BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, Agustus 30, 2009

PERBEDAAN PENDAPAT PENGUCAPAN SIGHAT TA'LIK TALAK PADA SAAT AKAD NIKAH

PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TENTANG
PENGUCAPAN SIGHAT TA”LIK TALAK PADA SAAT AKAD NIKAH


I. PENDAHULUAN
Sebagai penghulu (pegawai pencatat nikah) pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya sighat ta’lik. Sighat bisa diartikan dengan ungkapan atau pernyataan dan ta’lik bisa diartikan menggantungkan. Jadi sighat ta’lik bisa diartikan sebagai ungkapan atau pernyataan yang digantungkan atau dikaitkan dengan suatu syarat atau kondisi. Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa sighat ta’lik talak adalah sighat talak yang dikaitkan/digantungkan pada suatu syarat atau kondisi (perbuatan) tertentu, seperti perkataan suami kepada istrinya: “Jika engkau pergi ke tempat . . . . . . maka engkat tertalak”.
Sighat ta’lik yang dirumuskan pemerintah (Departemen Agama) adalah ungkapan atau pernyataan (sebagai janji) seorang suami tentang suatu keadaan (perbuatan) yang apabila ia melanggarnya maka ada konsekuensi hukum yaitu jatuh talak satu, tetapi dengan syarat si istri tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan oleh Pengadilan Agama tersebut dan si istri membayar sejumlah uang iwadh.
Ditinjau dari segi fikih, rumusan materi sighat ta’lik Departemen Agama tidak masalah sebab memenuhi kriteria.
Apa yang menjadi semangat atau motivasi Departemen Agama menyusun atau merumuskan sighat ta’lik yang dibacakan sesaat setelah akad nikah dilangsungkan?
Sighat ta’lik talak versi Departemen Agama ini sepanjang pengetahuan yang penulis peroleh, dibuat untuk melindungi wanita (istri) dari kesewenang-wenangan kaum lelaki dalam kehidupan rumah tangga, di mana dahulu banyak wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki asing (Timur Tengah) yang setelah setahun, dua tahun, atau lebih ditinggalkan begitu saja, tanpa talak, dan suami pun tak kunjung kembali. Kondisi seperti ini banyak merugikan pihak wanita karena sekian lama ditinggal tanpa kepastian statusnya. Karena itu, Departemen Agama merumuskan sighat ta’lik talak agar para suami menyatakan janjinya dihadapan penghulu, wali nikah, dan para saksi (dalam akad nikah), dengan tujuan untuk melindungi hak-hak wanita (istri) yang ketika itu belum ada perundang-undangan tentang hal tersebut. Dengan adanya ta’lik talak ini apabila suami melalaikan kewajibannya maka si istri mudah dan me-miliki landasan dalam mengadukan halnya ke Pengadilan Agama.
Apabila demikian ini tujuan perumusannya, maka artinya Departemen Agama telah melakukan suatu upaya pemeliharaan terhadap kepen-tingan wanita (keluarga) dari kesewenang-wenangan, dan memang tugas negaralah melindungi setiap warganya.
II. TA’LIK TALAK DALAM FIKIH ISLAM
Sepanjang pengetahuan penulis, masalah ta’lik talak ini tidak dibahas dalam Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, para mujtahid (ahli fikih) membahas tentang ta’lik talak ini dalam kitab-kitab mereka, umpamanya Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid membahasnya pada bab talak dengan judul “Alfazh at-Thalak al-Muqayyad” dan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah pada bab talak dengan judul “At-Tanjiz wa at-Ta’liq”. Hanya saja, masalah yang diangkat para ahli fikih tersebut dalam hal; Apakah jatuh talak atau tidak apabila syarat atau perbuatan yang dita’likan itu terpenuhi? Mereka tidak membahas kapan sighat ta’lik talak itu diucapkan.
Tentang sighat ta’lik talak ini, Sayyid Sabiq menyebutkan ada dua macamnya, yaitu:
1. Ta’lik qasamiy, yaitu ta’lik yang tujuan dan maksudnya sumpah (janji) guna mencegah melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Seperti kata suami: “Jika aku keluar rumah, maka engkau tertalak”, yang maksudnya suami melarang istri keluar rumah ketika dia keluar, bukan bermaksud menjatuhkan talak.
2. Ta’lik syartiy, yaitu ta’lik yang tujuan dan maksudnya memang untuk menjatuhkan talah apabila terpenuhi syarat yang diucapkan dalam ta’lik itu. Contohnya suami berkata: “Jika engkau membebaskan aku dan membayar sisa maharmu maka engkau tertalak”.
Adapun tentang hukum kedua sighat ta’lik ini, menurut Jumhur keduanya berlaku (bisa menjatuhkan talak). Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim bahwa ta’lik talak model pertama yang mengandung makna qasam/sumpah adalah tidak berlaku. Adapun macam kedua (syartiy) adalah berlaku (dapat menjatuhkan talak) apabila syarat yang dikaitkan padanya terpenuhi.
Demikianlah para ulama terdahulu membahas ta’lik talak. Adapun masalah waktu pengucapan ta’lik talak ini, apakah sesaat setelah akad nikah (ijab kabul) atau bukan, mereka tidak membahasnya.
III. PENGUCAPAN SIGHAT TA’LIK TALAK PADA SAAT ACARA AKAD NIKAH
Di Indonesia (Departemen Agama) seperti disebutkan di atas, merumus-kan sigat ta’lik yang dibaca sesaat setelah akad nikah. Pertanyaannya adalah layakkah pengucapan sighat ta’lik pada Akad Nikah? Sebab kenyataan di lapangan ada orang yang tidak setuju dengan pengucapan sighat ta’lik ini. Sikap kontra ini pun bertingkat, mulai dari tidak mau mengucapkan dan tidak mau menandatangai; tidak mau mengucapkan tetapi mau menandatangani, sampai penulis pernah mendengar bahwa dengan sighat ta’lik ini Departemen Agama telah mementahkan syariat Islam yang telah matang.
Melihat kontroversi yang ada di masyarakat terhadap pengucapan sighat ta’lik sesaat setelah akad nikah, penulis mengamati ada beberapa pendapat di antaranya:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa pengucapan sighat ta’lik pada akad nikah tidak dibolehkan. Alasannya bahwa Al-Quran dan Sunah tidak menjelaskan hal ini. Karena itulah sebagaimana penulis sebutkan di masyarakat kita ada yang beranggapan bahwa dengan sighat ta’lik Departemen Agama telah mementahkan kembali syariat Islam tentang talak.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa pengucapan sighat ta’lik talak pada akad nikah, dianggap penting sebab tujuannya baik (melindungi hak-hak istri dari kesewenang-wenangan suami). Karena itu, membaca sighat ta’lik setelah akad nikah boleh-boleh saja. Pendapat inilah yang mungkin dianut Departemen Agama dan Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kemudian KHI juga memasukkan pelanggaran suami terhadap ta’lik talak sebagai salah satu alasan terjadinya perceraian (lihat Pasal 116 KHI), meskipun dalam Pasal 46 ayat 3 KHI disebutkan bahwa perjanjian ta’lik talak ini tidak wajib diadakan pada setiap perkawinan. Departemen agama pun tidak mewajibkan pembacaan sighat ta’lik ini seperti dapat dilihat dalam formulir Pemeriksaan Nikah (NB).
Demikian pula, Ibnu Hazem menganggap penting ta’lik talak saat akad nikah sebab baik manfaatnya. Beliau menceritakan bahwa pernah datang seorang wanita kepada Ibnu Umar RA mengadukan halnya bahwa suaminya telah lama pergi dan tidak kembali lagi. Ketika itu Ibnu Umar menanyakan, apakah dulu dibacakan ta’lik talak atau tidak. Jawab wanita itu, tidak dibacakan. Maka menurut Ibnu Umar, wanita itu harus menunggu 4 tahun untuk bisa dijatuhkan talaknya. (Al-Muhalla jilid 9)
3. Pendapat yang mengatakan bahwa pengucapan sighat ta’lik pada akad nikah tidak diperlukan lagi. Demikian inilah putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia pada sidang Komisi Fatwa yang berlangsung pada tanggal 7 September 1996. Adapun di antara alasannya adalah bahwa materi yang tercantum dalam sighat ta’lik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Pegadilan Agama. Demikian pula menurut Kompilasi Hukum Islam, perjanjian ta’lik talak bukan merupakan kewajiban dalam setiap perkawinan (Pasal 46 ayat 3 KHI).
Demikianlah beberapa pendapat yang dapat penyaji amati dan telusuri mengingat terbatasnya sumber acuan dan sulitnya mencari pembahasan topik ini. Sekian, mohon maaf dan terima kasih.

ANALISIS TENTANG PENGUCAPAN SIGHAT TA’LIK
Menanggapi kontroversi pendapat tentang pengucapan sighat ta’lik talak di atas, penulis lebih memilih pendapat ketiga (pengucapan sighat ta’lik talak tidak diperlukan lagi) mengingat:
1. Akad nikah adalah saat dimulainya suatu pernikahan sebagai adanya kecocokan antara kedua calon pengantin untuk membangun suatu rumah tangga, sedangkan talak adalah dimulainya perpisahan (perceraian) sebagai tidak adanya kecocokan antara suami istri. Layakkah pada saat akad nikah dibicarakan pula talaknya? Padahal yang dikehendaki Islam adalah kelanggengan pernikahan, sehingga melakukan nikah mut’ah dilarang oleh agama, dan talak itu pun merupakan jalan terakhir dari berbagai upaya menyelamatkan keutuhan keluarga (dan tidak disukai oleh Allah).
2. Upaya melanggengkan suatu pernikahan juga sudah diupayakan dengan dibentuknya BP.4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Demikian pula sejak tahun 1999 telah dicanangkan gerakan nasional tentang Pembinaan Keluarga Sakinah yang tidak hanya Departemen Agama yang bertanggung jawab tetapi juga melibatkan Departeman Dalam Negeri (PEMDA).
3. Apabila untuk mempermudah jalan pada bagi wanita menceraikan diri dari suaminya maka tanpa sighat ta’lik talak pun, wanita telah sejak dulu bisa melakukan gugatan sebab dalam fikih Islam ada sarananya yaitu khulu atau talak tebus, di mana kasus khulu yang pertama kali terjadi pada zaman Nabi SAW adalah mengenai istri Tsabit bin Qais yang bernama Jamilah. Diceritakan bahwa Jamilah tidak menyukai Tsabit dan memohon cerai khulu kepada Nabi SAW: Jamilah berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada yang dapat mempersatukan kami lagi. Ketika kuangkat cadarku, aku melihat ia datang ditemani oleh beberapa orang laki-laki. Aku dapat melihat bahwa dialah orang yang paling hitam, paling pendek, dan paling jelek rupa di antara mereka. Demi Allah, aku bukan tidak menyukai kekurangan dalam keimanan dan akhlaknya, tetapi kejelekan fisiknyalah yang tidak kusukai. Bila aku tidak takut kepada Allah, aku pasti telah menamparnya ketika ia masuk mendatangiku. Wahai Rasulullah, Anda dapat melihat betapa cantiknya diriku, tetapi Tsabit jelek sekali. Aku tidak menemukan kesalahan dalam agama dan akhlaknya. Namun aku takut kekecewaanku akan menyeretku lebih dekat kepada kekafiran.” Dalam menjawab permohonan Jamilah ini, Nabi SAW bersabda: Maukah engkau mengembalikan kebun yang diberikannya kepadamu? Kata Jamilah: “Tentu wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah pun memanggil Tsabit dan memberitahukannya untuk menerima kembali kebun itu dan menceraikan Jamilah. Sejak itu terjadilah perceraian antara Tsabit dan Jamilah yang didasarkan pada permohonan istri (khulu).
4. Pada dasarnya alasan utama terjadinya perceraian tidaklah terbatas pada materi yang terdapat dalam sighat ta’lik, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (PP 9 / 1975 Pasal 19) maupun Kompilasi Hukum Islam (Pasal 116), tetapi intinya adalah tidak sakinah (sebagai kebalikan dari tujuan pernikahan yang diungkap dalam surat Ar-Rum 21), atau dalam istilah lain disebut syiqaq. Karena itu istilah nusyuz dalam Islam tidak hanya ditujukan kepada wanita tetapi juga terhadap laki-laki. (Lihat An-Nisa 28 dan 34)
Demikianlah makalah yang dapat penyaji berikan, saran dan kritik sangat diharapkan dan terima kasih atas perhatian, semoga bermanfaat

0 komentar: