POLIGAMI
(BERISTRI LEBIH DARI SEORANG)
ANTARA UNDANG-UNDANG NO. 1 TH. 1974 DAN SYARIAT ISLAM
Poligami dalam Lintasan Sejarah
Poligami (beristri lebih dari satu orang) bukanlah tradisi atau ajaran yang ada di Islam semata, tetapi ia telah berlaku meluas pada bangsa-bangsa sebelum Islam datang. Di antara bangsa-bangsa itu seperti Ibrani, Arab Jahiliyah, dan Slavia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara Rusia, Lituania, Estonia, Polandia, Cekoslovakia, dan Yugoslavia. Begitu pula pada bangsa Jerman dan Saxon, yang melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara Jerman, Swis, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris. Karena itu tidak benar apabila dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Dengan demikian, Islam hanya melestarikan tradisi poligami yang telah ada dengan memberikan aturan penyempurnaan dan pembatasan.
Apakah agama lain melarang poligami? Dalam masyarakat Yahudi, poligami juga tidak dilarang. Pada bab kelima Perjanjian Lama Samuel ke II halaman 454 (2) mengatakan, "Kemudian berkatalah Natan kepada Dawud, engkaulah lelaki itu, beginilah firman Tuhan, Allah Israil, Akulah yang mengurapi engkau menjadi raja atas Israil dan akulah yang melepas engkau dari tangan Saul. Telah kuberikan isi rumah tuanmu kepadamu dan istri-istri tuanmu ke dalam pangkuanmu. Aku telah memberimu kaum Israil dan Yehuda, dan seandainya itu belum cukup, tentu kutambah lagi ini dan itu kepadamu."
Demikian pula ketika Nabi Musa datang, dia tidak mengharamkan poligami pada masyarakat Israil dan tidak juga memberi batasan-batasan bahkan mendorong seseorang jika tidak mempunyai anak untuk mengawini istri saudaranya yang meninggal dunia. Taurat dengan jelas membolehkan poligami. Nabi-nabi Israil setelah Musa, meneruskan kebolehan poligami ini, baru ketika Talmud datang, dia memberi batasan-batasan jumlah poligami, tetapi bagi seseorang yang istrinya mandul, batasan ini tidak berlaku lagi.
Menurut Sayyid Sabiq, agama Kristen tidak melarang poligami, sebab dalam Injil tidak ada satu ayat pun yang dengan tegas melarangnya. Apabila para pemeluk Kristen bangsa Eropa pertama dulu telah beradat istiadat dengan kawin satu perempuan saja, ini tidak lain disebabkan sebagian besar bangsa Eropa penyembah berhala (paganisme) yang didatangi oleh agama Kristen pertama kalinya adalah terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang telah memiliki kebiasaan melarang poligami. Setelah memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap dipertahankan dalam agama baru ini (Kristen). Jadi, sistem monogami yang mereka jalankan ini bukanlah berasal dari agama Kristen yang mereka anut, tetapi merupakan warisan paganisme (berhala) dahulu kala. Dari sinilah kemudian gereja mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami yang kemudian menggolongkannya sebagai aturan agama. Padahal kitab Injil sendiri tidak menerangkan sedikit pun tentang pengharaman sistem ini.
Dr. Ali Syariati menyatakan bahwa secara historis, poligami tidaklah dipahami seperti dewasa ini. Bahkan di masa lalu, tidak hanya poligami tetapi perkawinan itu sendiri lebih dianggap sebagai bentuk ritual sosial untuk menjalin suatu hubungan sosial atau perjanjian. Kata beliau:
Pada dasarnya di masa lalu tidak hanya praktik poligami bahkan perkawinan itu sendiri diperlakukan dalam konteks yang berbeda dengan masa kini, dan jarang dianggap sebagai bentuk pengungkapan hasrat dan cinta. Perkawinan di masa lalu lebih sering dianggap sebagai bentuk ritual sosial untuk menjalin suatu hubungan atau perjanjian. Persoalan politik, sosial, ekonomi dan bahkan moral lebih menjadi pertimbangan utama perkawinan waktu itu daripada cinta atau hasrat seksual. Di Yunani Kuno, umpamanya, sekalipun dengan tingkat peradaban yang telah begitu tinggi, perkawinan hanya dianggap sebagai sarana untuk menghasilkan keturunan, dan pihak istri tidak lebih berperan sebagai ibu bagi anak-anaknya (bahkan dia tidak pernah dianggap sebagai partner seksual).
Poligami Menurut Syariat Islam
Kalau kita melihat sejarah dimasa Rasulullah SAW secara cermat niscaya akan memahami bahwa poligami yang dilakukan beliau SAW lebih mendekati konteks hubungan sosial dan dakwah agama. Rasulullah SAW bukanlah “Don Juan” yang selalu memburu wanita. Poligami yang dilakukan beliau semuanya mengandung misi tersendiri. Wanita yang dijadikan istrinya kecuali Aisyah RA semuanya janda dan telah berumur. Seandainya Rasulullah SAW seorang pemburu wanita, sebagai orang nomor satu, tentu beliau mencari yang muda dan cantik, tetapi sejarah mengatakan tidak demikian. Ini terbukti bahwa Rasulullah SAW bukanlah seorang ”don yuan” seperti dituduhkan orang-orang nonmuslim.
Mengapa Islam membolehkan poligami? Menurut Islam, poligami dipandang sebagai salah satu cara untuk menjaga kebaikan masyarakat, menghindarkannya dari bahaya besar yang ditimbulkan oleh temperamen sebagian anggotanya dan oleh berbagai macam keinginan dikalangan kaum suami dan istri. Umpamanya, ada sebagian orang yang memiliki nafsu seks yang tinggi dan tidak cukup hanya seorang istri. Untuk menghindarkan orang tersebut dari berbuat zina (pergi ke pelacuran) maka dibolehkan berpoligami. Demikian pula wanita karena tidak bersuami dia menjajakan dirinya sebagai pelacur akibat dari tidak adanya penanggung kebutuhan ekonomi (sebab tidak punya suami) dan ia pun mempunyai kebutuhan biologis yang harus tersalurkan.
Betapa indah aturan poligami yang dilestarikan Islam, sampai-sampai seorang orientalis yang dikenal dengan nama Islam, Nashiruddin, pada tahun 1927 dalam bukunya “Asyi’ah Khasshah bi Nur Al-Islam” memberi komentar, katanya: “Islam sama sekali tidak pernah menahan dan berbuat semena-mena pada naluri (tabiat) manusia, tetapi justru mengalirkannya dan mengarahkan sesuai dengan caranya dia mengalir. Oleh sebab itu, Islam tidak merelakan hidup merahib (rahbaniyah) bahkan mengha-ramkannya. Islam tidak pernah melarang seseorang untuk kawin lebih dari seorang wanita. Ketidaksetujuan Islam terhadap keharaman poligami dalam masyarakat Kristen sama sekali bukan tujuan utama, tetapi sesungguhnya untuk mengantisipasi timbulnya kecemasan negatif dan mengantisipasi terjadinya pencabulan, kekejian, kemesuman dan banyaknya wanita tidak kawin dan anak-anak haram. Dan saya belum pernah melihat bahaya paling serius mengancam negara yang di dalamnya berlaku syariat Islam. . . dan bahwa poligami sesungguhnya sebuah perundangan yang sangat manusiawi dan ia (seharusnya) akan tetap ada selama dunia masih ada.”
Sayyid Quthub memandang bahwa poligami merupakan dispensasi yang di-tentukan oleh angka perbandingan antara jumlah pria dan wanita, bukan ditentukan oleh teori atau undang-undang. Karena itu, jika jumlah pria yang telah mencapai usia dewasa dan siap bersedia kawin jumlahnya seimbang dengan jumlah wanita yang telah mencapai usia dewasa dan bersedia dikawin, maka praktis tidak ada alasan sama sekali bagi seorang pria mempunyai isteri lebih dari seorang wanita. Sebab, dalam hal itu yang menentukan adalah angka.
Masalah tidak seimbangnya jumlah pria dan wanita bisa disebabkan oleh suatu peperangan atau wabah penyakit yang banyak menelan korban kaum pria daripada kaum wanita, atau disebabkan oleh banyaknya kaum pria yang tidak dapat melakukan perkawinan karena faktor ekonomi, kekeluargaan atau masalah-masalah sosial lainnya.
Dalam hal terjadinya ketidakseimbangan jumlah pria dan wanita, Sayyid Quthub memberikan contoh negara Jerman setelah Perang Dunia II. Di sana terdapat ketim-pangan dengan perbandingan 3 : 1 (tiga gadis yang telah mencapai usia perkawinan berbanding satu orang pemuda dalam usia yang sama), yaitu masing-masing berusia antara 20 dan 45 tahun.
Melihat ketimpangan tersebut, Islam benar-benar ingin menciptakan suatu masyarakat yang tenteram dan bahagia dengan cara memberikan dispensasi poligami kepada kaum pria yang telah dianggap mampu, karena siapakah yang akan mem-bimbing dan menyantuni yang dua dari tiga yang tidak mendapat calon suami monogami. Poligami dianggap sebagai dispensasi dapat dilihat dari firman Alah SWT:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. (QS. An-Nisa: 3)
Menurut Quthub, yang dimaksud dengan keadilan dalam hal itu ialah keadilan dalam memberi nafkah, keadilan menjaga dan memelihara, keadilan dalam mencukupi segi-segi kebutuhan para istri, yaitu kebutuhan keuangan, biologis dan psikologis. Adapun soal perasaan dan hati yang tidak dapat diwujudkan dalam bentuk kehidupan lahiriah, keadilannya tidak berada dalam batas kesanggupan manusia. Yang dituntut dalam hal itu ialah jangan menunjukkan kecenderungan berat sebelah kepada yang satu sehingga yang lain menjadi terkatung-katung. Dalam hal ini Allah SWT menyatakan firman-Nya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (QS. An-Nisa: 129)
Menurut Sayyid Sabiq, Allah SWT membolehkan poligami dengan batas sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka dalam urusan makan, tempat tinggal, pakaian dan kediaman atau segala yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dan yang fakir, yang berasal dari keturunan tinggi dan yang bawah. Karena itu, bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka, maka diharamkan berpoligami. Allah SWT berfirman:
Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak bisa berlaku adil maka kawinilah satu saja. (QS. An-Nisa: 3)
Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa bila tidak berlaku adil kelak di hari kiamat ia akan mendapat balasan yang tidak menyenangkan. Sabda beliau SAW:
من كان له امرأتان فمال الى احدهماجاء يوم القيامة وشقه مائل
Barangsiapa yang memiliki dua orang istri, lalu berlaku berat sebelah pada salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat dengan bahunya miring. (HR. Imam Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Dua ayat firman Allah SWT tersebut di atas (An-Nisa ayat 3 dan ayat 129) bila dilihat sepintas tampak bertentangan. Pertama menyatakan bila tidak dapat berlaku adil, yang konotasinya ada yang bisa berlaku adil. Akan tetapi pada ayat kedua, dinyatakan bahwa sekali-kali manusia tidak dapat berlaku adil kepada istri-istri sekalipun menghendakinya, yang konotasinya tidak ada yang dapat berlaku adil sama sekali. Atau dalam perkataan lain, ayat pertama mewajibkan berlaku adil sedang ayat yang kedua meniadakan kesanggupan berlaku adil terhadap sesama istri. Namun, bila kita resapi maknanya secara dalam, kedua ayat itu tidak bertentangan sama sekali karena adil yang dituntut dalam hal poligami ini adalah adil dalam masalah lahiriah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang yang ada dalam hati. Sebab masalah cinta dan kasih sayang ini ada di luar kemampuan seseorang. Jadi, perlakuan adil yang ditiadakan dalam ayat kedua di atas adalah dalam hal cinta dan kasih sayang (urusan hati). Dalam hal ini, Abu Bakar Ibnu Arabi pernah berkata: “Memang benar bahwa adil dalam cinta di luar kesanggupan seseorang, sebab ia hanya ada dalam genggaman Tuhan yang membolak balikan menurut kehendak-Nya. Demikian pula gairah cinta — bersetubuh — terkadang timbul pada istri yang satu sedang pada yang lainnya tidak, asalkan perbuatan ini bukan disengaja, maka ia tidak berdosa karena hal itu di luar kemampuannya”.
Karena itu pulalah, Rasulullah SAW yang memiliki istri lebih dari seorang selalu berdoa:
اللهم هدا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك.
Ya Allah, inilah pembagianku yang dapat kukerjakan. Karena itu, janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau kuasai sedang aku tidak menguasainya. (HR. Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Menurut Abu Dawud, yang dimaksud dengan “apa yang Engkau kuasai tetapi tidak aku kuasai” adalah hati (perasaan). Kasih sayang dan gairah cinta merupakan urusan hati yang kendalinya di luar kemampuan manusia. Peristiwa inilah sebenarnya yang merupakan sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat 129 An-Nisa di atas.
Sebenarnya, dalam hal poligami, Rasulullah SAW merupakan teladan di mana beliau selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil, sampai di saat hendak mengadakan perjalanan beliau selalu mengundi siapa di antara istrinya yang akan menemani beliau dalam perjalanan tersebut. Aisyah RA menuturkan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ادا اراد سفرا أقرع بين نسائه فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه وكان يقسم لكل امرأة منهن يومها غير أن سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة
Adalah Rasulullah SAW apabila hendak bepergian mengadakan undian di antara para istrinya. Siapa yang mendapat giliran, dialah yang akan keluar menemani beliau. Dan beliau menggilir istrinya pada hari-hari yang ditentukannya, kecuali bagian Saudah binti Zam’ah yang hari gilirannya diberikan kepada Aisyah. (HR. Mutafaq Alaih)
Poligami dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
Di Indonesia, poligami diatur dalam suatu undang-undang, yaitu Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yakni dalam Pasal 3 – 5, dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yakni dalam Pasal 40 – 44. Dan untuk pegawai negeri sipil diatur lebih khusus dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
Menurut Undang-Undang Perkawinan tersebut, poligami hanya sebagai dispensasi yang kebolehannya harus memenuhi alasan-alasan yang diterima dan rasional, karena undang-undang ini menganut asas monogami. Pasal 3 ayat (1) berbunyi:
"Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."
Namun demikian, Undang-undang ini pun membolehkan berpoligami degan izn dari Pengadilan Agama. Pasal 3 ayat (2) berbunyi;
"Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan."
Karena itu, apabila seorang suami ingin berpoligami maka ia harus mengajukan kehendaknya (permohonan) itu ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya. Adapun alasan yang mungkin Pengadilan (Agama) mengabulkan adalah:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa sebelum mengajukan permohonan izin berpoligami kepada Pengadilan Agama, seseorang itu harus memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat pendahuluan, yaitu:
1. Adanya persetujuan dari istri.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isti-istri dan anak-anak mereka.
Mengenai adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka, adalah dengan memperlihatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh benda-hara tempat ia bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan.
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
Sedangkan untuk ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka adalah dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Setelah terpenuhi persyaratan di atas, barulah Pengadilan mengeluarkan surat izin, di mana Penghulu sebagai Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama) dilarang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan.
Demikianlah Undang-Undang Perkawinan di Indonesia memberikan persya-ratan bagi seorang suami yang akan melakukan poligami dengan harapan terciptanya tatanan masyarakat yang tertib dan damai, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri seperti tertuang dalam Pasal 1 (membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa).
Penutup
Itulah apa yang dapat penulis uraikan mengenai permasalahan poligami. Hal yang perlu dicatat bahwa menurut hemat penulis, ketentuan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenai masalah poligami ini tidak bertentangan atau menafikan poligami menurut syariat Islam. Karena Undang-undang Perkawinan ini tidak mengharamkan poligami yang dibolehkan oleh Islam, tetapi hanya mengatur persyaratan dan teknis pelaksanaan demi tercapainya rasa keadilan yang merupakan syarat pokok berpoligami seperti yang dijelaskan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 3 dan 129 di atas.
Akhirnya, semoga usaha menjelaskan masalah poligami ini mendapat nilai kebaikan di sisi Allah SWT. Hanya Dia yang Mahatahu dan Mahabenar. Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhai. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
3. Sayyid Quthub, Islam dan Perdamaian Dunia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1983.
4. As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983, Jilid 2.
5. Sa’ad Shadiq Muhammad, Harkat Wanita dalam Islam, hal. 136.
6. Syekh Ali As-Shabuniy, Mengapa Rasulullah Berpoligami, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
7. Dr. Ali Syariati, Wanita Dimata dan Hati Rasulullah, Jakarta: Risalah Masa, 1992.
Minggu, Agustus 30, 2009
POLIGAMI
Diposting oleh Muhamad Syaichu Hamid Di Minggu, Agustus 30, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar