BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, Agustus 30, 2009

SEPULUH WASIAT DI AKHIR SURAT AL-AN'AM

Shughayyir bin Ali As-Syamiriy
SEPULUH WASIAT
DI AKHIR SURAT AL-AN'AM
Judul asli: Al-Washaya Al-Asyr fi Akhiri Surati Al-An'am
Penerbit: Dar Ibnu Al-Atsir Riyadh

PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memin-ta pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan dari-Nya, dan kami berlindung pada Allah SWT dari keja-hatan diri kami dan dari keburukan perbuatan-per-buatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang dapat menye-satkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang dapat mem-berinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad ada-lah hamba dan utusan Allah SWT.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepa-da Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran: 102)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tu-hanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memper-kembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hu-bungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa: 1)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah ka-mu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-an-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah menda-pat kemenangan yang besar. (QS. Al-Ahzab: 70-71)
Amma ba'du:
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah perkataan yang ada dalam Kitabullah (Al-Quran) dan sebaik-baik petunjuk yang harus diikuti adalah pe-tunjuk Nabi Muhammad SAW. Seburuk-buruk perka-ra adalah perkara yang diada-ada, setiap yang diada-ada adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat, dan akhir dari kesesatan itu adalah api neraka.
Buku kecil ini diberi judul Sepuluh Wasiat Di-akhir Surat Al-An'am, membahas permasalahan yang dicakup ayat-ayat Al-Quran tersebut yang merupakan wasiat terbesar dan risalah singkat dalam surat Al-An'am.
Surat Al-An'am termasuk surat makiyyah (ditu-runkan di Mekah) kecuali beberapa ayat. Ayat pada surat Al-An'am berjumlah 165 (seratus enam puluh lima) ayat. Imam Qurthubi Rahimahullah berkata: "Surat Al-An'am adalah diturunkan di Mekah (makiy-yah) menurut pendapat mayoritas. Ibnu Abbas RA dan Qatadah RA berkata: "Ia diturunkan di Mekah (makiyyah) keseluruhannya kecuali dua ayat yang diturunkan di Madinah (madaniyyah), yaitu firman Allah SWT: وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ turun berkenaan dengan dua orang Yahudi, Malik bin As-Shaif dan Ka'ab bin Al-Asyraf. Ayat kedua adalah firman Allah Azza wa Jalla yang berbunyi: وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ diturunkan berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas Al-Anshari.
Sedangkan menurut Ibnu Jarir RA, Ayat ini ditu-runkan berkenaan dengan Mu'adz bin Jabal. Selain itu, Al-Mawardi menyebutkan bahwa As-Tsa'labi ber-kata: "Surat Al-An'am adalah makiyyah kecuali enam ayat yang diturunkan di Madinah: وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ sampai akhir tiga ayat: قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ sampai akhir tiga ayat. Ibnu Athiyah RA berkata: "Ia adalah ayat muhkamat."
Para ulama mengatakan bahwa ayat ini merupa-kan pokok (dalil utama) dalam berhujjah terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang pembuat bid'ah serta orang-orang yang mendustakan hari kebangkit-an. Karena itu, surat ini menghendaki penurunannya sekaligus (satu kesatuan) karena satu arti dalam huj-jah.
Menurutku (penulis), Ibnu Abbas RA pernah ber-kata: "Apabila kamu ingin mengetahui tentang keja-hilan orang Arab maka bacalah ayat setelah ke-130 dalam surat Al-An'am, seperti ayat 140: قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلادَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ Demikian kata Ibnu Abbas.
Telah disebutkan beberapa hadis tentang keuta-maan surat Al-An'am yang dipaparkan dengan tanpa ilmu tentang kesahihannya dan saya tidak menge-tahui ada seorang ulama pun yang menyatakan ke-sahihannya maka saya pun tidak berkehendak me-nyebutkannya di sini sehingga tidak menisbatkan kepada Nabi SAW sesuatu yang tidak pernah ia kata-kan. Allah-lah yang Mahatahu.
















DAFTAR ISI

Pengantar
Pendahuluan
Sepuluh Wasiat
BAB I DOSA BESAR
1.1 Larangan Berbuat Syirik
1.2 Wasiat Terhadap Orang Tua
1.3 Larangan Membunuh Anak
1.4 Larangan Mendekati Fawahisy
1.5 Larangan Membunuh Jiwa yang Diha-ramkan
1.6 Larangan Memakan Harta Anak Yatim
BAB II MENGIKUTI PERINTAH SEPULUH WASIAT
2.1 Perintah Memenuhi Takaran dan Tim-bangan
2.2 Perintah Adil Di Antara Manusia
2.3 Memenuhi (Menepati) Janji
2.4 Perintah Mengikuti Jalan yang Lurus
Penutup
Daftar Pustaka

PENDAHULUAN




Arti wasiat menurut bahasa, berkata Al-Jauhari: Ausha lahu bisai'in wa ausha ilaihi, maknanya menja-dikannya sebagai wasiat. Tawashau al-qaum, artinya saling berwasiat satu sama lain. Sedangkan wasiat menurut syara, Ibnu Manzhur berkata: يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ artinya Allah SWT menentukan bagiannya bagi mereka (tiap-tiap), karena wasiat dari Allah berarti penentuan atau penetapan. Dalil atas hal ini adalah firman-Nya:
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diha-ramkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu. (QS. Al-An'am: 151)
Ini merupakan penetapan/perintah yang muh-kam (pasti) bagi kita.
Menurutku, wasiat dalam firman Allah ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ adalah wasiat dari Allah SWT untuk hamba-Nya agar melazimkan apa yang diwasiatkan dalam ayat-ayat ini demi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebahagiaan untukku, orang tuaku, guru-guruku, dan saudara-saudaraku di hari pembalasan.
Adapun sepuluh wasiat di akhir surat Al-An'am ini terangkum dalam ayat 151 sampai dengan 153 sebagai berikut:

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diha-ramkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: jangan-lah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan jangan-lah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membu-nuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sam-pai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar ke-sanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, dan bahwa (yang Kami perintah-kan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepa-damu agar kamu ber-takwa. (QS. Al-An'am: 151-153)
















BAB I
DOSA-DOSA PALING BESAR



1.1 Larangan Berbuat Syirik
a. Pengertian Syirik
Syirik menurut bahasa berarti as-syarik dan kata jamaknya asyrak dan syuraka. Dikatakan syaarik atau asyraak (artinya teman atau teman-teman). Di-katakan syaraktu fulanan (artinya saya menemani fulan), saya menjadi temannya, dan menemaninya dalam jual beli dan timbangan. Sedangkan syirik me-nurut istilah syara adalah menjadikan dalam ketu-hanan suatu sekutu bagi Allah SWT.
Menurutku, syirik adalah seorang hamba menja-dikan selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya, menya-makannya dengan Tuhan, mencintainya seperti men-cinta Allah, takut kepadanya seperti takut kepada Allah, bersandar kepadanya, berdoa kepadanya, takut kepadanya, mengharap darinya, bertawakal kepada-nya, meminta pertolongan padanya dan sebagainya.
a. Macam-Macam Syirik
Para ulama membagi syirik kepada dua macam, yaitu syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan syirik kecil yang tidak mengeluarkan pela-kunya dari agama. Syirik yang pertama menghilang-kan segala amal, sedangkan yang kedua menghilang-kan amal yang bercampur dengan syirik dan tidak menghilangkan amal yang murni (tanpa syirik) untuk Allah. Contoh syirik pertama adalah ibadah (menyem-bah) kepada selain Allah SWT. Adapun dalilnya ada-lah firman Allah SWT:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang memperse-kutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar . (QS. An-Nisa: 48)
Contoh kedua adalah riya, seperti ucapan "apa-bila Allah menghendaki dan kamu menghendaki." Dalilnya adalah hadis Mahmud bin Labid RA dari Nabi SAW bersabda:
أخوف ما أخاف عليكم الشرك الاصغر فسئل عنه فقال الرياء
"Sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil." Ditanyakan kepada Nabi; "Apa itu syirik kecil." Jawabnya: "Ar-Riya". (HR. Ahmad)
Juga hadis Hudzaifah bin Al-Yaman RA dari Nabi SAW, ia berkata:
لاتقولوا ماشاء الله وشاء فلان ولكن قولوا ماشاء الله ثم شاء فلان
Janganlah kalian berkata: Apabila Allah meng-hendaki dan fulan menghendaki, tetapi katakan-lah apabila Allah menghendaki kemudian si fulan menghendaki. (HR. Abu Dawud)
Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pemba-gian syirik ini lihat buku A'lam As-Sunnah, halaman 51-52, karya Al-Hakimi RH.
Apa perbedaan kata penghubung waw dengan tsuma pada hadis di atas dan hadis-hadis lainnya?
Athaf dengan waw menghendaki penyertaan dan persamaan, sehingga orang yang mengatakan apabila Allah menghendaki dan fulan menghendaki, terdapat penyertaan antara kehendak Allah SWT dan kehen-dak manusia. Berbeda dengan athaf menggunakan kata tsuma yang menghendaki pengikutan, maka yang berkata apabila Allah menghendaki kemudian fulan menghendaki, artinya telah menetapkan bahwa kehendak hamba itu mengikuti atas kehendak Allah SWT sehingga kehendak manusia itu tidak terjadi kecuali setelah adanya kehendak Allah.
b. Siksa Allah SWT bagi Orang-Orang Musyrik
Di antara siksa bagi orang-orang musyrik adalah bahwa Allah SWT mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka. Dia berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (se-suatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengha-ramkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS. Al-Maidah: 72)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al-Bayyi-nah: 6)
Siksa yang lain adalah bagi mereka diharamkan doa Nabi Muhammad SAW dan orang-orang mukmin. Firman Allah SWT:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيم
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. At-Taubah: 113)
Menurutku, larangan berbuat syirik adalah awal wasiat yang terdapat dalam surat Al-An'am ini.
1.2 Wasiat Agar Birrul Walidain
a. Ayat Keharusan Taat dan Berbuat Baik kepada Orang Tua
Salah satu ayat tentang keharusan taat kepada orang tua dalam surat Al-An'am merupakan wasiat Allah SWT kepada hamba-Nya. Dia berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-per-buatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membu-nuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tu-hanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. Al-An'am: 151)
Imam Qurtubi Rahimahullah berkata: Ihsan ke-pada orang tua adalah berbuat baik dan menjaga mereka, melaksanakan perintah mereka, dan menja-uhkan kesulitan dari mereka dan tidak menguasai ke-duanya.
Menurutku, Allah SWT menggandengkan keha-rusan berbuat ihsan kepada orang tua dengan ke-harusan beribadah kepada-Nya, Dia berfirman:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah ka-mu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan-lah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua de-ngan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wa-hai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaima-na mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al-Isra: 23-24)
Perintah Allah agar berbuat baik kepada orang tua meskipun mereka kafir, Allah SWT berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya da-lam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksa-mu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan perga-ulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikuti-lah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemu-dian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu ker-jakan. (QS. Luqman: 14-15)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: "Oleh karena itu, birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) disertai dengan ibadah kepada Allah SWT, maka Dia berfirman: وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا yakni dan hendaknya kemu berbuat baik kepada kedua orang tua. Demi-kian pula firman Allah SWT pada ayat lain:

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
Begitu pula firman Allah SWT yang berbunyi:

Jika salah seorang di antara keduanya atau ke-dua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeli-haraanmu, maka sekali-kali janganlah kamu me-ngatakan kepada keduanya perkataan "ah". (QS. Al. Isra: 23)
Yakni jangan memperdengarkan kepada mereka per-kataan yang buruk. Firman Allah: ولا تَنْهَرْهُمَا maksud-nya jangan sampai keluar dari dirimu suatu per-buatan buruk. Begitu juga Atha bin Abi Rabbah me-nafsirkan firman Allah: ولا تَنْهَرْهُمَا maksudnya jangan sampai tanganmu memukul kedua orang tua.
b. Hadis-Hadis Tentang Birrul Walidain
Ada sejumlah hadis syarif yang menjelaskan ten-tang keutamaan berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain) dan mengharamkan perlakuan buruk terhadap mereka.
1. Hadis dari Abu Hurairah RA, katanya seseorang berkata:
يا رَسُولِ اللَّهِ! مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصَحَبة؟ قَالَ أُمُّكََ ثُمَّ أُمُّكََ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ ادناك فأدناك.
Wahai Rasulullah! Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik mungkin؟ Rasulullah SAW bersabda: Ibumu. Kemudian ibu-mu. Kemudian ibumu. Beliau terus bertanya: Ke-mudian siapa؟ Rasulullah SAW bersabda: Kemu-dian ayahmu kemudian seterusnya dan seterus-nya. (HR. Bukhari)
2. Hadis dari Abdullah bin Amer bin Al-Ash RA, ia berkata: Seseorang datang kepada Nabi SAW me-minta izin untuk berjihad. Rasulullah SAW berta-nya:
أحي والداك؟ قال: نعم قال: ففيـهما فجاهد
Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Ia men-jawab: "Ya benar." Nabi SAW bersabda: "Berjihadlah untuk kehidupan keduanya." (HR. Bukhari)
3. Hadis dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW ber-sabda:
رغم أنف ثم رغم أنف ثم رغم أنف. فقيل من يا رسول الله؟ قال من أدرك أبويه عند الكبر أحدهما أو كلاهما فلم يدخلاه الجنـة
"Celaka, celaka, celaka." Ditanyakan kepada Nabi SAW: "Siapa ya Rasulullah?" Nabi SAW menja-wab: "Barangsiapa yang mendapatkan salah satu atau kedua orang tuanya berumur panjang (lanjut usia), tetapi kedua orang tuanya itu tidak men-jadikan dia masuk ke surga."
4. Hadis dari Abdullah bin Amer RA, dari Nabi SAW bersabda:
رضا الرب برضى الوالد وسخط الرب بسخط الوالد
Ridha Tuhan berada pada ridha orang tua dan murka Tuhan bergantung pada murka orang tua.
Sedangkan riwayat Imam Thabrani mengguna-kan lafal walidaini (kedua orang tua) bukan lafal al-walid.
5. Hadis dari Ibnu Amer RA, dari Nabi SAW bersab-da:
الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين وقتـل النفس واليمين الغموس
Termasuk dosa besar adalah berbuat syirik ter-hadap Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa yang tidak hak, dan sumpah palsu.
Imam Adz-Dzahabi berkata: "Wahai orang yang kehilangan! Ingat-ingatlah berbagai hak dari birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua). Kedurhakaan yang tidak disadari disaat lalai terhadap kewajiban untuk berbuat baik kepada kedua orang tua adalah utang bagimu. Engkau mengikuti sunah dengan anggapanmu mengharap surga, padahal sur-ga itu berada dibawah telapak kaki ibumu. . ." (te-tapi engkau melalaikan birrul walidain).

1.3 Larangan Membunuh Anak
a. Kasih Sayang Orang Tua Terhadap Anaknya
Susungguhnya fitrah yang diberikan Allah SWT kepada manusia, kecuali mereka yang berlebih-lebih-an, menetapkan pada hati dan jiwa orang tua rasa kasih dan sayang terhadap anak-anak mereka dan merasa sedih apbila berpisah dengannya. Ya'kub AS sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran Al-Karim, ia berkata:
يَاأَسَفَى عَلَى يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
"Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (ter-hadap anak-anaknya). (QS. Yusuf: 84)
Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya aku men-cium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)". Ke-luarganya berkata: "Demi Allah, sesungguhnya ka-mu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu". Tat-kala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya`qub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Ya`qub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak menge-tahuinya". (QS. Yusuf: 94-96)
Kondisi seperti ini tidak diragukan sebab anak merupakan buah hati. Dalam hadis Abu Musa Al-Asy'ari disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إذا مات ولد العبد قال الله لملائكته: قبضتم ولد عبدي فيقولون: نعم فيقول: قبضتم ثمرة فؤاده فيقولون: نعم فيقول: ماذا قال عبدي؟ فيقولون: حمدك واسترجع فيقول الله: ابنوا لعبدي بيـتا فى الجنة وسموه بيت الحمد.
Apabila seorang anak manusia (hamba Allah) me-ninggal dunia, Allah SWT berfirman kepada mala-ikatnya: "Engkau ambil anak hamba-Ku." Para malaikat berkata: "Ya benar." Allah SWT berkata: "Kalian ambil buah hatinya." Kata malaikat: "Ya benar." Allah SWT berkata: "Apa yang dikatakan hamba-Ku?" Malaikat berkata: "Ia memuji-Mu dan mengembalikannya kepada-Mu." Maka Allah SWT berfirman: "Bangunlah untuk hamba-Ku itu se-buah rumah di surga dan namailah rumah itu Baitul Hamdi (rumah pujian)." (HR. Tirmizi)
Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan bahwa firman Allah: "Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf," maksudnya Ya'kub berpaling dari anak-anaknya itu dan berkata kepada mereka meng-ingatkan akan kesedihan dirinya terhadap Yusuf da-hulu dengan ucapannya: "Aduhai duka citaku terha-dap Yusuf." Mengingatkan kembali akan kesedihan yang sangat. Lalu katanya: تَفْتَؤا تَذْكُرُ يُوسُفَ "senantiasa kamu mengingat Yusuf" yakni kata anak-anak Ya'kub: "tidak henti-hentinya kamu mengingat Yusuf, حَتَّى تَكُونَ حَرَضًا"sehingga kamu mengidapkan suatu penyakit yang berat," yakni penyakit yang melemahkan kekuatan, أَوْ تَكُونَ مِنَ الْهَالِكِينَ "atau kamu termasuk orang-orang yang binasa." Mereka (anak-anak Ya'kub) ber-kata: Jika kondisi demikian ini terus-menerus terjadi padamu kami khawatir kamu binasa. Akan tetapi, Ya'kub berkata: قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ "Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku," yakni kegelisahan yang aku derita ha-nya kepada Allah semata aku adukan.
Demikian pula ibunya Musa AS ketika keluarga Fir'aun menemukan Musa, kosong hatinya dari kesa-baran dan berkata:

Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesung-guhnya hampir saja ia menyatakan rahasia ten-tang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). (QS. Al-Qashash: 10)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: "Allah berfirman memberitahu tentang hati ibu Musa ketika anaknya berlayar di laut (sungai Nil), seolah-olah ia kosong dari segala urusan dunia kecuali terhadap Musa (anaknya). Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Abu Ubaidah, Ad-Dhahak, Hasan Al-Basri, dan Qatadah mengatakan bahwa ucapan: "Sesung-guhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa," yakni dari sangat sedih dan kasihnya terhadap anaknya itu, hampir ia memberitahu (kepada keluar-ga Fir'aun) bahwa anak yang diambil itu adalah anaknya, seandainya bukan karena Allah SWT mene-guhkan dan menyabarkannya, sebagaimana firman Allah SWT: "seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah)."
b. Haram Membunuh Anak Karena Takut Kelaparan
Larangan Allah SWT ini merupakan keharaman membunuh anak-anak karena takut kelaparan dan Allah SWT juga menjelaskan bahwa hal itu meru-pakan kesalahan (dosa) yang besar. Dia berfirman:

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diha-ramkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: jangan-lah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, ber-buat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. (QS. Al-An'am: 151)
Karena itu, larangan membunuh anak-anak me-rupakan salah satu wasiat yang dikandung ayat mu-lia ini. Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata: "Yak-ni janganlah kalian mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan kalian karena khawatir kemiskinan sebab Aku (Allah) adalah pemberi rezeki kepadamu dan kepada mereka." Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata: "Janganlah kamu membunuh anak-anak ka-mu," yang dimaksud adalah mengubur anak hidup-hidup, "karena takut kemiskinan," yakni karena kha-watir kefakiran.
Menurutku, pendapat Ibnu Jauzi Rahimahullah, mengubur anak hidup-hidup barangkali merujuk ke-pada kebiasaan jahiliyah, dan keharaman di sini ter-masuk juga membunuh anak perempuan dan anak laki-laki, baik itu dengan cara mengubur mereka hidup-hidup maupun menguburnya setelah membu-nuhnya terlebih dahulu. Dengan keharaman yang ditetapkan oleh Allah ini, berarti Dia melindungi dan memelihara kita dengan penjagaan-Nya.
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: "Orang tua dan kakek sama memiliki kebaikan dan kasih sayang terhadap anak-anak dan cucu. Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (QS. Al-Isra: 31)
Adanya larangan ini karena mereka (orang Arab jahiliyah) telah membunuh anak-anak mereka, lalu akibat digoda setan, mereka mengubur anak perem-puan hidup-hidup karena khawatir cela, dan barang-kali mereka juga membunuh sebagian anak laki-laki karena takut kemiskinan.
Di antara ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan tentang keharaman membunuh anak-anak ini adalah:

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada-mu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra: 31)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: "Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengasihi hamba-Nya melalui kasih orang tua terhadap anak-nya, karena Dia melarang membunuh anak-anak se-bagaimana Dia juga berwasiat kepada orang tua un-tuk memberi harta waris bagi anak-anaknya, di mana orang-orang Arab jahiliyah biasa mengubur anak perempuan hidup-hidup, bahkan salah seorang dari mereka berangkali membunuh anak perempuan-nya hanya agar tidak mendapat cela (aib), maka Allah melarang hal itu dengan firman-Nya: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemis-kinan." Yakni takut kefakiran. Ini ditunjukkan dengan didahulukannya perhatian terhadap kemiskinan se-perti dalam firman-Nya: "Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu." Lalu firman-Nya: "Sesungguhnya membunuh mereka ada-lah suatu dosa yang besar." Di antara dalil bahwa membunuh anak-anak merupakan dosa besar adalah hadis Abdullah bin Mas'ud, katanya:
قلت يارسول الله أي الذنب عند الله أعظم؟ قال: ان تجعل لله ندا وهو خلقك قلت ثم أي؟ قال: ثم ان تقتـل ولدك خشية أن يطعم معك قلت ثم أي؟ قال: أن تزاني بحليلة جارك.
Aku berkata, wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah? Jawab Rasulullah SAW: "Menjadikan bagi Allah suatu sekutu padahal Dia telah menciptakan kamu." Tanyaku lagi: "Kemu-dian apa lagi?" Jawab beliau: "Kemudian membu-nuh anak-anak kamu karena takut ia makan ber-samamu." Tanyaku lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Berzina dengan istri tetangga-mu." (HR. Muslim)
Menurut Ibnu Katsir Rahimahullah, hadis Nabi SAW ini diperkuat oleh Allah SWT dengan diturun-kannya ayat yang membenarkan ucapan beliau, yaitu firman Allah:

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, nis-caya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya). (QS. Al-Furqan: 68)
Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa sabda Rasulullah: "membunuh anak-anak kamu karena takut ia makan bersama kamu." Yakni dari segi kemurahan jiwanya (orang tua) kepada anaknya ketika tidak dite-mukan sesuatu yang mencukupkan untuk makan atau dari segi kepelitan (orang tua) padahal ia berke-cukupan (memiliki harta).
Menurutku, masuk dalam kategori keharaman juga membunuh anak-anak wanita karena takut aib sebagaimana dilakukan orang-orang jahiliyah. Allah SWT berfirman:

Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (QS. At-Takwir: 8-9)
1.4 Larangan Mendekati Perbuatan Keji
a. Arti Perbuatan Keji
Fahisyah (perbuatan keji) bisa berarti buruk da-lam perkataan atau perbuatan. Kata jamaknya fawa-hisy. Sedangkan dalam istilah syara adalah segala se-suatu yang sangat keburuk dan keji berupa dosa atau maksiat.
b. Penjelasan Arti Perbuatan Keji (Fahisyah)
Salah satu wasiat dalam surat Al-An'am adalah larangan mendekati keburukan yang tampak maupun yang tidak. Allah SWT berfirman:


Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-per-buatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membu-nuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. Al-An'am: 151)
Abul Faraj bin Al-Jauzi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji dalam ayat ini ter-dapat lima pendapat. Salah satunya, bahwa perbuat-an keji (fahisyah) adalah zina dan perbuatan keji yang tampak adalah yang terang-terangan, sedangkan per-buatan keji yang tersembunyi adalah yang dirahasia-kan. Ini pendapat Ibnu Abbas dan Al-Hasan.
Pendapat kedua, bahwa perbuatan keji yang tampak adalah minum khamer dan menikahi wanita yang diharamkan, sedangkan yang tersembunyi ada-lah zina. Ini pendapat Sa'id bin Jubair dan Mujahid.
Pendapat ketiga, bahwa perbuatan keji yang tam-pak adalah minum khamer sedangkan yang tersem-bunyi adalah zina. Ini pendapat Ad-Dhahak.
Pendapat keempat, bahwa perbuatan keji dalam ayat ini bersifat umum terhadap semua perbuatan keji, yang tampak adalah yang dilakukan dengan terang-terangan sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan keji yang dirahasiakan. Ini pendapat Imam Qatadah.
Pendapat kelima, bahwa perbuatan keji yang tampak adalah perbuatan keji yang dilakukan ang-gota badan, sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan keji yang diyakini hati. Pendapat ini dise-butkan Al-Mawardi disaat menafsirkan ayat tersebut di atas juga dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi:

Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. (QS. Al-An'am: 120)
Imam As-Sudiy Rahimahullah berkata: Perbuat-an keji yang tampak adalah zina, sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan keji yang disembunyi-kan. Ad-Dhahak Rahimahullah berkata: Perbuatan keji yang tampak adalah yang dilakukan secara terang-terangan sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan keji yang dirahasiakan. Ia juga berkata: "Yang tampak adalah minum khamer sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan zina." Al-Baghawi berkata: "Yang tampak adalah perbuatan keji yang dilakukan secara terang-terangan, sedangkan yang tersembunyi adalah yang dirahasiakan, karena orang-orang jahiliyah menganggap buruk perbuatan zina yang terang-terangan sedangkan yang dirahasiakan tidak apa-apa. Oleh karena itu, Allah SWT mengha-ramkan perbuatan zina baik secara terang-terangan maupun secara rahasia." Al-Qurthubi Rahimahullah berkata: "apa yang tampak" adalah larangan terhadap semua perbuatan keji yaitu maksiat, sedangkan yang tersembunyi adalah penyelewengan yang diyakini oleh hati."
Menurutku, yang dimaksud dengan fawahisy adalah segala sesuatu yang dianggap buruk dan keji dari dosa dan Allah SWT merasa cemburu atas pe-langgaran terhadap larangan-Nya. Ibnu Mas'ud RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لاأحد أغير من الله ولذلك حرم الفواحش ما ظهر منها وما بطن
Tidak ada seorang pun yang lebih cemburu dari-pada Allah, karena itu Dia mengharamkan per-buatan keji (fawahisy) baik yang tampak maupun yang tersembunyi."
Adapun dosa-dosa kecil yang dinamakan oleh Allah dengan al-lamam seperti dalam firman-Nya:

(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesa-lahan kecil. (QS. An-Najm: 32)
Maka tidak seorang pun yang dapat selamat darinya kecuali bila Allah SWT mengkehendaki. Ka-rena itu, Allah SWT memuji orang-orang yang men-jauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali kesalahan-kesalahan kecil (al-lamam).
c. Ancaman Allah Bagi Pelaku Fahisyah
Allah SWT menyebutkan berbagai maksiat yang dianggap keji keburukannya lalu Dia mengancam akan menggandakan siksa bagi pelakunya. Dia berfir-man:

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, nisca-ya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. (QS. Al-Furqan: 68-69)
Allah SWT juga mengancam orang-orang yang membunuh jiwa yang diharamkan Allah. Firman-Nya:

Dan barangsiapa yang membunuh seorang muk-min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyedia-kan azab yang besar baginya. (QS. An-Nisa: 93)
Allah SWT juga mengancam orang-orang yang berbuat riba. Firman-Nya:

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) pe-nyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpenda-pat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka bagi-nya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepa-da Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)
Diriwayatkan dari Jabir RA, katanya:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء
Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberinya, penulisnya, juga dua saksinya, dan beliau bersabda: "Mereka itu sama."
Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA, dari Rasu-lullah SAW, sabdanya:
لعن الله السارق يسرق البيضة فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده
Allah melaknat pencuri yang mencuri telur lalu ia dipotong tangannya, dan mencuri tambang lalu ia dipotong tangannya.
Penulis sengaja menyebutkan dalil-dalil ini ber-dasarkan atas pendapat bahwa perbuatan keji (fa-hisyah) itu bermakna umum terhadap segala dosa yang diang-gap buruk dan keji.
1.5 Larangan Membunuh Jiwa Yang Diharamkan
a. Kedudukan Manusia Dihadapan Tuhan
Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan manusia di sisi Allah SWT mempunyai posisi yang agung di mana Dia berfirman:

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra: 70)
Oleh sebab itu, ditetapkan pada Bani Israil bah-wasanya barangsiapa membunuh satu jiwa manusia seolah-olah ia membunuh manusia seluruhnya dan sebaliknya. Firman Allah SWT:

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (mem-bunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan ba-rangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manu-sia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah: 32)
Sa'id bin Jubair RA berkata: "Barangsiapa me-numpahkan darah seorang muslim maka ia seolah-olah menghalalkan darah semua manusia. Dan ba-rangsiapa mengharamkan darah seorang muslim ma-ka ia seolah-olah mengharamkan darah semua manu-sia." Menurut Ibnu Katsir, inilah yang tampak jelas dari makna ayat ini.
b. Sikap Islam dalam Penumpahan Darah
Dalam surat Al-An'am, Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diha-ramkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. Al-An'am: 151)
Al-Baghawi Rahimahullah berkata: "Allah SWT mengharamkan membunuh seorang muslim dan orang kafir dalam perjanjian kecuali dengan alasan yang dibenarkan, kecuali dengan sebab yang dibo-lehkan membunuhnya, seperti murtad, qisas, atau zina yang mengharuskan rajam."
Imam Syawkani Rahimahullah mengatakan bah-wa firman Allah, وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ "dan janganlah kamu membunuh jiwa," huruf lam dalam kata an-nafs adalah liljinsi yang diharamkan Allah, yakni janganlah kamu membunuh sesuatu dari jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan sebab yang benar, yakni dengan sebab yang diharuskan kebenaran."
Menurutku, Allah SWT telah mengharamkan pe-numpahan darah dan pelenyapan ruh dengan keha-raman yang sangat kecuali yang memang dikecua-likan oleh syariat. Jenis manusia di sini termasuk manusia muslim, kafir, kafir dalam perjanjian, kafir yang minta perlindungan, dan ahli dzimah.
Adapun muslim maka ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairah RA, katanya Rasulullah SAW bersabda:
كل المسلم على المسلم حرام دمه وعرضه وماله
Setiap muslim atas muslim lain adalah haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya."
Demikian pula hadis Ibnu Mas'ud RA katanya, Rasulullah SAW bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
Mencela orang muslim adalah fasik dan membu-nuhnya adalah kafir.
Adapun orang kafir yang dalam perjanjian ditun-jukkan oleh hadis Abdullah bin Amer RA dari Nabi SAW, sabdanya:
من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما
Barangsiapa membunuh orang kafir dalam per-janjian maka ia tidak akan merasakan harumnya surga, dan sesungguhnya harum surga itu dite-mukan sejauh jarak empat puluh tahun perjalan-an."
Sedangkan ahli dzimmah telah ditunjukkan oleh hadis salah seorang sahabat Nabi SAW, katanya beliau SAW bersabda:
من قتل رجلا من اهل الذمة لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها توجد من مسيرة سبعين عاما
Barangsiapa membunuh seorang dari ahli dzimmi maka ia tidak akan mencium harumnya surga, dan sesungguhnya harumnya itu dapat tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun.
Menurutku, dalil-dalil tentang kafirnya orang yang membunuh di atas oleh ahli sunah wal jamaah dibawa pada kategori kafir kecil yang tidak menge-luarkan pelakunya dari agama.
c. Qisas dan Hikmahnya
Hukum qisas ditetapkan oleh Al-Quran, Sunnah dan Ijma. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di da-lamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. (QS. Al-Maidah: 45)
Firman-Nya:

Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelang-sungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 179)
Adapun dalam Sunnah adalah hadis dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda:
من قتل له قتيل فهو بأحد النظرين اما أن يؤدي واما أن يقاد
Barangsiapa yang dibunuh, maka wali atau ke-luarganya boleh membuat dua pilihan; mau me-nuntut diat atau bunuh balas. (HR. Bukhari)
Sedangkan Ijma, maka tidak ada perselisihan an-tara ahli ilmu dalam masalah qisas terhadap pembu-nuh yang memenuhi syarat qisas dan tidak ada pen-cegahnya. Orang yang membunuh memiliki tiga hak, kata Khalil Haras, pendapat yang benar adalah bahwa bagi si pembunuh memiliki tiga hak; hak terhadap Allah, hak terhadap ahli waris, dan hak bagi yang terbunuh. Hak Allah SWT hilang dengan taubat, hak ahli waris selesai dengan tebusan atau pemaafan di dunia, sedangkan hak bagi yang terbunuh tidaklah hilang sampai ia bertemu dengan pembunuhnya pada hari kiamat dan ia datang sementara kepalanya di tangannya seraya berkata: "Ya Tuhan, tanyakanlah padanya, tentang apa ia membunuhku."
Menurutku, dalam qisas ini terdapat hikmah yang agung, barangkali yang tampak jelas adalah menahan manusia dari menumpahkan darah yang diharamkan Allah SWT, dan memberikan kepuasan kepada para wali yang terbunuh, sehingga perten-tangan tidak berkepanjangan dan balas dendam dan hukum lainnya terhenti.
1.6 Larangan Memakan Harta Anak Yatim
Yatim menurut bahasa berarti tidak punya ayah. Kata jamak dari yatim adalah aitam atau yatama. Dalam istilah syariat, kata Al-Jauhari, yatim itu ketia-daan orang tua dari pihak ayah sedangkan dalam binatang dari pihak ibu. Ibnu Manzhur juga ber-kata, yatim di kalangan manusia adalah anak kecil yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia baligh, se-dangkan dalam binatang adalah ketiadaan (ditinggal mati) ibu.
a. Memelihara Yatim dan Menjaga Hartanya
Dalam surat Al-An'am, Allah SWT berfirman se-bagai wasiat bagi manusia:

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hing-ga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu ber-kata, maka hendaklah kamu berlaku adil kenda-tipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah ke-padamu agar kamu ingat. (QS. Al-An'am: 152)
Imam Thabari Rahimahullah berkata: "Allah SWT memperhatikan anak yatim dengan firman-Nya, "Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at", dan janganlah mendekati hartanya kecuali dengan cara yang mem-berikan kebaikan dan pengembangannya. Rabi'ah, Zaid bin Aslam, Malik, dan Amir berkata: "Hingga dia mencapai usia dewasa, yakni baligh."
Ibnul Jauzi Rahimahullah berpendapat bahwa firman Allah: "Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, karena serakah terhadap hartanya disebabkan sedikit perhatian dan lemahnya si yatim. Firman Allah SWT: "kecuali dengan cara yang lebih berman-faat," terdapat empat pendapat:
Pertama, bahwasanya pengurus anak yatim dibo-lehkan memakan harta si yatim secara makruf sesuai dengan kebutuhannya. Ini pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Zaid.
Kedua, boleh berdagang dengan hartanya. Ini pendapat Sa'id bin Jubair, Mujahid, Ad-Dhahak, dan As-Sudi.
Ketiga, si pengurus harus memeliharanya/men-jaganya sampai waktu penyerahannya (baligh). Ini pendapat Ibnu Sa'ib.
Keempat, ia harus menjaga dan mengembang-kannya sampai si yatim itu mempunyai kekuatan pemuda dan baligh. Ini pendapat Az-Zujaj. Ibnu Qutaibah berkata: Makna ayat di atas adalah sampai ia (si yatim) mencapai puncak pertumbuhan kelaki-lakikan. Imam Qurthubi berkata: ""Dan janganlah ka-mu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat", yakni dengan cara yang didalam-nya terdapat kebaikan dan pengembangan terhadap harta tersebut. Hal itu dapat dilakukan dengan men-jaga harta pokoknya dan mengembangkan cabang-nya (keuntungannya). Ini adalah pendapat terbaik tentang masalah pemeliharaan harta anak yatim ka-rena ia mencakup seluruh permasalahan.
Menurutku, masih terdapat pendapat lain yang tidak saya kemukakan di sini karena menurut pan-danganku jauh (agak menyimpang) dari pemahaman ayat tersebut, wallahu a'lam.
Hal yang menunjukkan atas keharusan meng-asuh yatim dan penjagaan terhadap hartanya adalah firman Allah SWT:

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesung-guhnya tindakan-tindakan (menukar dan mema-kan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An-Nisa: 2)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: "Allah SWT menyuruh menyerahkan harta anak yatim kepada mereka secara keseluruhan dan melarang memakan-nya atau mencampurnya dengan harta kalian, karena itu Dia berfirman: "jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk," dan firman-Nya: "dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu."
Mujahid, Sa'id bin Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil, As-Sudi, dan Sufyan bin Husain mengatakan bahwa firman Allah: "memakan harta mereka bersama harta kamu" adalah mencampurnya dengan harta kamu dan lalu memakan semuanya, dan firman Allah SWT: "Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan me-makan) itu, adalah dosa yang besar." Menurut Ibnu Abbas RA, hubban kabiira berarti dosa besar.
Menurutku, orang yang memelihara anak yatim berada dalam surga bersama Nabi Muhammad SAW. Abu Hurairah RA menyebutkan riwayat dari Nabi SAW bersabda:
كافل اليتيم له او لغيره أن وهو كهاتين فى الجنة وأشار مالك بالسبابة والابهام
Pemelihara anak yatim, aku dan dia seperti begini di surga, lalu ia mengisyaratkan jari telunjuk dan jempol.
Kemudian menurutku, tidak boleh memelihara dan menjaga harta anak yatim kecuali orang yang dapat menjaga hukum Allah SWT, yang akan meng-awasinya.
b. Siksa Pemakan Harta Anak Yatim Secara Zalim
Allah SWT mengancam orang-orang yang mema-kan harta anak yatim secara zalim bahwasanya mere-ka akan memakan api neraka di dalam perutnya dan masuk dirinya sendiri masuk di dalam neraka jahan-am karena kezaliman yang dilakukannya. Firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (nera-ka). (QS. An-Nisa: 10)
Imam Qurthubi Rahimahullah berkata: Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud firman Allah di atas adalah mereka yang mendapat wasiat memeliha-ra anak yatim yang memakan sesuatu yang tidak dibolehkan bagi mereka memakannya (harta anak yatim tersebut) dan yang dimakan itu dinamai seba-gai api yang menyala di dalam perut. Dan dikatakan meksud api tersebut adalah haram, karena keharam-an itu mengharuskan pelakunya masuk api neraka maka dinamakan dengan nama tersebut (api). Firman Allah, وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (Dan mereka akan masuk ke dalam sa'ir.) Kata sa'ir dalam ayat ini berarti batu yang menyala dan Nabi Muhammad SAW mengang-gapnya termasuk dari hal yang membinasakan seperti dalam hadis Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ *
Jauhilah tujuh perkara yang boleh membinasa-kan kamu yaitu menyebabkan kamu masuk nera-ka atau dilaknati oleh Allah. Para Sahabat berta-nya: Wahai Rasulullah! Apakah tujuh perka-ra itu? Rasulullah SAW bersabda: Mensyirikkan Allah yaitu menyekutukan-Nya, melakukan per-buatan sihir, membunuh manusia yang diharam-kan oleh Allah melainkan dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan pertempuran dan memfitnah perempuan-perempuan yang baik yaitu yang boleh dikawini serta menjaga maruah dirinya, juga perempuan yang tidak memikirkan untuk melakukan perbuat-an jahat serta perempuan yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan fitnah melakukan perbuatan zina. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi Rahimahullah berkata: Adapun al-mubiqat (perkara yang membinasakan) yaitu yang menghancurkan.
Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata: Para ulama mengatakan bahwa setiap wali (pengurus) anak yatim apabila miskin lalu memakan sebagian dari harta anak yatim itu dengan cara yang baik sesuai dengan pengurusannya dalam kemaslahatan harta tersebut dan pengembangannya maka hal itu dibolehkan. Apabila melebihi yang ma'ruf (berlebihan) maka ia berdosa dan haram. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. An-Nisa: 6)


















BAB II
BERBAGAI PERINTAH



2.1 Perintah Mencukupkan Takaran dan Timbang-an
Allah SWT menyuruh mencukupkan (menyem-purnakan) timbangan dan perintah atas sesuatu ber-arti melarang atas lawannya. Lawan mencukupkan adalah mengurangi. Allah SWT berfirman:
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan de-ngan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS. Al-An'am: 152)
Dalam menjelaskan firman Allah Azza wa Jalla surat Al-An'am ayat 151 dan 152 yang berbunyi:


Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diha-ramkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: jangan-lah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi re-zeki kepadamu dan kepada mereka; dan jangan-lah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membu-nuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan tim-bangan dengan adil. (QS. Al-An'am: 151-152)
Imam Thabari Rahimahullah berkata: "Janganlah manusia itu mengurangi takaran dan tidak pula me-ngurangi timbangan apabila menimbang (barang da-gangan), tetapi sempurnakanlah (cukupkanlah) hak-hak mereka, memberikan haknya dengan sempurna dan adil. Imam Qurthubi juga berkata, firman Allah "Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil," artinya dengan adil (tidak kurang dan tidak le-bih). Dalil yang menunjukkan atas hal ini adalah firman Allah SWT:

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu me-nakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Isra: 35)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: "Sempurna-kanlah timbangan apabila kalian menimbang yakni dengan tidak menguranginya."
a. Siksa bagi Pengurang Takaran dan Timbangan
Allah SWT mengancam orang yang mengurangi takaran dan timbangan dengan akan memasukkan-nya ke dalam neraka Weil yang merupakan salah satu siksa (azab). Firman-Nya:

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang cu-rang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al-Muthafifin: 1-3)
Ibnu Katsir berkata: Yang dimaksud dengan tatfif di sini adalah mengurangi dalam takaran dan tim-bangan, baik itu dengan menambah bila ia yang menghendaki dari orang lain untuk dirinya maupun dengan mengurangi apabila ia yang menimbang un-tuk mereka. Oleh karena itu, Allah SWT menjelaskan bah-wa orang-orang yang mengurangi (timbangan dan takaran) disediakan bagi mereka kerugian dan kehan-curan. Di antara kaum yang dihancurkan Allah SWT adalah kaum Syu'aib yang suka mengurangi timbang-an. Firman-Nya:

Penduduk Aikah telah mendustakan rasul-rasul; ketika Syu`aib berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa?, Sesungguhnya aku ada-lah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) ke-padamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Sempur-nakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. As-Syu'ara: 176-183)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, katanya: Tidak ada suatu kaum yang mengurangi takaran dan tim-bangan melainkan akan dikurangi baginya rezeki." (Disebutkan Al-Qurthubi dalam tafsirnya)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: "Allah SWT menyuruh menegakkan keadilan dalam mengambil dan memberi sebagaimana mengancam terhadap pe-langgarnya dengan firman-Nya:

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang cu-rang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri meng-hadap Tuhan semesta alam? (QS. Al-Muthafifin: 1-6)
Al-Quran Al-Karim mencatat bahwa Allah SWT telah menghancurkan umat yang suka mengurangi takaran dan timbangan.
2.2 Perintah Adil Diantara Manusia
a. Persamaan Antara Lawan
Wasiat kedelapan dalam surat Al-An'am adalah adil dan tidak ada kecintaan kerabat. Firman Allah SWT:

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah ka-mu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu). (QS. Al-An'am: 152)
Imam Thabari Rahimahullah berkata: Allah SWT memperhatikan keadilan dengan firman-Nya "dan apabila kamu berkata maka hendaklah berlaku adil." Yakni apabila kalian memutuskan suatu perkara di antara manusia maka kalian berbicara, katakanlah yang benar di antara mereka dan berlaku adillah dan janganlah melampaui batas meskipun orang yang menghadapi kebenaran dan hukum itu kerabatmu. Dan janganlah sampai kerabat dekat dan teman dekat yang kamu adili dengan orang lain melalaikan kamu dari mengatakan yang benar dalam apa yang kamu tetapkan terhadap mereka. Al-Baghawi Rahimahullah berkata: "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil" dalam hukum dan persaksian se-kalipun terhadap keluarga dekat dan meskipun yang diadili dan yang dipersaksikan adalah kerabat.
Ibnu Katsir berkata: Allah SWT menyuruh ber-laku adil dalam perbuatan dan perkataan baik terha-dap terhadap kerabat maupun bukan kerabat dan Allah SWT juga menyuruh berlaku adil terhadap se-tiap orang disetiap waktu dan keadaan.
Menurutku, keadilan juga harus diberlakukan da-lam penetapan hukum. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebe-naran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8)
Dalam hadis Abdullah bin Amer RA disebutkan katanya Rasulullah SAW bersabda:
إن المقسطين عند الله على منابر من نور عن يمين الرحمن وكلتا يديه يمين الذين يعدلون فى حكمهم وأهليهم وما ولوا
Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah berada di mimbar cahaya di samping kanan Allah Ar-Rahman dan kedua tangannya memegang orang-orang yang berlaku adil dalam penetapan hukum terhadap keluarga dan orang yang ada dalam pengasuhannya. (HR. Muslim)
b. Anjuran Bersikap Jeli dalam Menetapkan Suatu Hukum
Seorang hakim atau wakilnya atau orang yang melakukan perbaikan (islah) antara manusia harus cenderung dan bersikap jeli dalam menetapkan kepu-tusan antara lawan, maka ia melihat dengan saksama dan tidak bergesa-gesa dalam memutuskan suatu hukum sehingga tidak menyesal dikemudian hari. Oleh karena itu, Allah SWT befirman:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepa-damu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menim-pakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan ka-mu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Ibnu Katsir berkata: Allah SWT menyuruh agar tsabat (mengklarifikasi) berita orang fasik dan agar berhati-hati darinya sehingga tidak menetapkan hu-kum berdasarkan berita itu yang pada hakikatnya merupakan suatu kedustaan atau kesalahan.
Menurutku, tidak sedikit para ahli tafsir menye-butkan bahwa ayat ini turun mengenai Al-Walid bin Uqbah ketika diutus Nabi SAW untuk memungut zakat dari Al-Haris bin Dhirar dan kaumnya dari Bani Khuza'ah, di mana ketika Al-Walid sampai di tengah perjalanan merasa takut lalu pulang kembali dan melapor: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Haris enggan memberiku zakat dan bahkan ia hendak membunuh-ku. . . sampai akhir cerita. Kisah ini tidak tsabat, tanpa sanad dan matan. Adapun mengenai sanad sesungguhnya topik pembicaraannya berkisar seputar Dinar Al-Kufi ayah Isa di mana ia majhul (tidak jelas kondisinya) maka tidak ada orang meriwayatkan dari-nya kecuali anaknya Isa, sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Tahdzib. Al-Hafiz berkata dalam kitab At-Taqrib bahwa ia makbul yakni diikuti dan diterima sebab jika tidak demikian maka itu bukan hadis na-manya. Sedangkan dari segi matan, ia termasuk dari mustab'ad (yang dijauhi) sekali bahwa terjadi hal se-perti itu (kedustaan dari sahabat) dari kalangan saha-bat sehingga ia berdusta terhadap Rasulullah SAW kemudian Allah SWT menjelaskannya dengan kefasik-an, padahal sahabat itu udul (adil) secara ijma dan telah disucikan oleh Allah dan Rasulullah, maka hati-hatilah.
2.3 Menepati Janji
a. Pengertian Menepati Janji
Menepati atau memenuhi janji berarti melaksa-nakan apa yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya, menjauhi apa yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT telah menyuruh kita untuk menepati janji dalam surat Al-An'am, firman-Nya:

Dan penuhilah janji Allah. (QS. Al-An'am: 152)
Imam Thabari mengatakan bahwa firman Allah "dan penuhilah janji Allah," maknanya penuhi dan laksanakanlah wasiat Allah yang diberikan kepada-mu. Adapun pemenuhan dan pelaksanaannya adalah dengan menaati Allah SWT dalam segala perintah dan larangan-Nya serta hendaknya memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Itulah makna menepati janji Allah. Imam Al-Qurthubi berkata: "dan penuhilah janji Allah," adalah bersifat umum terhadap semua apa yang dijanjikan Allah kepada hamba-Nya dan mungkin bermaksud semua apa diakadkan antara dua insan dan akad atau janji itu dinisbatkan kepada Allah SWT dari segi keharusan menjaga dan meme-nuhinya. Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata: Dan janji Allah meliputi atas apa yang Dia janjikan dan Dia wasiatkan kepada makhluk, dan demikian pula atas suatu janji yang diwajibkan manusia atas dirinya seperti nazar dan lainnya.
Adapun dalil dan argumentasi yang menunjuk-kan atas hal tersebut adalah firman Allah Azza wa Jalla:

Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Yakni manu-sia diminta pertanggungjawabannya). (QS. Al-Isra: 34)
b. Janji Penting yang Wajib Dipenuhi
Tidak diragukan lagi bahwa semua janji adalah benar-benar penting, bagaimana tidak padahal Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-an jawabnya. (QS. Al-Isra: 34)
Akan tetapi, yang lebih penting dari yang penting bahwa di antara janji yang paling penting untuk di-penuhi adalah janji terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya apabila janji itu diberikan pada suatu kaum. Hal ini ditunjukkan hadis Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami RA katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أمر أميرا على جيش او سرية أوصاه يخاصته بتقوى الله ومن معه ثم قال اغزوا بسم الله – وفيه – ثم قال واذا حاصرت أهل حصن فأردوك ان تجعل لهم ذمة الله وذمة نبيه فلا تجعل لهم ذمة الله ولا ذمة نبيه ولكن اجعل لهم ذمتك وذمة أصحابك فإنكم ان تخفروا ذممكم وذمم أصحابكم أهون من ان تخفروا ذمة الله وذمة رسوله
Adalah Rasulullah SAW apabila mengangkat se-orang panglima perang, ia berwasiat kepadanya dan orang-orang yang bersamanya agar bertakwa kepada Allah, kemudian sabdanya: "Berperanglah dengan nama Allah dan untuk Allah." Kemudian berkata lagi: "Dan apabila engkau mengepung penghuni suatu benteng dan mereka inginkan eng-kau menjadikan mereka jaminan Allah dan Nabi-Nya maka janganlah mereka dijadikan ja-minan Allah dan tidak pula Nabi-Nya, tetapi jadi-kanlah mereka jaminan kamu dan sahabatmu, sesungguh-nya kamu jika membatalkan jaminan kamu dan sahabatmu itu lebih mudah daripada membatalkan jaminan Allah dan Rasul-Nya. (HR. Muslim)
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata setelah menyebutkan hadis ini: Di dalamnya terdapat berbagai masalah. Pertama, perbedaan antara jamin-an Allah dan Nabi-Nya dengan jaminan orang-orang Islam. Syekh Sulaiman bin Abdillah berkata: Ad-Dzimah adalah janji/jaminan, dan tukhfiru berarti membatalkan. Demikian pula janji yang berupa sum-pah. Allah SWT berfirman:

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkan-nya, sedang kamu telah menjadikan Allah seba-gai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Se-sungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. An-Nahl: 91)
Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan bahwa firman Allah SWT: "dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya," adalah larangan membatalkan janji apabila telah dite-guhkan karena sumpah yang dimaksud juga terma-suk dalam kategori perjanjian dan janji itu harus ditepati dan dipenuhi.
2.4 Perintah Mengikuti Shirat Al-Mustaqim
a. Pengertian Shirat Al-Mustaqim
Arti shirat al-mustaqim adalah Al-Quran Al-Karim dan Sunnah yang suci, atau Islam yang bijak, atau syariat yang lurus, atau agama yang lurus (hanif). Semuanya adalah satu makna. Dalilnya adalah fir-man Allah SWT dalam surat Al-An'am:

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An'am: 153)
Imam Qurthubi Rahimahullah mengatakan bah-wa yang dimaksud dengan jalan-Nya adalah jalan dan agama-Nya yang Dia ridhai untuk hamba-Nya. Musta-qiman (lurus) artinya lurus dan tidak ada kebeng-kokan dari kebenaran. Maka ikutilah artinya keta-huilah ia dan jadikanlah ia sebagai way of life bagi kehidupanmu.
Kemudian Qurthubi juga berkata: Shirat artinya jalan yang dimiliki Islam dan lurus tegak tidak ada kebengkokan di dalamnya. Karena itu kita diperintah untuk mengikuti jalan yang ditempuh di atas lisan Nabi-Nya dan syariat-Nya sehingga akhirnya adalah surga.
Menurutku, yang dimaksud dengan berjalan di atas shirat al-mustaqim adalah menjadikan Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya sebagai jalan kehidupan (way of life) serta pemahaman generasi salaf terdahulu, baik akidah, ilmu pengetahuan, amal, maupun cara dan gaya hidup.
c. Jalan yang Harus Dijauhi oleh Muslim
Setiap muslim harus menjauhi berbagai jalan yang bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah ser-ta minhaj ahli sunnah, seperti agama dan keperca-yaan orang-orang kafir, baik Yahudi, Nasrani, Majusi maupun lainnya seperti firqah Ar-Rafidhah, Jahmi-yah, Mu'tazilah, dan sebagainya. Inilah makna firman Allah SWT dalam surat Al-An'am yang berbunyi:

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan ja-nganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An'am: 153)
Imam At-Thabari berkata: Firman Allah di atas mengandung maksud bahwa kita tidak boleh (dila-rang) menempuh jalan selain jalan-Nya (Islam) dan jangan mengikuti metode selain metode-Nya dan ja-ngan mencari agama yang menyelisihi agama-Nya (Islam), baik Yahudi, Nasrani, Majusi, penyembah berhala dan kepercayaan lainnya. Sebab agama-agama tersebut adalah bid'ah dan sesat.
Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata: Firman Allah, "Janganlah mengikuti jalan-jalan," yakni jalan yang bertentangan dengan Islam seperti Yahudi dan Nasrani, serta seluruh agama lainnya. Dan dikatakan bahwa artinya adalah hawa nafsu dan bid'ah.
Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata: Adapun yang dimaksud dengan "jalan-jalan," Ibnu Abbas berkata: Maknanya adalah kesesatan-kesesatan. Mujahid RA berkata: Maksudnya adalah bid'ah dan syubuhat. Al-Qurthubi berkata: Yang dimaksud dengan "jalan-jalan" ini mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi, dan semua agama lainnya serta ahli bid'ah dan kesesatan, para penggemar hawa nafsu, mereka yang berlebihan dalam furu dan sebagainya, dari kalangan orang yang mendalami jadal dan ilmu kalam. Menurut Ibnu Athiyah, semua ini merupakan tempat tuduhan kebu-rukan bagi orang yang berakidah.
Menurutku, pendapat tersebut benar, dan ada sebagian dalil lain yang menguatkan makna ini. Allah SWT berfirman:

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Imam Qurthubi berkata: Para ulama berbeda pendapat tentang maksud yang dimurkai dan yang sesat? Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud kata yang dimurkai adalah Yahudi, dan yang sesat adalah Nasrani. Dari Ibnu Mas'ud RA berkata: "Rasulullah SAW membuat satu garis lurus dan lalu membuat banyak garis di sisi kanan dan kirinya, lalu bersabda: Ini adalah jalan Allah dan ini adalah jalan-jalan yang pada tiap jalan itu terdapat setan yang menyeru kepadanya, kemudian beliau membaca fir-man Allah:

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan ja-nganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An'am: 153)
Ibnu Mas'ud berkata: Ketika Nabi SAW melihat suatu kaum duduk di masjid memegang batu kerikil di tangannya sambil membaca takbir, tahlil, dan tasbih, menggunakan kerikil tersebut. Beliau berkata: Celaka kalian hai umat Muhammad, alangkah cepat-nya sahabat Nabi kalian membinasakan kalian. Ini baju beliau masih basah dan tempat minumnya be-lum pecah. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh kalian berpijak di atas agama Muhammad SAW yang paling berpetunjuk (lurus). Tetapi apakah setiap kali membuka pintu kesesatan, mereka ber-kata: Demi Allah, kami tidak menghendaki hal ini kecuali kebaikan? Beliau lantas bersabda: Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mengenainya (menda-patkannya).
Demikian pula Irbadh bin Sariyah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إنى قد تركتكم على مثل البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها بعدي إلا هالك
Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian di atas contoh yang putih (jalan yang lurus), malam-nya bagaikan siangnya, tidak akan tergelincir darinya setelah sepeninggalku kecuali orang yang binasa.
Mujahid Rahimahullah berkata: Aku tidak tahu dua nikmat mana yang lebih besar; aku diberi petun-juk pada Islam dan memaafkanku dari hawa nafsu ini.
Imam Qurthubi Rahimahullah berkata: Telah di-sebutkan dalam surat An-Nisa dan surat ini merupa-kan larangan menggauli (berteman dengan) ahli bid'ah dan hawa nafsu, dan siapa yang bergaul ber-samanya maka ia termasuk golongannya. Firman Allah SWT:

Dan apabila kamu melihat orang-orang memper-olok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembica-raan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesu-dah teringat (akan larangan itu). (QS. Al-An'am: 68)
Kemudian dalam surat An-Nisa dijelaskan ten-tang siksa bagi yang melakukan hal tersebut (bergaul dengan ahli bid'ah) dan menyalahi apa yang diperin-tahkan oleh Allah SWT, firman-Nya:

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada ka-mu di dalam Al-Quran bahwa apabila kamu men-dengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena se-sungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), ten-tulah kamu serupa dengan mereka. Sesung-guhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS. An-Nisa: 140)
Orang yang bergaul bersama mereka (kafir) akan dianggap sama seperti mereka. Ini pendapat para imam umat ini dan hukum ayat ini pun masuk dalam kategori duduk bersama ahli bid'ah yakni bergaul dan bercampur dengan mereka. Para iman yang berpen-dapat seperti ini di antaranya Ahmad bin Hanbal, Al-Auza'i, dan Ibnu Mubarak. Mereka berkata tentang seseorang yang menggauli ahli bid'ah: Hendaknya ia dilarang mempergauli mereka dan jika tidak berhenti (terus menggaulinya) maka hukumnya mereka terma-suk kelompok tersebut.
Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Pen-cipta langit dan bumi, Maha Mengetahui yang gaib dan tampak, Engkau menghukumi di antara hamba-Mu dalam hal yang mereka perselisihkan, tunjukilah aku atas apa yang diperselisihkan itu mengenai kebe-narannya dengan izin-Mu, Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki, kepada jalan yang lurus.












PENUTUP



Pembahasan tentang sepuluh wasat di akhir surat Al-An'am ini mengandung berbagai dalil yang agung, faidah yang indah, dan hikmah yang sempur-na, serta membawa penjelasan dan keutamaan yang menyeluruh dan sempurna. Penulis tidak mendapat-kan suatu ayat yang sulit disebutkan, dan telah aku ungkapkan dengan uslub (gaya bahasa) yang mudah, jelas, ringkas dan tidak bertele-tele yang membosan-kan namun tidak mengurangi isi dan pemahaman. Maka segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna dan semoga sa-lawat serta salam senantiasa dicurahkan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW.







DAFTAR PUSTAKA

1. Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran.
2. Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi, Ma'alim At-Tanziil.
3. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami Li Ahkam Al-Quran.
4. Abdurrahman bin Muhammad bin Al-Jauzi, Zaad Al-Masiir.
5. Ismail bin Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adziim.
6. Muhammad bin Ali As-Syawkani, Fath Al-Qadiir.
7. Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari.
8. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari.
9. Imam Muslim bin Al-Hajaj An-Naisaburi, Shahih Muslim.
10. Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim.
11. Ahmad bin Muhammad As-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
12. Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sajastani, Musnad Abi Dawud.
13. Muhammad bin Isa bin Surah At-Tirmidzi, Al-Jami As-Shahih.
14. Ahmad bin Syu'aib An-Nasa'i, Sunan An-Nasa'i.
15. Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, Al-Jami Al-Kabiir.
16. Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi, Syarh As-Sunnah.
17. Amer bin Ayi Ashim, Kitab As-Sunnah.
18. Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, Kitab Al-Kabair.
19. Abdurrauf Al-Minawi, Faidh Al-Qadiir.
20. Muhammad bin Nashiruddin Al-Albani, As-Silsilah As-Shahihah.
21. Muhammad bin Nashiruddin Al-Albani, Shahih Al-Jami.
22. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib.
23. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib.
24. Hafidz bin Ahmad Al-Hakimi, A'lam As-Sunnah.
25. Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, Taisir Al-Aziz Al-hamid Syarh Kitab At-Tauhid.
26. Muhammad bin Makram bin Manzhur, Lisan Al-Arab.
27. Muhammad bin Abu Bakar Al-Jauhari, Mukhtar As-Shihah,
Tidak mengenainya (mendapatkannya).66

0 komentar: