti akan muncul kembali di dunia pada akhir zaman untuk menegakkan dan meratakan keadilan serta memberantas kezaliman.
Dalam rangka kepercayaan dasarnya bahwa imam yang kedua belas menghilang dan pada akhir zaman nanti akan muncul kembali di dunia, Imamiyah Itsna Asyariyah berkeyakinan, meskipun Imam sudah menghilang pada tahun 260 H, namun selama 69 tahun berikutnya imam kedua belas itu masih terus berhubungan dengan para pengikut dan pendukungnya melalui empat wakil atau dutanya yang menyampaikan kepada mereka keputusan dan fatwa imam. Periode ini dinamakan ghaibah shughra atau ketidakhadiran imam kecil. Keempat wakil tersebut adalah (1) Usman bin Said Al-Umri, (2) Anak dia, Abu Ja'far Muhammad bin Usman, (3) Abu Qasim Al-Husen bin Ruh Al-Khullani, dan (4) Abu Hasan Ali bin Muhammad As-Samiri, yang meninggal pada tahun 329 H tanpa ada penggantinya, dan dengan demikian maka putuslah hubungan antara imam dan para pengikut serta pendukungnya. Periode sejak meninggal keempat wakil tersebut sampai munculnya kembali imam kedua belas sendiri nanti dinamakan ghaibah kubra atau ketidakhadian imam besar, dan dengan putusnya sama sekali hubungan antara imam dan para pengikut serta pendukungnya, maka timbullah masalah baru.
Sesuai dengan ajaran Imamiyah Itsna Asyariyah, selama imam yang maksum itu masih ada dan hadir hukum yang berlaku adalah hukum yang diberikan oleh imam-imam itu. Apa yang mereka perintah adalah perintah Allah, apa yang mereka larang itu larangan Allah. Taat kepada mereka berarti taat kepada Allah, dan menentang mereka berarti menentang Allah. Dalam kehadiran imam-imam yang maksum itu tidak terdapat ruang untuk ijtihad rasional. Selama ghaibah sughra, I,a, kedua belas masih menyampaikan keputusan dan petunjuknya melalui para wakil tersebut. Akan tetai, dengan mulainya periode ghaibah kubra dan putusnya hubungan dengan imam kedua belas, sedangkan kebutuhan kepada keputusan dan petunjuk justru semakin mendesak disebabkan oleh terjadinya peristiwa-peristiwa penting dan perkembangan politik yang bertalian dengan bangunnya dinasti Buwaihi, maka dikalangan ulama ahli fikih Itsna Asyariyah timbul tuntutan agar dapat dilakukan ijtihad dalam bidang-bidang tertentu diluar bidang-bidang yang sepenuhnya dalam kompetensi atau wewenang imam yang menghilang seperti hak mendirikan shalat Jumat, pelaksanaan pidana dan hukuman serta mengumumkan jihad. Untuk maksud tersebut diperlukan semacam "wilayah" atau kekuasaan yang dipercayakan kepada seorang alim, yang memenuhi semua syarat untuk dibenarkan memberikan fatwa dan petunjuk atas nama Imam yang dinantikan itu dan mewakilinya selama imam itu sendiri belum muncul kembali. Dan pada waktu itulah mulai berkembang konsepsi Wilayah Al-Faqih yang dapat diartikan Kekuasaan Ilmuwan Agama.
Tentang bidang-bidang tertentu mana yang dapat ditangani oleh Wilayah Al-Faqih dan yang bukan merupakan wewenang khusus imam yang ditunggu itu, semula terdapat semacam konsensus di antara ulama Imamiyah bahwa bidang-bidang itu antara lain meliputi soal penanganan kepentingan anak-anak yatim piatu, benda-benda temuan, para janda dan fakir miskin, pengelolaan urusan perwakafan, lembaga-lembaga pendidikan agama seperti madrasah, dan juga tempat-tempat suci, dan yang terakhir penanganan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, pengawasan terhadap para penguasa dalam hal pelaksanaan amar makruf nahi munkar, pemberian pelajaran kepada pelanggar-pelanggar susila, dan nasihat kepada para penguasa. Akan tetapi, kemudian berkembang perbedan pendapat antara para ulama tersebut tentang batas-batas dari "bidang-bidang tertentu" itu. Timbul satu kelompok ulama Imamiyah yang berpendapat bahwa seorang ilmuwah agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid dan memenuhi semua persyaratan untuk dibenarkan berfatwa dapat atau bahkan harus melaksanakan hukuman sesuai dengan syariat apabila terdapat segala wahana untuk itu, semasa imam belum muncul kembali. Bahkan selanjutnya diperdebatkan tentang dapat atau tidaknya Wilayah Al-Faqih mendirikan shalat Jumat selama imam belum juga muncul kembali. Akhirnya terdapat sekelompok ulama Imamiyah yang menarik lebih jauh kewenangan Wilayah Al-Faqih sempai termasuk pengelolaan negara atau bidang politik.
Kiranya termasuk kelompok ini adalah ulama-ulama yang di bawah pimpinan almarhum Khumaini berhasil menumbangkan dinasti Pahlevi dan mendirikan Republik Islam Iran, hal mana antara lain dapat dilihat dari diktum Undang-Undang Dasar negara itu. Dalam Pasal 5 dari Undang-Undang Dasar Iran antara lain dinyatakan bahwa kekuasaan atas negara dan umat dalam Republik Islam Iran, selama Imam Mahdi masih ghaib (menghilang), ada di tangan ilmuwan agama (faqih) yang adil dan takwa atau sejumlah ilmuwan agama (fuqaha). Tampaknya sebagai perpaduan antara dua konsepsi modern dan Imamiyah, maka seperti halnya di negara-negara lain, di Iran sekarang ini terdapat lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan sebagainya. Ada presiden/kepala negara dan kabinet, ada pula Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, tetapi di atas lembaga-lembaga itu semua terdapat seorang ilmuwan agama yang memiliki kata akhir, dan di mana perlu, dapat menolak untuk menyetujui keputusan atau kebijaksanaan yang diambil oleh lembaga-lembaga tersebut.
Minggu, Agustus 30, 2009
SEJARAH PERKEMBANGAN SYI'AH
Diposting oleh Muhamad Syaichu Hamid Di Minggu, Agustus 30, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar