PERKAWINAN LINTAS AGAMA
MENURUT
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974
DAN HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Di dalam ajaran Islam, pernikahan atan perkawinan adalah sunatullah yang memiliki dimensi sosial dan spiritual, sebab di sam-ping harus dilaksanakan sesuai dengan hukum yang diberikan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, kelangsungan dan sepak terjang dalam kehidupan keluarga yang telah dibentuk itu pun tidak akan membuahkan sakinah dan kebahagiaan sejati apabila tidak didasarkan pada ajaran agama dan pergaulan yang harmonis antara anggota ke-luarga. Karena itu, faktor agama dalam pembinaan keluarga sangatlah penting. Ini artinya bahwa suami maupun istri harus memiliki keyakinan beragama yang baik dan sama-sama sejalan. Permasa-lahannya, bagaimana apabila antara suami dan istri itu berbeda keya-kinan dalam beragama? Bisakah kehidupan mereka berjalan dengan baik dan sesuai yang dihendaki sang Pencipta? Bagaimana pandangan Islam tentang perkawinan yang terjadi antara orang yang berlainan keyakinan (agama)?
UU Perkawinan dan Perkawinan Lintas Agama
Dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah disebutkan bahwa: “Perkawinan antaragama (beda agama) ialah perkawinan yang terjadi di Indonesia antara dua orang yang menganut agama yang berbeda, misalnya antara seorang laki-laki muslim dan seorang wanita nonmuslim. Namun demikian, perkawinan antaragama atau beda agama ini tidak dijelaskan dalam Undang-undang Perkawinan, bahkan bila melihat dan meneliti beberapa pasal undang-undang tersebut akan terlihat bahwa perbedaan agama/kepercayaan merupakan penghalang terjadinya perkawinan. Karena itu, tampaknya perkawinan antaragama tidak akan terwujud. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Per-kawinan umpamanya, disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apa-bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan keper-cayaannya itu”. Ini artinya, jelas antara calon suami dan istri itu harus memeluk agama yang sama. Karena bila calon suami beragama Kristen, umpamanya, berarti ia harus kawin sesuai dengan ajaran Kristen, dan bila calon istri beragama Islam berarti ia harus kawin ber-dasarkan hukum Islam. Karena itu, bila laki-laki Kristen kawin dengan wanita muslimah tanpa menyamakan dahulu agama masing-masing, maka menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diang-gap tidak sah atau batal demi hukum. Sehingga jalan keluarnya, bila cinta telah melekat, salah seorang calon tersebut harus meninggalkan agamanya dan beralih kepada agama calonnya.
Begitu pula, dalam pasal 6 ayat (6) berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan disebutkan bahwa segala syarat yang disebutkan dalam ayat (1) sampai (5) pasal tersebut hanya berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Sedangkan pasal 8 sub f menentukan bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Sedangkan ketentuan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan perkawinan campuran, bukanlah dalam arti perkawinan beda agama ini, melainkan perkawinan antar-bangsa yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Bunyi pasal tersebut adalah: "Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia."
Pendapat Ulama Tentang Perkawinan Lintas Agama
Meneliti dan menyikapi perkawinan beda agama di dalam fikih Islam klasik maupun kontemporer, pada dasarnya pendapat para ahli tentang hal tersebut dapat disimpulkan menjadi empat pendapat, yaitu:
Pendapat Pertama
Kelompok yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama dibolehkan bagi laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), sedangkan bagi wanita muslimah tidak diperkenankan. Kelompok ini beralasan dengan firman Allah SWT yang berbunyi:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sem-belihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan menga-wini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS. Al-Maidah: 5)
Menurut ayat 5 surat Al-Maidah ini, seorang muslim diboleh-kan mengawini perempuan Ahli Kitab, yaitu wanita Yahudi dan Nasrani. Bahkan menurut Imam Nuhas, seperti disebutkan Imam Qurthubi, pendapat melarang kawin dengan Ahli Kitab dianggap menyimpang dari pendapat Jumhur yang telah dijadikan hujjah, sebab orang yang berpendapat halal kawin dengan perempuan Ahli Kitab terdiri dari golongan sahabat dan tabi’in. Dari golongan tabi’in di antaranya; Sa’id bin al-Musayyab, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Asy-Sya’bi, dan Ad-Dhahak. Menurut kelompok ini, antara musyrik dan Ahli Kitab tidak bisa disamakan. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah Azza wa Jalla:
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (menga-takan) bahwa mereka tidak akan meninggalkan (agamanya) sebe-lum datang kepada mereka bukti yang nyata. (qs. Al-Bayyinah: 1)
Dalam ayat ini, antara Ahli Kitab dan musyrik dipisahkan dengan kata waw (dan). Kata penghubung ini pada pokoknya me-nunjukkan hal yang berbeda antara masalah pertama (ahli kitab) dan masalah yang kedua (musyrik). Seandainya sama, mengapa ditegaskan perbedaannya dalam perkawinan, yaitu ayat 5 al-Maidah membolehkan kawin dengan perempuan Ahli Kitab, sedangkan ayat 221 surat Al-Baqarah melarang kawin dengan perempuan musyrik.
Di samping itu, sebagian para sahabat ada yang menikah dengan Ahli Kitab. Di antaranya Usman bin Affan RA pernah kawin dengan seorang wanita yang bernama Nailah yang beragama Nasrani (Kristen) lalu masuk Islam sesudah dinikahinya. Juga Hudzaifah RA kawin dengan seorang wanita Yahudi penduduk Madain, dan begitu pula Jabir RA dan Sa’ad bin Abi Waqqas RA.
Pendapat Kedua
Pendapat yang menyatakan tidak boleh atau tidak sah perka-winan antara orang Islam dan nonmuslim secara mutlak, baik antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim maupun antara wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim. Menurut kelompok ini perka-winan baru dianggap sah apabila antara calon suami dan calon istri menganut agama yang sama.
Di antara yang menganut pendapat ini adalah Ibnu Umar RA. Menurut beliau, perkawinan dengan Ahli Kitab tidak dibolehkan karena beliau menganggap Ahli Kitab itu telah berbuat syirik (menyekutukan Allah). Kata beliau: “Allah SWT mengharamkan orang-orang mukmin kawin dengan perempuan musyrik. Sedangkan menurut saya, tidak ada perbuatan syirik yang lebih besar daripada perempuan yang mengatakan bahwa Isa bin Maryam sebagai tuhannya atau salah satu oknum (hamba) tuhan”. Demikian pula dengan Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah. Dalam Al-Quran, Allah SWT menjelaskan dengan firman-Nya:
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, "sesung-guhnya Allah adalah Isa Al-Masih putera Maryam", padahal Al-Masih sendiri berkata, "Hai bani Israil, sembahlah Allah tuhanku dan tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (se-suatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS. Al-Maidah: 72)
Orang-orang Yahudi berkata, "Uzair itu putra Allah", dan orang nasrani berkata, Al-Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. At-Taubah: 30)
Dari ucapan Ibnu Umar RA di atas dapat dilihat bahwa beliau tampaknya menyamakan wanita Ahli Kitab dengan wanita musyrik yang secara jelas diharamkan kawin dengannya. Allah swt berfirman:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah: 221)
Pendapat Ketiga
Pendapat yang menyatakan bahwa menikah dengan wanita Ahli Kitab hanya makruh tanzih bukan makruh tahrim. Maksudnya, bahwa seorang muslim sebaiknya kawin dengan wanita muslimah, sebab apabila ia kawin dengan wanita Ahli Kitab, berarti berlawanan dengan yang lebih utama, tetapi perbuatannya (kawin dengan wanita dari Ahli Kitab) itu tidak berdosa (tidak haram).
Alhamdani menyebutkan kebolehan kawin dengan Ahli Kitab ditinjau dari segi kemasyarakatan. Katanya: “Islam memperbolehkan seorang laki-laki kawin dengan wanita kitabiyah (ahli kitab) dengan tujuan tersebarnya agama Islam, tetapi Islam tetap membiarkan orang-orang Ahli Kitab itu berpegang pada agama mereka, agama samawi, meskipun mereka telah mengubahnya. Islam menghendaki agar umat Islam menyebarkan ajaran Islam di kalangan Ahli Kitab, di samping dilakukan dengan lisan dapat pula dilakukan dengan perbuatan, bahkan dakwah dengan perbuatan itu lebih besar pengaruhnya dan lebih mudah dimengerti daripada dakwah dengan lisan. Maksudnya, kaum muslimin supaya berbuat baik di masyarakat.
Tujuan seperti demikian adalah baik sekali karena melalui per-kawinan itu akan kokoh tali kekeluargaan dengan keluarga ahli kitab. Apabila ada besan muslim seperti yang dikehendaki Islam, dengan budi pekerti dan akhlak yang baik, kebaikan hatinya itu akan menarik keluarga istrinya kepada Islam, dengan kehalusan budi pekerti tanpa disadari mereka akan tertarik dan kemudian masuk Islam, karena kebaikan hati dan pergaulan yang baik dari pihak suami akan besar pengaruhnya bagi si istri. Kelompok ini menjadikan perkawinan dengan Ahli Kitab itu sebagai sarana berdakwah kepada Islam.
Dengan demikian, hukum kawin dengan Ahli Kitab ini tetap berlaku/boleh sesuai dengan ketentuan surat Al-Maidah ayat 5 di atas, namun yang lebih baik dan utama adalah tidak usah melakukannya karena dikhawatirkan justru perempuan Ahli Kitab itu yang akan mempengaruhi agama suaminya yang muslim, kemudian ia berpindah kepada agama istrinya itu. Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh Umar bin Khattab RA ketika melihat Huzaifah mengawini seorang wanita Yahudi sehingga ia menyuruh Huzaifah untuk melepaskannya. Karena itulah, pada dasarnya semua agama menginginkan perkawinan ber-langsung antara mereka yang seagama dan tidak menghendaki per-kawinan antara mereka yang berlainan agama, mengingat pengaruhnya sangat besar dalam pembinaan keluarga. Demikian pula, berdasarkan pemantauan dari kenyataan hidup dalam masyarakat dan keselamatan agama, laki-laki muslim oleh Majelis Ulama Indonesia dilarang meni-kah dengan wanita nonmuslim (Ahli Kitab).
Syekh Imam Abul A’la Al-Mawdudi dalam bukunya, Pedoman Perkawinan dalam Islam menyebutkan bahwa perkawinan dengan Ahli Kitab meskipun diperbolehkan namun sebenarnya kurang di-setujui. Hal ini dapat dilihat dalam suatu riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melarang Ka’ab bin Malik RA kawin dengan wanita Ahli Kitab. Alasannya adalah bahwa wanita itu tidak akan mampu memberinya perisai cinta dan kasih sayang yang merupakan intisari ikatan perkawinan. Demikian pula Umar bin Khathab RA pernah meminta Huzaifah untuk membatalkan niat perkawinannya dengan wanita ahli kitab. Sahabat Ali bin Abdul Muthalib juga tidak menyukai perkawinan ini dan pernah menyitir firman Allah SWT:
Tidak akan engkau dapatkan orang-orang yang beriman kepada allah dan hari akhirat mencintai orang yang membangkang kepada Allah dan rasul-Nya. (QS. Al-Mujadilah: 22)
Pendapat Keempat .
Dewasa ini ada kelompok yang membolehkan perkawinan lintas agama, tidak hanya terhadap Ahli Kitab, tetapi terhadap semua agama yang ada. Menurut kelompok ini, dalam surat Al-Baqarah ayat 221 itu Allah SWT melarang laki-laki muslim untuk menikahi wanita musyrik. Penekanannya adalah pada kata musyrik, yang berarti orang yang menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah SWT, atau kaum kafir penyembah berhala. Sedangkan Ahli Kitab adalah orang-orang yang memiliki dan mempelajari kitab suci sebelum Al-Quran seperti Taurat, Zabur, dan Injil, sehingga kata musyrik tidak sama alias berbeda dengan kata istilah Ahli Kitab. Karena itu, secara akal sehat, kita akan memperoleh pemahaman bahwa Ahli Kitab itu tidak tergolong orang musyrik. Berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, Allah SWT menjelaskan bahwa dihalalkan bagi laki-laki mukmin untuk mengawini wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya. Selain itu, menurut Rasyid Ridha, murid Imam Muhammad Abduh bahwa kaum Majusi, Shabiin, Hindu, Budha, Konghuchu, Shinto, dan penganut agama lain diluar agama Islam termasuk golongan Ahli Kitab. Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 62)
Argumen lain yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah juga pendapat Rasyid Ridha bahwa yang dimaksud dengan istilah musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 itu adalah wanita-wanita musyrik Arab di zaman jahiliyah. Sedangkan shabiin yaitu orang-orang yang mengikuti syariat nabi-nabi terdahulu termasuk yang beragama Hindu, Budha, Taoisme; dalam kitab mereka juga masih mengandung ajaran monotheisme. Karena itu, sungguh tidak adil jika terhadap mereka kita menyamaratakannya, semua musyrik atau kafir.
Bahkan ada kelompok lain yang melihat dan beranggapan bahwa perkawinan hanya sebatas hubungan sosial dan tidak ada kaitannya dengan urusan agama sebab apabila pasangat itu saling cinta-mencintai dengan tulus, dapat hidup bahagia dan harmonis dalam menjalani hubungan antara keduanya, maka itulah inti perkawinan. Hal ini seperti pendapat tokoh agama Budha, Mulyadi Wahyono dan Herman S. Endro yang menyatakan bahwa dalam ajaran agama Budha, yang berperan dalam perkawinan adalah faktor manusianya sebab perkawinan dengan seagama pun belum tentu menjamin pasangan yang kawin akan bahagia dan harmonis. Walaupun beda agama, jika kedua belah pihak bertekad untuk menjalin saling mempercayai, saling menolong, saling menghormati, dan saling melayani, maka agama yang berbeda bukan masalah. demikian pula, menurut seorang psikolong perkawinan, Dra. Pramugari, M.Sc, bahwa faktor paling utama dalam perkawinan adalah cinta yang tulus, bukan karena nafsu seks, kecantikan dan ketampanan; apalagi karena harta, popularitas dan kekuasaan. Adanya unsur cinta dan kasih sayang yang tulus, setiap pasangan akan mampu melakukan proses saling menyesuaikan diri dan menyelaraskan hambatan, perbedaan dan tantangan hidup lain-nya, termasuk dalam masalah perbedaan agama. Apabila masing-masing telah sepakat untuk saling menghormati dan bersikap toleran dan tidak berupaya memaksakan agama untuk dianut pasangannya dan bersikap menghormati keyakinan pasangannya kemudian kedua-nya menyatakan bahwa urusan agama adalah urusan ruhaniah sese-orang maka agama yang berbeda bukan masalah lagi.
Apa yang dibahas di atas adalah tentang halalnya perempuan Ahli Kitab bagi laki-laki muslim, timbul pertanyaan, bagaimana dengan perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim?. Tentang hal ini, para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidak halal kawin dengan laki-laki nonmuslim, baik dia musyrik maupun Ahli Kitab. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada ha-lal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tidak ada dosa bagimu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang kepada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan kepada kaum muk-min, jika mereka didatangi perempuan yang hijrah hendaklah mereka diuji terlebih dahulu. Bilamana terbukti benar keimanannya, maka mereka jangan dikembalikan kepada suami mereka yang masih kafir, sebab perempuan mukmin tidak halal bagi laki-laki kafir dan sebalik-nya. Yang dimaksud dengan menguji dalam ayat ini adalah mena-nyakan alasan-alasan kedatangan mereka berhijrah ke Madinah dan meninggalkan suami mereka. Apakah mereka hijrah karena cinta ke-pada Allah dan rasul-Nya serta rindu kepada Islam? Jika demikian niatnya, maka hendaklah mereka diterima dengan baik dan lapang dada.
Hal yang menjadi pertimbangan dalam larangan menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah bahwa di tangan suamilah kekuasaan terhadap istrinya dan seorang istri itu wajib taat kepada perintah yang baik dari suaminya. Dalam pengertian seperti inilah maksud dari kekuasaan suami terhadap istri yang disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa: 34)
Karena itulah, wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki nonmuslim, karena pada dasarnya orang kafir itu tidak memiliki kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan muslimah. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa: 141)
Orang-orang Ahli Kitab meskipun mereka menganut agama samawi, tetapi mereka telah mengubahnya, menyelewengkan ajaran-nya, dan tidak beriman dengan kenabian Muhammad SAW, sehingga dianggap kafir. Seorang wanita muslimah apabila kawin dengan laki-laki lain (nonmuslim) dikhawatirkan akan terpengaruh oleh kekuasaan suaminya, lalu berubah agamanya. Apalagi apabila suaminya itu lebih pintar daripada istrinya atau suaminya lebih kaya sehingga si istri sangat bergantung kepadanya, seperti yang banyak terjadi dewasa ini, mereka akhirnya agak ragu terhadap kebenaran Islam dan kemudian murtad, baik atas kemauannya sendiri maupun karena terpaksa. Sedangkan kawin dengan perempuan yang beragama nonsamawi atau tidak beragama (atheis), maka telah jelas keharamannya karena me-reka termasuk musyrik. Seperti agama Budha dan Hindu penyembah dewa yang diwujudkan dalam bentuk patung atau berhala. Karena itu, mereka telah berbuat syirik, yang berarti kawin dengan mereka itu dilarang seperti disebutkan Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221.
Penutup
Demikianlah Allah Azza wa Jalla menjelaskan kepada kita tentang hukum melakukann perkawinan dengan nonmuslim yang apabila di-perhatikan dan dicermati akan diketahui berbagai manfaat/hikmah dibalik pelarangan-Nya. Beberapa pendapat para sahabat dan para ulama di atas adalah hasil penafsiran dan penjelasan mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan gambaran atau paling tidak sebagai perangsang untuk menggali kembali pengetahuan yang berkaitan dengan masalah perkawinan lintas agama ini khusus-nya dan masalah perkawinan pada umumnya. Kepada-Mu, ya Allah, aku menyembah dan hanya kepada-Mu, aku mohon pertolongan. Tunjukilah aku ke jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhai. Amin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, 20 Mei 2008
Drs. Dedi Junaedi
Daftar Bacaan
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahnya.
Karya Bersama. Pernikahan Lintas Agama. Jakarta: Iqra Insan Press, 2004.
Muhammad Ali As-Shabuni. Tafsir Ayat Ahkam. Surabaya: Bina Ilmu, 1992, jilid 1.
Drs. Ismail Hasan. Bimbingan Perkawinan. Solo: CV. Ramadhani, 1987.
Abul A'la Al-Mawdudi. Pedoman Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Darul Ulum Press, 1999.
Muhammad bin Jarir At-Thabari. Jami' Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Jilid 2, tt.
H.M.D. Alhamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Syekh As-Sayyid Sabiq. Fiqh As-Sunnah. Beirut Libanon: Dar Al-Fikr, 1983, jilid 2.
Departemen Agama RI. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah. Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 1996/1997.
Abdurrahman, S.H. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan. Jakarta: Akademika Pressindo, 1986.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Minggu, Agustus 30, 2009
PERKAWINAN LINTAS AGAMA
Diposting oleh Muhamad Syaichu Hamid Di Minggu, Agustus 30, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar