SYEKH MOHAMMAD ABDUH
Biografi dan Karya
Sheikh Mohammad Abduh lahir pada tahun 1266 hijriyah di Mahallat Nasr, sebuah desa di negeri Mesir. Beliau lahir dengan nama Muhammad. Ayahnya dikenal dengan nama Abduh. Mohammad Abduh menjalani kehidupannya sebagai petani. Ketika menginjak usia 13 tahun, ayah beliau memaksanya untuk menimba ilmu agama Islam di pusat pendidikan agama yang dikenal dengan nama Jami’ Ahmadi. Mohammad Abduh tidak menyukai program pendidikan di
Tak lama, beliau kembali ke sekolah Jami’ Ahmadi setelah mendapat pengarahan memuaskan dari paman ayahnya yang bernama Sheikh Darwish. Setelah mengenyam pendidikan di Jami’ Ahmadi, Mohammad Abduh melanjutkan studinya ke Jami’ Al-Azhar. Selain berguru kepada Sheikh Darwish, Mohammad Abduh juga menimba ilmu dari sejumlah ulama termasuk Sayid Jamaluddin Asad-abadi (Afghani). Menuruti pesan Sayid Jamaluddin, Mohammad Abduh mempelajari ilmu-ilmu logika.
Setelah menyelesaikan program pendidikan, Muhammad Abduh mengambil posisi sebagai guru. Mohammad Abduh memiliki banyak murid yang di kemudian hari menjadi ulama-ulama dan cendekiawan terkenal diantaranya Mohammad Rashid Ridha, Saad Zaghlul, Thaha Husein, Abdul Qadir Maghribi, dan Musthafa Abdur Razzaq.
Selain mengajar, Mohammad Abduh juga aktif di
Beberapa tahun setelah itu, dengan adanya transformasi politik dan sosial dalam skala besar di Mesir, Mohammad Abduh terpilih untuk duduk di Dewan Syura, yang berperan sebagai lembaga penasehat raja. Posisinya sebagai ulama yang dipandang, mendorong Mohammad Abduh untuk mewakafkan sisa umurnya demi melakukan reformasi pemikiran Islam dan kegiatan amal. Tahun 1889, penguasa Mesir menobatkannya sebagai mufti. Jabatan itu dipegangnya sampai beliau wafat tahun 1323 hirjiyah. Sheikh Mohammad Abduh meninggal dunia setelah menderita kanker.
Sheikh Mohammad Abduh meninggalkan banyak karta penulisan antara lain;
1- Ishlahul Mahakim al-Syar’iyyah
2- Tafsir Al-Manar, yang dilanjutkan oleh muridnya, Mohammad Rashid Ridha
3- Risalatut Tauhid
4- Syarh Nahjil Balaghah
5- Al-Islam, Ar-Radd ‘ala Muntaqidihi
Gerakan Reformasi Abduh
1- Mohammad Abduh adalah murid Sayid Jamaluddin Asad-abadi (Afghani). Meski demikian, keduanya memiliki pemikiran dan cara berjuang yang berbeda. Setelah Sayid Jamaluddin diasingkan dari Mesir, Mohammad Abduh memanfaatkan
2- Walaupun terlibat dalam kehidupan berpolitik, namun Sheikh Mohammad Abduh menghindari sikap frontal dalam politik dan lebih memberikan perhatian pada masalah reformasi pemikiran.
3- Bagi Abduh reformasi pemikiran dan budaya umat Islam lebih penting dari segalanya.
4- Sheikh Mohammad Abduh meyakini prinsip kaderisasi dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
5- Kebanyakan orang yang ada disekeliling Abduh, adalah para ulama, santri dan kalangan kampus. Merekalah yang meramaikan kuliah agama yang disampaikan Sheikh Mohammad Abduh.
6- Abduh meyakini bahwa melakukan gerakan reformasi terhadap masyarakat hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki individunya. Meski demikian, ia tidak pernah lalai atau acuh terhadap kondisi sosial yang ada.
Reformasi Sosial
Mohammad Abduh yang pernah diasingkan ke luar negeri, mulai dari
Reformasi Pemikiran Menuju Kebangkitan Umat Islam
Sheikh Mohammad Abduh meyakini bahwa untuk melawan kejumudan (kebekuan berpikir) dan pola pikir kebarat-baratan serta taqlid buta adalah dengan kembali kepada ajaran murni Islam. Sama seperti gurunya, Sayid Jamaluddin, Mohammad Abduh menolak kepercayaan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Beliau mencetuskan pemikiran untuk membuka pintu ijtihad serta pengembangan pemikiran dan penelitian Islam. Meski harus berhadapan secara pemikiran dengan para ulama Al-Azhar, namun Muhammad Abduh tetap memegang teguh keyakinannya dalam masalah ijtihad. Beliau meyakini bahwa ijtihad harus dilakukan oleh mereka yang memang layak untuk berfatwa.
Sheikh Muhammad Abduh mengajukan prakarsa yang berisi dua metodologi ijtihad. Pertama adalah kaedah maslahah yang sering digunakan oleh aliran Maliki dan Hanafi. Kaedah ini menurutnya penting untuk menyelesaikan masalah-masalah kontemporer. Kedua adalah kaedah talfiq, yaitu menggunakan pendekatan sintesis, dengan memilih yang terbaik setelah mengadakan perbandingan antara ijtihad para ulama` dari pelbagai aliran. Ijtihad bagi Abduh merupakan jalan terbaik untuk memecahkan kebekuan dan kejumudan pemikiran umat yang tidak berupaya menghadapi perubahan masyarakat dan zaman.
Pemikiran Politik Mohammad Abduh
Sheikh Muhammad Abduh mempunyai dua cita-cita. Pertama adalah persatuan dan kesatuan umat Islam. Kedua persatuan rakyat Mesir sebagai bagian dari dunia Islam. Meskipun antara kedua cita-cita itu tidak banyak kaitannya, namun beliau selalu menghindari pembahasan yang menyebutkan agama terpisah dari politik, sebab beliau memang tidak memiliki keyakinan yang demikian. Muhammad Abduh menyukai sebuah pemerintahan yang melibatkan rakyat sebagai pihak yang memberikan nasehat dan masukan. Karena itu, menurut beliau, para penguasa muslim seharusnya mengikuti ajaran syariat Islam dan tidak lupa untuk bermusyawarah dengan para ahli dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pandangan Muhammad Abduh tentang Pendekatan Antar Madzhab
Tak berbeda dengan Sayid Jamaluddin, Sheikh Muhammad Abduh mencurahkan perhatian yang besar dalam masalah persatuan dunia Islam. Beliau menolak fanatisme golongan. Buku Syarh (penjelasan) Nahjil Balaghah yang ia tulis adalah langkah nyata Muhammad Abduh dalam melakukan pendekatan antar madzhab Islam. Dalam kitab itu, ia berulang kali menyatakan kecintaannya yang dalam kepada Imam Ali bin Abi Thalib (as). Bukan hanya dalam tubuh internal Islam, Muhammad Abduh juga melakukan upaya pendekatan dengan para pemeluk agama Kristen dan Yahudi. Langkahnya dalam hal ini ditunjukkan dengan membentuk sebuah perkumpulan dengan nama ‘Jam’iyyah al-Taqrib Baina Ahl Al-Islam wa Ahl Al-Kitab’.
Mengenai hubungan antar berbagai madzhab Islam Sheikh Mohammad Abduh meyakini pendekatan antar madzhab. Kaedah talfiq yang ia kemukakan menunjukkan hal itu. Sheikh Muhammad Abduh juga membentuk perkumpulan ‘Jam’iyyah Dar Al-Taqrib’, yang merupakan langkah nyata beliau dalam upaya pendekatan antar madzhab Islam. Ulama besar ini dikenal tegas dalam menolak pertikaian dan perselisihan antar para pengikut madzhab yang berbeda.
Rujukan:
1- Sheikh Muhammad Abduh/Sayid Mostafa Husseini Tabatabai
2- Sayyed Jamaluddin Husseini, Payeh Gozar-e Nehzat-haye Eslami/ Sadr Vaseqi
3- Andishe-e Eslahi dar Nehzat-haye Eslami Akhir/ Mohammad Javad Sahebi
4- Seiri dar Andishe-e SIyasi-e Arab/ Hameed Enayat
5- Mabani-e Nehzat-e Ehya-e Fekr-e Dini/ Mohammad Javad Sahebi
6- Tarikh-e Jonbesh-ha va Takapo-haye Faramansouneri dar Keshvar-haye Eslami/ Abdul Hadi Haeri
7- Esterateji-e Vahdat dar Andishe-e Siyasi-e Eslam/ Sayid Ahmad Movasseqi
8- Andishe-e Siyasi dar Eslam- eMesr/ Hameed Enayat, Bahauddin Khoram-shahi
9- Ensan Dusti dar Eslam-e Marsal Buvazer/ Mohammad Hassan Mahdavi Ardabeli va Gholam Hossein Yousefi
Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo yang akrab dengan panggilan Buya Hamka, lahir 16 Februari 1908, di Ranah Minangkabau, desa kampung Molek, Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. |
(Edisi Indonesia) Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang - Tanjung Sani, 12 Rabi’ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki ‘izzah, tegas dalam aqidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Beliau sangat peduli terhadap urusan umat Islam, sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah Islamiyah, menghindari perpacahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin. Ketika dihembuskan opini tentang cerdas dan pintarnya orang-orang Yahudi Israel, sehingga dapat mengalahkan pasukan Arab dalam perang Arab-Israel. Maka Buya meluruskan pemahaman tersebut melalui tulisan beliau di dalam Tafsir Al-Azhar, Juzu’ 1, halaman 221: “Sebab yang utama bukan itu, Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batinnya yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang – orang yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam. Islam telah mereka tukar dengan Nasionalisme Jahiliyah, atau Sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya, lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan idiologi Islam, dituduh Reaksioner. Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan, lalu ditonjolkan Karl Marx, seorang Yahudi. Jadi untuk melawan Yahudi mereka buangkan pemimpin mereka sendiri, dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi. Dalam pada itu kesatuan akidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi - ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab sedang bersedih karena kekalahan, Negara Republik Indonesia yang penduduknya 90% pemeluk Islam, tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobati hati negara-negara itu, melainkan mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang Kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapus Islam dari negaranya. Ahli-ahli Fikir Islam modern telah sampai kepada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu, sebelum orang Arab khususnya dan orang–orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya, atau negara-negara Kapitalis dengan Christianismenya, yang membantu dengan moril dan materil berdirinya Negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menentang Arab karena dia Arab, melainkan menentang Arab karena dia Islam”. Di Juzu’ VI, halaman 307, Buya juga menjelaskan konspirasi negara-negara Eropa dan Amerika dalam pendirian “ Negara Israel”, “Yaitu mereka jajah Palestina, mereka rampas dari tangan Turki. Lalu diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Boulfour (seorang Yahudi), kepada kaum Zionis, gerakan Yahudi terbesar di zaman ini, supaya mereka membuat negara di sana. Sehabis Perang Dunia Kedua disuruhlah orang Yahudi membentuk Negara Israel di Palestina”. Buya Hamka berpulang ke Rahmatullah, 24 Juli 1981, telah meninggalkan warisan dan pelajaran yang sangat berharga untuk ditindak lanjuti oleh genarasi Islam, yaitu istiqamah dalam berjuang, menjaga persatuan umat dan peduli terhadap urusan kaum Muslimin. “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."(QS: Al-Hasyr/59: 10). |
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Ditulis pada Maret 9, 2007 oleh salafy
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.Gelar Sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.; Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh.
Salah seorang kakek Rasyid Ridha bernama Sayyid Syaikh Ahmad adalah orang yang wara’ sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Hal yang sama juga menurun pada ayahnya sehingga Rasyid Ridha banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri, seperti yang ditulis dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrahim Ahmad al-Adawi :
Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat dirumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari
Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli ( Libanon ) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan ilmu nahwu, shorof, akidah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Usmaniah.
Ridha tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian dia pindah kesekolah Islam negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Ridha mendapat kesempatan menulis dibeberapa
Selain Syaikh Husain al-Jisr, Rasyid Ridha juga belajar dari Syaikh Mahmud Nasyabah yang ahli dibidang hadis dan mengajarnya sampai selesai dan karenanyalah Ridha mampu menilai hadis-hadis yang dhaif dan maudhu sehingga dia digelari ” Voltaire ” -nya kaum Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama. ( Voltaire <1694-1778 M> adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun 1789 M ).
Ridha juga belajar dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi yang mengajarkannya sebagian dari kitab hadis Nailul Authar ( sebuah kitab hadis yang dikarang oleh Asy-Syaukani yang bermadzhab Syiah Zaidiyah ), al-Ustad Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi dan Ridha selalu hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushul dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha membagi waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya sempat bercerit : Semenjak Muhammad dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun.; Tidak itu saja, adiknya, Sayyid Shaleh pernah juga berkata : Aku tadinya menganggap saudaraku Rasyid adalah seorang Nabi. Tetapi ketika aku tahu bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin bahwa dia adalah seorang wali.
Ridha menulis dalam buku hariannya :
Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan yang dituangkan kedalamnya.
Dalam rangka menyucikan jiwa inilah, Ridha menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur, mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi. Sikap ini dihasilkan oleh kegemarannya membaca kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali yang dibacanya berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya, sampai-sampai menurut Ridha, dia pernah merasakan seakan-akan mampu berjalan diatas air dan terbang diudara.
Majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris dan tersebar diseluruh dunia, ikut dibaca oleh Rasyid Ridha dan ini memberikan pengaruh besar bagi jiwanya.
Kekagumannya pada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya tahun 1885 dan mengajar sambil mengarang, pertemuan keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah yang mengajar disekolah al-Khanutiyah.
Ridha sempat bertanya mengenai kitab tafsir terbaik menurut Abduh, dan dijawab bahwa tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya.
Pertemuan yang kedua kali antara Abduh dan Ridha terjadi pada tahun 1894, juga di Tripoli dan kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari sehingga banyak kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya.; Pertemuan ketiga terjadi lima tahun berikutnya, yaitu 18 Januari 1898 di Kairo, Mesir dan sebulan sesudah itu Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang mengolah masalah sosial, budaya dan agama.
Meskipun awalnya Abduh tidak setuju, tetapi akhirnya beliau merestuinya dan memilihkan nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan Ridha.
al-Manar sendiri terbit edisi perdana pada tanggal 17 Maret 1898 berupa media mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat tidak hanya di Mesir tetapi juga negara-negara sekitarnya hingga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Ridha memberikan perhatian lebih kepada Indonesia, terbukti bahwa dia mewudujkan Madrasah Dar ad-Da’wah wa al-Irsyad, salah satu tujuannya adalah mengirim tamatannya ke Jawa dan China, untuk penerimaan pelajarnya, diutamakan yang berasal dari Jawa, China dan daerah-daerah selain Afrika Utara.
Ridha wafat dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran Sa’ud al-Faisal ( yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia ) dari kota Suez di Mesir pada tanggal 22 Agustus 1935 M sembari membaca akhir ayat yang ditafsirkannya :
Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan kepadaku sebagian kekuasaan dan mengajarkan kepadaku penjelasan tentang takwil mimpi. Ya Tuhan pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku didunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan sebagai Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.
Tafsir al-Manar yang bernama Tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah yang berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin dewasa ini.
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha yang mana dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manar yang dipimpin oleh Ridha.
Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa ayat 125 kemudian Ridha selanjutnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sendirian sampai dengan ayat 52 surah Yusuf ( penafsiran Ridha sendiri sampai ayat 101 tetapi yang dimuat pada majalah al-Manar hanya sampai ayat 52 ).
Dalam beberapa hal, Rasyid Ridha lebih unggul dari gurunya, Muhammad Abduh, seperti penguasaannya dibidang hadis dan penafsiran ayat dengan ayat serta keluasan pembahasan berbagai masalah.
Disisi tertentu, Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas.
Misalnya Ridha menolak hadis Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matn tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau Hisyam, salah seorang perawi hadis ini mendapat sorotan dan ditolak oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya sudah pikun saat menceritakan hadis itu pada A’war al-Mashish.
Ridha juga mempersempit penafsiran akan hal-hal yang ghaib, misalnya dia menganggap bakteri adalah termasuk bagian dari jin yang mampu membuat orang terkena penyakit sebagaimana tafsirnya atas surah al-Baqarah ayat 275.
Rasyid Ridha, sama seperti Abduh, sangat berhati-hati menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat Nabi sebagaimana dikutipnya kalimah as-Sayuthi dalam al-Itqan ketika menyatakan bahwa dalam kitab Fadhail al-Imam asy-Syafei karangan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Syakir al-Qathan, terdapat satu riwayat dari Ibnu Abdil Hakam :
Aku mendengar Syafei berkata : tidak syah ( riwayat yang dinisbahkan ) kepada Ibnu Abbas menyangkut tafsir kecuali sekitar 100 hadis.
Karena itu, Ridha sangat hati-hati sekali menerima tafsir riwayat terutama dari Ibnu Abbas, contohnya saat beliau menolak tafsir Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat yang turun di Mekkah dengan dasar : Ibnu Abbas bukanlah salah seorang yang menghafal al-Qur’an atau meriwayatkan hadis pada periode Mekkah, karena beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah atau lima tahun sebelumnya sehingga bisa jadi itu timbul dari pendapat pribadinya atau pendapat orang yang dia riwayatkan.
Hal dan alasan yang sama dikemukakan Ridha menyangkut umur Ibnu Abbas ketika ia menolak riwayat yang ada dalam shahih Muslim menyangkut keikut sertaan malaikat dalam perang Badar dan pendapatnya bahwa Ibnu Abbas tidak segan-segan mengambil riwayat dari orang lain meskipun sekelas Ka’ab al-Ahbar.
Rasyid Ridha menulis buku biografi gurunya, Muhammad Abduh dengan judul Tarikh al-Ustadz al-Imam, dimana disana dia dengan tegas menyatakan kekagumannya terhadap beliau, baik menyangkut ilmu pengetahuannya maupun sikap, budi pekerti serta keteguhannya beragama.
Ridha mengakui pula kekurangan gurunya dalam bidang ilmu-ilmu hadis dari segi riwayat, hapalan dan kritik al-Jarh wa at-Ta’dil sebagaimana para ulama al-Azhar adanya.
Ridha menambahkan bahwa Abduh memiliki kesamaan dengan gurunya ( Jamaluddin al-Afghani ) yaitu tidak luput dari sikap keras/pemarah tetapi Ridha masih memandangnya sebagai kewajaran bagi Abduh untuk menyandang tugas kepemimpinan perbaikan dan pembaruan masyarakat serta agama.
Disisi lain Rasyid Ridha mengecam dan banyak mengkritik secara tegas dan pedas beberapa tokoh tafsir dan penulis seperti Ibnu Jarir ath-Thabari penulis Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Fakhruddin ar-Razi penulis kitab Mafatih al-Ghaib, az-Zamakhsyari penulis tafsir al-Kasysyaf, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi penulis tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Mahmud al-Alusi penulis tafsir Ruh al-Mani serta Jalaluddin as-Sayuthi penulis tafsir ad-Dur al-Mantsur.
Dalam kritik-kritiknya itu, Ridha menggunakan kata-kata orang pikun, fanatik buta, pengkhayal, penulis yang kacau, penjiplak, mufasir bodoh, penulis lelucon dan ketololan yang tidak dapat diterima akal dan tidak terdapat dalam al-Qur’an sebagai isyarat pembenar. ( detilnya baca buku ini hal 154 s/d 174 ).
Baik Abduh maupun Ridha sendiri, menurut Quraish Shihab adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar ~ masih menurut beliau ~ berusaha menampilkan al-Qur’an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Demikian. (Diambil dari Buku : Rasionalitas al-Qur’an* Studi Kritis atas Tafsir al-Manar Karya M. Quraish Shihab Terbitan Lentera Hati, Edisi Baru Cetakan 1 April 2006)
0 komentar:
Posting Komentar